Senin, 01 September 2014

Peta

Peta

Samuel Mulia  ;   Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS, 31 Agustus 2014

                                                                                                                       


ENTAH kenapa, belakangan ini kesehatan saya seperti gempa yang meluluhlantakkan. Setelah kena prostatitis yang tak berkesudahan, serangan alergi pendingin ruangan yang membuat hidung mampet dan susah bernapas datang menghampiri. Jangka waktu terjadinya kedua penyakit itu tak membutuhkan waktu lama. Sampai saya kelelahan.

Terseok

Beberapa hari lalu, saya bersama lima teman berjalan-jalan ke Kebun Binatang Ragunan dalam rangka ulang tahun salah satu sahabat kami. Tak lama setelah semangat saya yang berapi-api menyala karena sudah lama sekali tak mengunjungi area seluas sekian hektar itu, saya mulai kelelahan berjalan dan napas saya seperti habis mengikuti lomba lari sekian kilometer.

Melihat kondisi itu, sahabat kami yang berulang tahun menyarankan saya untuk beristirahat saja. ”Mas, kamu tu jalannya sudah terseok-seok, istirahat aja, jangan dipaksain.” Saya kemudian mengikuti sarannya untuk beristirahat. Duduk di bawah sebuah pohon yang rindang meski udara sore itu panasnya seperti berdiri di depan kompor.

Terseok-seok. Itu ungkapan yang merindingkan bulu roma, terutama buat saya yang tak pernah mencicipi rasanya terseok itu. Sekarang, selain terseok berjalan, saya juga tak kuat lagi berdiri dari posisi jongkok.

Saya harus memegang sesuatu atau mencari bantuan untuk berdiri kembali. Menaiki tangga bahkan yang tak terlalu tinggi saja, saya juga sudah kelelahan. Tentu saya memutuskan memeriksakannya ke dokter meski ada di antaranya yang salah mendiagnosis.

Ketika saya menyaksikan teman-teman saya berjalan tanpa henti di kebun binatang itu, sambil ditimpali tawa tergelak, yang tak membersitkan kelelahan sedikit pun, tebersit di hati saya perasaan rindu yang sangat akan kekuatan yang dahulu pernah saya miliki di masa semuda mereka.

Kalau dimisalkan siklus hidup sebuah produk, kondisi kesehatan saya telah mencapai puncak dan akan datang masanya untuk menuruninya. Kalau dalam sebuah produk, maka akan ada teknik-teknik agar produk itu diharapkan akan selalu tetap di puncak.

Seandainya saya sebuah produk, saya akan me-re-branding atau me-re-positioning diri. Sayang saya ini bukan produk. Usaha untuk dapat bertahan di puncak adalah dengan pergi ke dokter, menjaga asupan, berolahraga, dan berdoa. Tetapi usaha itu telah membuat seorang dokter mengatakan, ”Kenapa ya kamu ini. Jantungnya bagus, tekanan darahnya bagus. Kok, bisa kayak gini.”

Menang

Beberapa hari setelah berjalan-jalan di kebun binatang itu, saya kembali ke dokter. Singkat cerita, saya terkena hydronephrosis. Gempa yang tadinya sudah terasa meluluhlantakkan, sekarang seperti gempa yang lebih dari tektonik rasanya.

Di dalam mobil teman yang membawa saya pulang ke rumah, saya terdiam, tak bisa berpikir apa pun. Melihat Jakarta dalam malam, seperti tak melihat apa-apa. Bahkan teman yang membawa saya pulang seperti terasa tak berada di dalam mobil.

Kemudian beberapa hari setelah itu, saya membaca buku. Dituliskan bahwa untuk sukses, untuk dapat meraih masa yang gemilang, seseorang harus memiliki peta. Dan, peta yang digunakan harus up-to-date. Kita tak bisa meraih kesuksesan hari ini dengan peta buatan tahun 1997.

Sejak saya diizinkan lahir di dunia ini, saya tak pernah membuat peta kesehatan. Gobloknya, saya ini berpikir kalau saya bisa sehat senantiasa. Saya itu tak pernah tahu kalau ginjal saya tumbuh di bawah pusar.

Sayangnya, beberapa penyakit lebih memilih diam sejuta bahasa, yang tak mau ”berbicara” di stadium dini, di stadium tanpa gejala, di stadium seorang dokter bisa jadi mengatakan tak ada apa-apa, dan yang menyebabkan seseorang berpikir bahwa ia sehat-sehat saja. Penyakit yang menyesatkan sebuah peta.

Maka terlintas di kepala, apakah ketika saya membuat sebuah peta, seyogianya diselaraskan dengan peta buatan Yang Maha Kuasa untuk saya? Jadi, hasilnya bukan dua buah peta yang berbeda. Saya membuat peta ke kiri, Tuhan memilihkan peta untuk saya ke kanan.
Dua puluh empat jam sebelum saya mengirimkan tulisan ini ke meja redaksi, saya memutuskan membuat peta 2014 yang tak akan memiliki masa kedaluwarsa, yang akan bisa digunakan di sepanjang masa.

Saya tak memutuskan untuk menyelaraskan peta saya dengan peta yang Tuhan buat untuk saya. Saya meniadakan peta saya dan hanya mengikuti peta Yang Maha Kuasa untuk saya saja. Dari manakah saya tahu bahwa itu peta untuk saya?

Anda tahu ungkapan tak kenal maka tak sayang, bukan? Nah, syarat pertamanya, harus sayang dengan yang Maha Kuasa. Sayang yang saya maksud adalah memahami dengan sepenuh hati bahwa Yang Maha Kuasa itu berhak untuk memberi dan Ia berhak untuk mengambilnya kembali dengan cara apa pun.

Pemahaman membuahkan sebuah kemenangan dalam perjalanan yang penuh dengan gempa, tanpa meluluhlantakkan jiwa. Sekarang, saya bisa melihat Jakarta dalam malam seperti yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar