Kamis, 18 September 2014

Memegang Amanah Politik

Memegang Amanah Politik

Yonky Karman  ;   Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
KOMPAS, 17 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

IMAM al-Ghazali bertanya kepada murid-muridnya, ”Apa yang paling berat di dunia?” Ada yang menjawab baja, besi, gajah. ”Semua itu benar, tetapi yang paling berat adalah memegang amanah. Banyak manusia masuk ke neraka karena gagal memegang amanah.”

Amanah adalah sesuatu yang dititipkan. Pemegang amanah mestilah orang yang dipercaya karena kapasitas dan integritasnya. Pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat mengemban amanah dari rakyat. Singkirkan amanah, politik pun menjadi prosedural belaka yang memuliakan kekuasaan.

Politisi partai

Sekalipun idealnya luhur, politik tak dapat menemukan sendiri jalan keluhurannya. Hitam putihnya di tangan politisi. Banyak politisi mengaku memegang amanah rakyat, padahal sikap dan laku mereka tak lebih petugas partai yang miskin tanggung jawab publik. Mereka tergabung ke dalam persekutuan elite partai yang tidak menangkap dan memperjuangkan aspirasi rakyat.

Sejak masa kampanye pemilihan presiden sampai hari ini, kita menyaksikan teknik menjegal lawan politik dengan cara-cara yang jauh dari elok. Sudah ada ancang-ancang untuk menggembosi kepemimpinan presiden terpilih. Yang mengemuka bukan bagaimana mengontrol kekuasaan agar efektif dan tidak korup, melainkan bagaimana membuat jalan pemerintahan yang akan datang tidak efektif.

Menurut Vaclav Belohradsky, filsuf Ceko yang bermukim di Italia, Machiavelli layak disebut bapak politik modern karena dia mendefinisikan politik sebagai teknologi dan manipulasi kekuasaan secara rasional. Politik menjadi impersonal, tak perlu hati nurani, tak perlu menjunjung keluhuran etika. Politisi adalah ahli utak-utik kekuasaan dan menjadikan demokrasi sekadar sebuah permainan politik.

Ironis sekali ketika fungsi legislasi DPR kedodoran, bukannya maaf disampaikan ke publik, malah kegaduhan politik dibuatnya. Oligarki partai hendak dihidupkan kembali dengan menjadikan kepala daerah pengemban amanah DPRD. Kalau manuver itu berhasil, logikanya presiden pun suatu hari bisa dipertimbangkan sebagai pengemban amanah DPR. Sempurnalah kudeta daulat rakyat oleh para wakil rakyat.

DPR tidak mau mengevaluasi diri dengan serius mengapa Transparency International Indonesia memberi skor 4,5 dari skor maksimum 5 untuk kinerja lembaga wakil rakyat itu selama 2013, menjadikannya salah satu dari dua institusi terkorup. Apakah kinerja politik DPRD lebih baik daripada DPR? Bukankah sudah pernah terjadi vonis hukuman korupsi untuk seluruh anggota DPRD? Dengan komposisi anggota DPRD yang kebanyakan terpilih karena faktor kelompok, bukankah kepala daerah terpilih nantinya tidak mewakili aspirasi pemimpin rakyat lintas kelompok?

Sejauh ini, partai menjalankan politik pamrih yang membesarkan partai dan kepentingan sendiri, mengambil keuntungan dari negara. Rakyatlah yang lebih tahu menjalankan politik ikhlas. Mereka bersusah payah mengawal nalar politik, transparansi, dan akuntabilitas pemilu. Dengan kehadiran fisik ataupun kerja di balik layar, semua dilakukan dengan ikhlas.

Rakyat tak pernah pusing partai apa yang harus berkarya bagi mereka. Aspirasi rakyat sederhana. Siapa pun yang memerintah, terpenting adalah pemerintah melayani dan mengutamakan kesejahteraan rakyat, memperbesar kapasitas sosial negara menyejahterakan rakyat.

Politisi negara

Beberapa waktu lalu, saya bertemu seorang teman berkebangsaan asing yang selama puluhan tahun jadi saksi hidup pelayanan kesehatan di antara kaum miskin di pedalaman Kalimantan Barat. Ayahnya mengabdi sampai pensiun, kini dia sendiri terlibat di sana. Presiden berganti presiden, ia melihat sendiri turunnya kualitas layanan keluarga berencana dan korupsi prasarana kesehatan yang merajalela pada era otonomi daerah. Belum lagi infrastruktur jalan yang buruk.

Otonomi daerah memang memberikan ruang gerak besar bagi elite politisi lokal. Namun, keleluasaan itu sering disalahgunakan untuk menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ketika teman itu bertanya apakah presiden baru nanti dapat memenuhi ekspektasi rakyat yang begitu tinggi, saya sadar pertanyaan itu retoris belaka. ”Tidak mungkin,” jawab saya. Indonesia begitu luas. Blusukan presiden bukan strategi jitu. Dia pun setuju.

Belum lagi beberapa warisan persoalan sistemik, sebut saja timbunan utang luar negeri di tengah kemampuan negara membayar utang yang pada tahap mengkhawatirkan. Ketergantungan pada utang untuk membiayai keberlangsungan hidup negara. Besaran subsidi energi menyandera pembangunan infrastruktur. Kesenjangan ekonomi sudah melewati ambang batas toleransi. Tubuh pemerintahan terus memproduksi penyakit korupsi.

Kemenangan dalam pemilu bukan jaminan kemenangan lima tahun memerintah. Sukses memimpin kota ataupun provinsi bukan jaminan sukses memimpin negara kalau pemimpin tidak sungguh-sungguh bersikap amanah. Penyusunan kabinet dan kepemimpinan selanjutnya akan memperlihatkan apakah kualitas kenegarawanan mampu melampaui kepentingan sempit partai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar