Pilkada
Tidak Langsung dan Arus Balik Demokratisasi
Mohammad Afifuddin ; Peneliti
Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) MAP Fisipol UGM
|
JAWA
POS, 08 September 2014
SAMUEL
Huntington dalam buku Gelombang
Demokrasi Ketiga (1993) mengingatkan kita bahwa demokrasi itu fluktuatif.
Tidak menjadi jaminan sebuah negara yang sudah stabil level demokrasinya akan
terus berada dalam kondisi stabil. Bagi negara yang gagal merawat benih-benih
demokratisasinya, konsekuensinya bukan sekadar mengalami stagnasi demokrasi,
melainkan juga arus balik demokrasi yang ditandai dengan menguatnya kembali
sistem politik konservatif (status quo),
atau bahkan sistem politik kontra-demokrasi (otoritarianisme).
Karena
itu, Huntington, sebagaimana juga Robert Dahl dalam On Democracy (1996) dan Larry Diamond dalam Developing Democracy (1998), menekankan pentingnya konsolidasi
demokrasi sebagai kunci menuju tatanan demokrasi yang substantif dan mencegah
arus balik demokrasi. Dengan konsolidasi politik yang tuntas (baik di tataran
elite maupun massa), agenda-agenda politik yang sudah dicanangkan tidak akan
terganggu oleh riak-riak yang sering kali bergerak destruktif dalam arus
demokratisasi.
Apa
yang dimaksud dengan konsolidasi demokrasi adalah peningkatan secara
prinsipil komitmen seluruh elemen masyarakat pada aturan main demokrasi.
Konsolidasi juga dipahami sebagai sebuah proses panjang yang mengurangi
kemungkinan pembalikan demokratisasi, mencegah erosi demokrasi, menghindari
keruntuhan demokrasi, yang diteruskan dengan melengkapi demokrasi secara
berkelanjutan. Dengan kata lain, struktur dan prosedur politik yang
berlangsung selama proses transisi akan dimantapkan, diinternalisasikan,
bahkan diabsahkan dalam proses konsolidasi demokrasi.
Relevansinya
dengan kontroversi pembahasan regulasi pemilihan kepala daerah (pilkada) yang
sekarang digodok di DPR, prinsip pilkada langsung merupakan ’’anak kandung’’
Reformasi yang menjadi bagian dari proses transisi dari rezim pemilu oligarki
di era Orba menuju rezim pemilu yang egaliter, transparan, dan akuntabel.
Dengan demikian, model pilkada langsung merupakan bagian dari tahapan
konsolidasi demokrasi jika kita mencita-citakan hadirnya demokrasi substantif
di Indonesia.
Maka,
upaya parpol-parpol Koalisi Merah Putih untuk mengubah kembali regulasi
pilkada menjadi pilkada tidak langsung (baca: dipilih DPRD) tidak relevan
jika hanya dibaca dalam optik efisiensi vs inefisiensi biaya politik. Sebab,
problem yang lebih fundamental adalah gagasan mengembalikan tata pelaksanaan
pilkada menjadi sistem pemilihan tidak langsung merupakan upaya
pengarusbalikan proses demokratisasi di Indonesia serta penciptaan erosi
demokrasi. Dengan kata lain, upaya Koalisi Merah Putih untuk mengembalikan
sistem pilkada menjadi pemilihan tidak langsung harus kita tanggapi dengan
serius, karena menyangkut hakikat demokrasi itu sendiri.
Pilkada Langsung dan
Demokrasi Substantif
Agar
proses demokratisasi berjalan progresif dan mencegah pendulum sejarah
bergerak ke arah kontra-demokrasi (gelombang balik demokratisasi), sebuah
negara yang sedang berada dalam proses transisi demokrasi sebagaimana terjadi
di Indonesia saat ini adalah konsistensi menjalankan agenda liberalisasi
politik (Lay, 2006). Namun, istilah
’’liberalisasi’’ dalam konteks ini tidak berkonotasi negatif sebagaimana
orang memandang buruk agenda ’’liberalisasi ekonomi’’. Sebab, liberalisasi
dalam konteks politik berarti penciptaan kesetaraan hak untuk dipilih dan
memilih, egalitarianisme, serta keterbukaan proses.
Selama
ini, liberalisasi politik yang merupakan prasyarat utama menuju demokrasi
substantif tersebut relatif berjalan dalam wujud pelaksanaan pemilu langsung.
Baik untuk level pemilu legislatif, pemilu presiden-Wapres, pemilu
gubernur-Wagub, maupun pemilu bupati/wali kota-Wabup/Wawali. Sekalipun masih
banyak ditemukan berbagai kekurangan yang menjadi sisi minus dari sistem
pilkada langsung, hal tersebut bukan alasan urgen untuk mengembalikan sistem
pilkada langsung menjadi sistem pilkada tertutup (tidak langsung). Sebab,
sebagai negara yang relatif baru melaksanakan transisi demokrasi
pasca-Reformasi 1998, tentu Indonesia masih sering mengalami rintangan dalam
melaksanakan konsolidasi demokrasi.
Karena
itu, Linz dan Stephan (1996) membidik lima arena yang harus berjalan simultan
dalam proses konsolidasi demokrasi agar proses tersebut tidak berjalan mundur
menuju gelombang balik. Pertama, masyarakat politik yang relatif mandiri dan
bermakna. Kedua, tumbuhnya kehidupan masyarakat sipil yang bebas, mandiri,
dan semarak. Ketiga, birokrasi negara yang bisa dipakai (usable) oleh
pemerintahan demokratis yang baru. Keempat, harus ada rule of law yang
memberikan jaminan legal bagi kebebasan warga negara dan tumbuhnya kehidupan
asosiasional independen. Kelima, institusionalisasi masyarakat ekonomi.
Artinya, harus ada norma, institusi, dan regulasi yang diterima sebagai
jembatan antara negara dan pasar.
Jika
Koalisi Merah Putih tetap memaksakan kehendak untuk mengembalikan pilkada menjadi
sistem pemilihan tidak langsung, sama saja mengupayakan pembunuhan demokrasi
di Indonesia. Sebab, pilkada tidak langsung akan menghalangi proses
demokratisasi di lima arena sebagaimana dijelaskan Linz dan Stephan di atas.
Sebab, pilkada tidak langsung akan mengekslusi proses demokratisasi hanya di
ranah parlemen, tanpa melibatkan pematangan prinsip-prinsip demokrasi di
level civil society maupun massa (rakyat) secara luas. Apalagi, catatan buruk
anggota DPRD kian hari kian bertambah. Dalam sembilan tahun terakhir,
Kemendagri mencatat ada 3.169 anggota DPRD provinsi, kabupaten, dan kota yang
terjerat kasus korupsi (Fajar Sidik,
2014).
Maka,
sudah saatnya para parpol pengusung gagasan pilkada tidak langsung
menunjukkan kepribadiannya sebagai negarawan. Jangan karena kecewa jagoannya
kalah dalam pilpres, mereka mengorbankan hal yang paling prinsipil dalam
proses demokratisasi di Indonesia hanya demi ’’menyandera’’ pemerintahan baru
dengan skema regulasi yang kontra-demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar