Kejahatan
Legislasi
Bahrul Ilmi Yakup ; Ketua
Asosiasi Advokat Konstitusi (AAK); Advokat dan Konsultan Hukum BUMN; Ketua
Pusat Kajian BUMN
|
KOMPAS,
03 September 2014
GEDUNG
DPR nyaris kosong saat gelar rapat pleno menyetujui Rancangan Undang-Undang
tentang Panas Bumi menjadi undang-undang pengganti Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2003 (Kompas, 27/8/2014).
Fenomena demikian
sangat lazim dilakukan DPR ketika bersidang. Anggota DPR menganggap kegiatan
rapat atau rapat pleno pengesahan UU sebagai suatu peristiwa yang tidak
penting sehingga mengabaikannya.
Para anggota DPR
seharusnya konsisten dengan janjinya bahwa pemilihan umum adalah sarana
perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat yang aspiratif,
berkualitas, dan bertanggung jawab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 sebagaimana dimaksudkan UU Nomor 8 Tahun 2012.
UU tersebut dibuat
oleh DPR dan seyogianyalah anggota DPR merupakan orang pertama yang memahami
dan menaati UU.
Sebagai representasi
kedaulatan rakyat, DPR harus mampu dan teruji dalam bekerja secara baik,
maksimal, serta visioner untuk mewujudkan kedaulatan dan kesejahteraan
rakyat. Tidak masanya lagi DPR mengingkari janji kampanye, tebar pesona,
serta menggunting dan memanipulasi aspirasi kepentingan rakyat untuk
membungkus kepentingan sendiri dan partainya.
Salah satu tugas yang
harus bisa diemban DPR adalah menghapuskan praktik kejahatan legislasi (legislation crime), suatu fenomena
baru dalam praktik pelaksanaan wewenang DPR pasca reformasi. Praktik
kejahatan legislasi telah mengantar banyak anggota DPR menjadi terdakwa
tindak pidana korupsi kendati tindak pidana korupsi bukan merupakan wujud
kejahatan legislasi yang utama.
Kejahatan legislasi
mencakup semua bentuk kejahatan yang dilakukan oleh anggota DPR atau lembaga
DPR terkait dengan pelaksanaan fungsi DPR yang meliputi legislasi, anggaran,
dan pengawasan. Selama periode 2009-2014, kejahatan legislasi yang paling
menonjol terjadi pada aspek penganggaran. Pada aspek ini, anggota DPR lebih
kental sebagai pedagang kebijakan ketimbang anggota DPR yang terhormat yang
mewakili hajat negara dan masyarakat.
Sementara pada aspek
legislasi, umumnya kejahatan legislasi meliputi praktik suap, pemerasan atau
korupsi oleh anggota DPR yang terkait dengan kegiatan pembuatan UU. Dalam
proses pembuatan UU, sering sekali anggota DPR melakukan negosiasi dengan
pihak yang berkepentingan untuk membuat atau menyesuaikan norma undang-undang
dengan kepentingan pihak tertentu dengan imbalan sejumlah uang. Terkait
dengan itu, proses pembentukan UU Daerah Otonomi Baru merupakan salah satu
bidang legislasi yang perlu dicermati.
Kehadiran anggota DPR
Contoh kejahatan
legislasi yang paling menonjol adalah kasus hilangnya ”Ayat Tembakau”, yaitu
Pasal 113 Ayat (2) RUU Kesehatan yang disetujui Rapat Paripurna DPR pada 14
September 2009. Kendati praktik suap dalam kasus ini belum terbukti secara
hukum, rumor bahwa penghilangannya berimbal pemberian sejumlah uang merebak
dan tidak terbantahkan.
Sementara kejahatan
legislasi yang paling umum dilakukan anggota DPR adalah manipulasi tanda
tangan pada presensi sidang. Para anggota DPR membubuhkan tanda tangan,
tetapi senyatanya tidak hadir pada sidang tersebut. Praktik semacam ini dianggap
sesuatu yang lumrah dan sah. Padahal, sejatinya menurut hukum tidaklah
demikian. Sebab, Pasal 69 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 menghendaki anggota
DPR memberikan persetujuan secara lisan atas RUU yang sedang dibahas.
Selanjutnya, Ayat (2)
UU Nomor 12 Tahun 2011 mengatur dalam hal persetujuan lisan tidak dapat
dicapai secara musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan
berdasarkan suara terbanyak. Dengan demikian, kehadiran anggota DPR secara
fisik guna menentukan apakah rapat tersebut memenuhi kuorum atau tidak
merupakan sesuatu yang tidak dapat digantikan dengan hanya menandatangani
presensi kehadiran sebagaimana lazim dilakukan anggota DPR selama ini.
Kuorum rapat DPR
ditentukan oleh kehadiran fisik anggota DPR, tidak dapat disubstitusikan oleh
tanda tangan pada presensi sebagaimana dipraktikkan DPR selama ini. Substansi
tersebut dimaksudkan Pasal 7B Ayat (3) UUD 1945.
Kalau hal demikian
terjadi, menurut hukum, rapat pengesahan UU tersebut menjadi tidak sah yang
menyebabkan pembentukan UU cacat formil. Dalam konteks demikian, keabsahan
RUU tentang Panas Bumi menjadi UU pengganti UU Nomor 27 Tahun 2003 dapat
dipertanyakan secara legal-konstitusional.
Rakyat mengharapkan
DPR hasil Pemilu 2014 dapat terhindar dari praktik kejahatan legislasi yang
merugikan sekaligus memalukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar