Memegang
Amanah Politik
Yonky Karman ;
Pengajar
di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
|
KOMPAS,
17 September 2014
IMAM
al-Ghazali bertanya kepada murid-muridnya, ”Apa yang paling berat di dunia?” Ada
yang menjawab baja, besi, gajah. ”Semua itu benar, tetapi yang paling berat
adalah memegang amanah. Banyak manusia masuk ke neraka karena gagal memegang
amanah.”
Amanah
adalah sesuatu yang dititipkan. Pemegang amanah mestilah orang yang dipercaya
karena kapasitas dan integritasnya. Pemimpin yang dipilih langsung oleh
rakyat mengemban amanah dari rakyat. Singkirkan amanah, politik pun menjadi
prosedural belaka yang memuliakan kekuasaan.
Politisi partai
Sekalipun
idealnya luhur, politik tak dapat menemukan sendiri jalan keluhurannya. Hitam
putihnya di tangan politisi. Banyak politisi mengaku memegang amanah rakyat,
padahal sikap dan laku mereka tak lebih petugas partai yang miskin tanggung
jawab publik. Mereka tergabung ke dalam persekutuan elite partai yang tidak
menangkap dan memperjuangkan aspirasi rakyat.
Sejak
masa kampanye pemilihan presiden sampai hari ini, kita menyaksikan teknik
menjegal lawan politik dengan cara-cara yang jauh dari elok. Sudah ada
ancang-ancang untuk menggembosi kepemimpinan presiden terpilih. Yang
mengemuka bukan bagaimana mengontrol kekuasaan agar efektif dan tidak korup,
melainkan bagaimana membuat jalan pemerintahan yang akan datang tidak
efektif.
Menurut
Vaclav Belohradsky, filsuf Ceko yang bermukim di Italia, Machiavelli layak
disebut bapak politik modern karena dia mendefinisikan politik sebagai
teknologi dan manipulasi kekuasaan secara rasional. Politik menjadi
impersonal, tak perlu hati nurani, tak perlu menjunjung keluhuran etika.
Politisi adalah ahli utak-utik kekuasaan dan menjadikan demokrasi sekadar
sebuah permainan politik.
Ironis
sekali ketika fungsi legislasi DPR kedodoran, bukannya maaf disampaikan ke
publik, malah kegaduhan politik dibuatnya. Oligarki partai hendak dihidupkan
kembali dengan menjadikan kepala daerah pengemban amanah DPRD. Kalau manuver
itu berhasil, logikanya presiden pun suatu hari bisa dipertimbangkan sebagai
pengemban amanah DPR. Sempurnalah kudeta daulat rakyat oleh para wakil
rakyat.
DPR
tidak mau mengevaluasi diri dengan serius mengapa Transparency International Indonesia memberi skor 4,5 dari skor
maksimum 5 untuk kinerja lembaga wakil rakyat itu selama 2013, menjadikannya
salah satu dari dua institusi terkorup. Apakah kinerja politik DPRD lebih
baik daripada DPR? Bukankah sudah pernah terjadi vonis hukuman korupsi untuk
seluruh anggota DPRD? Dengan komposisi anggota DPRD yang kebanyakan terpilih
karena faktor kelompok, bukankah kepala daerah terpilih nantinya tidak
mewakili aspirasi pemimpin rakyat lintas kelompok?
Sejauh
ini, partai menjalankan politik pamrih yang membesarkan partai dan
kepentingan sendiri, mengambil keuntungan dari negara. Rakyatlah yang lebih
tahu menjalankan politik ikhlas. Mereka bersusah payah mengawal nalar
politik, transparansi, dan akuntabilitas pemilu. Dengan kehadiran fisik
ataupun kerja di balik layar, semua dilakukan dengan ikhlas.
Rakyat
tak pernah pusing partai apa yang harus berkarya bagi mereka. Aspirasi rakyat
sederhana. Siapa pun yang memerintah, terpenting adalah pemerintah melayani dan
mengutamakan kesejahteraan rakyat, memperbesar kapasitas sosial negara
menyejahterakan rakyat.
Politisi negara
Beberapa
waktu lalu, saya bertemu seorang teman berkebangsaan asing yang selama
puluhan tahun jadi saksi hidup pelayanan kesehatan di antara kaum miskin di
pedalaman Kalimantan Barat. Ayahnya mengabdi sampai pensiun, kini dia sendiri
terlibat di sana. Presiden berganti presiden, ia melihat sendiri turunnya
kualitas layanan keluarga berencana dan korupsi prasarana kesehatan yang
merajalela pada era otonomi daerah. Belum lagi infrastruktur jalan yang
buruk.
Otonomi
daerah memang memberikan ruang gerak besar bagi elite politisi lokal. Namun,
keleluasaan itu sering disalahgunakan untuk menyuburkan korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Ketika teman itu bertanya apakah presiden baru nanti dapat
memenuhi ekspektasi rakyat yang begitu tinggi, saya sadar pertanyaan itu
retoris belaka. ”Tidak mungkin,” jawab saya. Indonesia begitu luas. Blusukan
presiden bukan strategi jitu. Dia pun setuju.
Belum
lagi beberapa warisan persoalan sistemik, sebut saja timbunan utang luar
negeri di tengah kemampuan negara membayar utang yang pada tahap
mengkhawatirkan. Ketergantungan pada utang untuk membiayai keberlangsungan
hidup negara. Besaran subsidi energi menyandera pembangunan infrastruktur.
Kesenjangan ekonomi sudah melewati ambang batas toleransi. Tubuh pemerintahan
terus memproduksi penyakit korupsi.
Kemenangan
dalam pemilu bukan jaminan kemenangan lima tahun memerintah. Sukses memimpin
kota ataupun provinsi bukan jaminan sukses memimpin negara kalau pemimpin
tidak sungguh-sungguh bersikap amanah. Penyusunan kabinet dan kepemimpinan
selanjutnya akan memperlihatkan apakah kualitas kenegarawanan mampu melampaui
kepentingan sempit partai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar