Sabtu, 13 September 2014

Daulat dan Demokrasi

Daulat dan Demokrasi

Bandung Mawardi  ;   Pengelola Jagat Abjad Solo
JAWA POS, 13 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SETELAH keruntuhan rezim Orde Baru, publik berani melakukan demonstrasi bermisi kritik dan gugatan kepada presiden, menteri, gubernur, dan wali kota/bupati. Mereka biasa membawa spanduk, berorasi, dan mengenakan kaus berisi slogan. Demonstrasi adalah siasat demokratis untuk tak selalu tunduk atau menerima atas pelbagai kebijakan pemerintah.

Pemandangan dari masa lalu berbeda dengan sekarang. Kita bisa melihat adegan atau foto para kepala daerah berjajar dan memegang kertas-kertas besar bertulisan tuntutan-tuntutan: ”Jangan Pasung Demokrasi!”, ”Pilkada Langsung!”, ”Kami Pelayan Rakyat, Bukan Pelayan DPRD”, dan Tolak Pilkada DPRD!”

Adegan ganjil itu ditampilkan para bupati dan wali kota dalam Rapat Koordinasi Luar Biasa Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) di Hotel Sahid Jakarta pada 11 September 2014. Mereka membuat rekomendasi berisi penolakan secara tegas pemilihan kepala daerah (pilkada) dikembalikan kepada DPRD. Rekomendasi tentu berisi tulisan-tulisan resmi, tanda tangan, atau stempel.

Mereka juga pamer pelbagai tuntutan di kertas-kertas besar berwarna putih. Puluhan kertas dipamerkan ke wartawan dan hadirin di ruangan hotel, tidak di jalan atau di depan gedung parlemen. Mereka memang tak berpredikat demonstran jalanan. Usulan Ridwan Kamil untuk aksi turun ke jalan dari Hotel Sahid ke bundaran Hotel Indonesia tak mendapat sambutan para rekan wali kota dan bupati. Peristiwa dan rekomendasi mereka berdalih demi demokrasi alias kedaulatan rakyat. 

Di DPR RI, para legislator sedang berdebat sengit mengenai cara pilkada. Sebagian legislator menginginkan pemilihan gubernur dan bupati/wali kota dilakukan DPRD. Mereka cenderung ingkar konstitusi dengan kehendak meniadakan pemilihan secara langsung. UUD 1945 sudah memuat perintah bahwa kepala daerah dipilih ”secara demokratis”. Kita mengartikan sebagai pemilihan secara langsung demi ejawantah kedaulatan rakyat.

Goenawan Mohamad di Tempo (8 September 2014) mengingatkan bahwa makna daulat berubah bersama sejarah. Sejarah politik di Indonesia memiliki pengertian-pengertian berbeda mengenai daulat. Kita mengingat ada ”daulat rakyat” dan ”daulat tuan”. Kita memiliki alur panjang berkaitan dengan makna daulat dalam pelbagai perang, pemberontakan, suksesi, dan gerakan nasionalisme. Daulat pernah dimonopoli raja dan elite politik pada masa kerajaan. Sejak awal abad XX, gugatan atas ”daulat tuan” terjadi dengan kemunculan gerakan politik kebangsaan dan kesadaran politik modern.

Masa 1930-an, para penggerak politik kebangsaan membesarkan dan mengedarkan gagasan politik melalui terbitan surat kabar bernama Daulat Rakjat. Hatta menjadi kontributor penting untuk menjelaskan pokok-pokok nasionalisme, demokrasi, kapitalisme, kolonialisme-imperialisme, dan modernisasi. Hatta (1932) berseru: ”Dari mulai sekarang tjita-tjita kedaulatan rakjat harus ditanam dalam hati rakjat! Kalau tidak, rakjat tidak akan insaf akan harga dirinja, tidak tahu, bahwa ia radja atas dirinja sendiri, sehingga ia mudah tunduk ke bawah kekuasaan apa dan siapa sadja.” Gerakan politik kebangsaan mengidamkan pembentukan ”Indonesia merdeka menurut dasar kedaulatan rakjat.”

Hatta tekun memberikan uraian kritis tentang ”kedaulatan rakjat”, sejak masa 1930-an sampai 1960-an. Di Daulat Rakjat no 12, 10 Januari 1932, Hatta menulis artikel berjudul Demokrasi Asli Indonesia dan Kedaulatan Rakjat. Di Daulat Rakjat no 65, 30 Juni 1933, Hatta menulis artikel berjudul Kedaulatan Rakjat Bukan Anarchi. Puncak penjelasan terdapat dalam risalah berjudul Demokrasi Kita. Hatta selalu menerangkan daulat berkonteks situasi kolonialisme di Indonesia. Daulat adalah modal untuk merdeka. Hatta adalah tokoh paling serius mengurusi daulat di Indonesia melalui tulisan dan aksi politik, bergerak dari melawan kolonialisme sampai demokratisasi di Indonesia setelah merdeka.

Hatta tak mengutip pengertian kamus untuk memberikan penerangan kepada publik. Kita berkepentingan mengerti daulat mengacu ke kamus-kamus agar ada penggenapan ingatan sejarah. E.St. Harahap dalam Kamus Indonesia (1942) mengartikan daulat sebagai ”bahagia, selamat, dirgahaju.” Pengertian dalam kamus belum mengalami perubahan besar jika mengacu ke publikasi artikel-artikel Hatta. Pengertian berbeda terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) susunan Poerwadarminta. Berdaulat mengandung arti ”mempunjai kekuasaan jang tertinggi atau hak dipertuan (atas suatu pemerintahan atau daerah)”. Kedaulatan berarti ”kekuasaan jang tertinggi.”

Sekarang daulat sedang diperdebatkan di DPR. Para legislator tentu harus bereferensi sejarah dan konstitusi agar tak membuat kebijakan sembarangan. Kamus tentu diperlukan agar ada pengertian-pengertian terang sebelum mereka menjadikan daulat sebagai slogan murahan. Kita pasti menolak jika mereka pamer dan arogan dengan ”daulat legislator” atau ”daulat elite”. Ingat, daulat membentuk sejarah dan mengalami perubahan makna bersama sejarah!

Penolakan usulan pilkada oleh DPRD terus berlangsung meski para legislator di DPR tetap ingin membuktikan ”daulat legislator”. Para elite partai politik (parpol) malah mengancam para kader partai jika berseberangan dengan parpol. Sekian kepala daerah memang anggota dan kader parpol. Sikap politik mereka menolak pilkada oleh DPRD bakal diganjar dengan sanksi oleh parpol: pemecatan.

Kita mulai insaf bahwa sekian parpol mulai berlaku menjadi ”monster” demokrasi ketimbang memuliakan demokrasi. Demokrasi dan daulat adalah dua ungkapan terlupakan oleh para legislator pengusung usulan pilkada oleh DPRD. Mereka tentu belum memperoleh faedah dari pemikiran para penggerak bangsa saat menginginkan Indonesia adalah negara berbasis demokrasi dan memuliakan kedaulatan rakyat. Aduh!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar