Daulat
dan Demokrasi
Bandung Mawardi ;
Pengelola
Jagat Abjad Solo
|
JAWA
POS, 13 September 2014
SETELAH
keruntuhan rezim Orde Baru, publik berani melakukan demonstrasi bermisi kritik
dan gugatan kepada presiden, menteri, gubernur, dan wali kota/bupati. Mereka
biasa membawa spanduk, berorasi, dan mengenakan kaus berisi slogan.
Demonstrasi adalah siasat demokratis untuk tak selalu tunduk atau menerima
atas pelbagai kebijakan pemerintah.
Pemandangan
dari masa lalu berbeda dengan sekarang. Kita bisa melihat adegan atau foto
para kepala daerah berjajar dan memegang kertas-kertas besar bertulisan
tuntutan-tuntutan: ”Jangan Pasung Demokrasi!”, ”Pilkada Langsung!”, ”Kami
Pelayan Rakyat, Bukan Pelayan DPRD”, dan Tolak Pilkada DPRD!”
Adegan
ganjil itu ditampilkan para bupati dan wali kota dalam Rapat Koordinasi Luar
Biasa Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi
Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) di Hotel Sahid Jakarta pada 11
September 2014. Mereka membuat rekomendasi berisi penolakan secara tegas
pemilihan kepala daerah (pilkada) dikembalikan kepada DPRD. Rekomendasi tentu
berisi tulisan-tulisan resmi, tanda tangan, atau stempel.
Mereka
juga pamer pelbagai tuntutan di kertas-kertas besar berwarna putih. Puluhan
kertas dipamerkan ke wartawan dan hadirin di ruangan hotel, tidak di jalan
atau di depan gedung parlemen. Mereka memang tak berpredikat demonstran
jalanan. Usulan Ridwan Kamil untuk aksi turun ke jalan dari Hotel Sahid ke
bundaran Hotel Indonesia tak mendapat sambutan para rekan wali kota dan
bupati. Peristiwa dan rekomendasi mereka berdalih demi demokrasi alias
kedaulatan rakyat.
Di
DPR RI, para legislator sedang berdebat sengit mengenai cara pilkada.
Sebagian legislator menginginkan pemilihan gubernur dan bupati/wali kota
dilakukan DPRD. Mereka cenderung ingkar konstitusi dengan kehendak meniadakan
pemilihan secara langsung. UUD 1945 sudah memuat perintah bahwa kepala daerah
dipilih ”secara demokratis”. Kita mengartikan sebagai pemilihan secara
langsung demi ejawantah kedaulatan rakyat.
Goenawan
Mohamad di Tempo (8 September 2014) mengingatkan bahwa makna daulat berubah
bersama sejarah. Sejarah politik di Indonesia memiliki pengertian-pengertian
berbeda mengenai daulat. Kita mengingat ada ”daulat rakyat” dan ”daulat
tuan”. Kita memiliki alur panjang berkaitan dengan makna daulat dalam
pelbagai perang, pemberontakan, suksesi, dan gerakan nasionalisme. Daulat
pernah dimonopoli raja dan elite politik pada masa kerajaan. Sejak awal abad
XX, gugatan atas ”daulat tuan” terjadi dengan kemunculan gerakan politik
kebangsaan dan kesadaran politik modern.
Masa
1930-an, para penggerak politik kebangsaan membesarkan dan mengedarkan
gagasan politik melalui terbitan surat kabar bernama Daulat Rakjat. Hatta
menjadi kontributor penting untuk menjelaskan pokok-pokok nasionalisme,
demokrasi, kapitalisme, kolonialisme-imperialisme, dan modernisasi. Hatta
(1932) berseru: ”Dari mulai sekarang
tjita-tjita kedaulatan rakjat harus ditanam dalam hati rakjat! Kalau tidak,
rakjat tidak akan insaf akan harga dirinja, tidak tahu, bahwa ia radja atas
dirinja sendiri, sehingga ia mudah tunduk ke bawah kekuasaan apa dan siapa
sadja.” Gerakan politik kebangsaan mengidamkan pembentukan ”Indonesia merdeka menurut dasar
kedaulatan rakjat.”
Hatta
tekun memberikan uraian kritis tentang ”kedaulatan rakjat”, sejak masa
1930-an sampai 1960-an. Di Daulat Rakjat no 12, 10 Januari 1932, Hatta
menulis artikel berjudul Demokrasi Asli Indonesia dan Kedaulatan Rakjat. Di
Daulat Rakjat no 65, 30 Juni 1933, Hatta menulis artikel berjudul Kedaulatan Rakjat Bukan Anarchi.
Puncak penjelasan terdapat dalam risalah berjudul Demokrasi Kita. Hatta selalu menerangkan daulat berkonteks
situasi kolonialisme di Indonesia. Daulat adalah modal untuk merdeka. Hatta
adalah tokoh paling serius mengurusi daulat di Indonesia melalui tulisan dan
aksi politik, bergerak dari melawan kolonialisme sampai demokratisasi di
Indonesia setelah merdeka.
Hatta
tak mengutip pengertian kamus untuk memberikan penerangan kepada publik. Kita
berkepentingan mengerti daulat mengacu ke kamus-kamus agar ada penggenapan
ingatan sejarah. E.St. Harahap dalam Kamus Indonesia (1942) mengartikan
daulat sebagai ”bahagia, selamat, dirgahaju.” Pengertian dalam kamus belum
mengalami perubahan besar jika mengacu ke publikasi artikel-artikel Hatta.
Pengertian berbeda terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) susunan
Poerwadarminta. Berdaulat mengandung arti ”mempunjai kekuasaan jang tertinggi
atau hak dipertuan (atas suatu pemerintahan atau daerah)”. Kedaulatan berarti
”kekuasaan jang tertinggi.”
Sekarang
daulat sedang diperdebatkan di DPR. Para legislator tentu harus bereferensi
sejarah dan konstitusi agar tak membuat kebijakan sembarangan. Kamus tentu
diperlukan agar ada pengertian-pengertian terang sebelum mereka menjadikan
daulat sebagai slogan murahan. Kita pasti menolak jika mereka pamer dan
arogan dengan ”daulat legislator”
atau ”daulat elite”. Ingat, daulat
membentuk sejarah dan mengalami perubahan makna bersama sejarah!
Penolakan
usulan pilkada oleh DPRD terus berlangsung meski para legislator di DPR tetap
ingin membuktikan ”daulat legislator”.
Para elite partai politik (parpol) malah mengancam para kader partai jika
berseberangan dengan parpol. Sekian kepala daerah memang anggota dan kader
parpol. Sikap politik mereka menolak pilkada oleh DPRD bakal diganjar dengan
sanksi oleh parpol: pemecatan.
Kita
mulai insaf bahwa sekian parpol mulai berlaku menjadi ”monster” demokrasi
ketimbang memuliakan demokrasi. Demokrasi dan daulat adalah dua ungkapan
terlupakan oleh para legislator pengusung usulan pilkada oleh DPRD. Mereka
tentu belum memperoleh faedah dari pemikiran para penggerak bangsa saat
menginginkan Indonesia adalah negara berbasis demokrasi dan memuliakan
kedaulatan rakyat. Aduh! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar