Jangan
Mempermainkan Pendidikan
Daoed Joesoef ;
Alumnus
Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
|
KOMPAS,
17 September 2014
Menjelang pembentukan kabinet Joko
Widodo-Jusuf Kalla tercetus aneka ide spekulatif tentang berbagai bidang
kehidupan. Sejauh menyinggung pendidikan, ada
kehendak memecah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berdasarkan
pertimbangan tertentu.
Mengenai kehendak itu, izinkan
saya mengingatkan: wahai, jangan main-main dengan pendidikan. Melalui
pendidikan, yang kita pertaruhkan adalah masa depan Indonesia melalui
ketepatan fungsionalisasi pembangunan jiwa dan badan anak-anak kita. Jangan
jadikan mereka kelinci percobaan aneka ide politis bertopeng pedagogis.
Risikonya terlalu besar, bahkan fatal, bagi eksistensi negara-bangsa kita.
Usaha
membangun satu sistem pendidikan nasional pada dasarnya adalah jawaban bagi
pertanyaan how should we live atau what
kind of educated people do we want our citizens to be? Kedua pertanyaan
itu pada gilirannya merupakan respons kreatif terhadap tantangan masa depan
seperti apa yang seharusnya kita bangun guna mampu sintas di tengah gejolak
dunia mendatang yang serba kompleks.
Manusia terdidik
Pada
hemat saya, kita diniscayakan membangun sistem pendidikan nasional yang dapat
menghasilkan (1) satu tipe manusia terdidik ideal (atau fungsional) di
tengah-tengah tantangan dan ancaman ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)
abad XX1, (2) sejenis berpikir melebihi (transendental) berpikir sekadar
terpuji di zaman iptek abad XX dan sebelumnya.
Maka,
tipe ideal dari manusia terdidik untuk abad XX1 dan selanjutnya adalah
manusia yang mampu mengubah (mengolah/mengembangkan) informasi jadi
pengetahuan, pengetahuan jadi ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan jadi
kearifan, baik kearifan praktis maupun teoretis.
Yang
dimaksud dengan ”berpikir lebih” adalah bukan sekadar (a) punya opini atau
pengertian tentang apa saja; (b) memiliki ide mengenai sesuatu atau keadaan
tertentu; (c) rasiosinasi, yaitu pengembangan serangkaian premis yang
menjurus ke arah satu kesimpulan absah; atau (d) berpikir par excellence
(konseptual, analitis, dan sistematis) sebagaimana menurut pemikir
rasionalis.
Berpikir
seperti yang disebutkan dalam poin (a)-(d) tak berarti tidak efektif untuk
menghasilkan buah pikiran yang serba praktis/berguna atau membantu memecahkan
aneka masalah kondisional, termasuk menyempurnakan kemampuan bertindak dalam
memecahkan teka-teki dan rahasia alam. Adapun ”berpikir lebih” daripada
sekadar yang disebut dari (a) sampai dengan (d) tadi lebih merupakan sikap
hidup berupa suatu respons dari pihak yang berpikir terhadap panggilan yang
datang dari the nature of things—dari
hidup, kehidupan, dan keber-Ada-an (Being)
itu sendiri. Artinya, ”berpikir” itu ditentukan sekaligus oleh apa-apa yang
harus dipikirkan dan oleh sang pemikir itu sendiri.
Perbuatan
berpikir itu melibatkan tidak hanya penerimaan manusia terhadap yang Ada,
tetapi juga penerimaan yang Ada
terhadap manusia. Jadi, kemampuan berpikir tidak seluruhnya bergantung pada
kemauan dan kehendak kita meski banyak ditentukan kesiapan kita menangkap
panggilan berpikir saat panggilan itu terdengar mengajak kita memberi respons
yang relevan.
Dengan
kata lain, ”berpikir lebih” seperti ini dalam dirinya berupa suatu kesadaran
tentang siapa kita sebagai makhluk manusia dan ketergolongan kita pada
makhluk itu. Berpikir seperti ini juga merupakan suatu pemusatan keseluruhan
diri kita pada apa-apa yang ada di depan kita dan menempatkannya dalam
keseluruhan nalar dan hati agar bisa menemukan di dalam semua itu hakikat
serta kebenarannya.
Bila
demikian ”berpikir lebih” itu, pertama harus bersifat reseptif: kita membuka
diri mendengarkan tantangan yang ada, mendengarkan apa adanya. Kemudian,
secara aktif memberikan respons yang bersifat menyeluruh: kita bersedia
melihat kaitan-kaitan yang ada.
Walaupun
kita berada di titik yang lain, kita sadar merupakan bagian dari suatu
keseluruhan. Bumi adalah an indivisible
whole, sama dengan setiap diri kita yang merupakan juga suatu keseluruhan
yang tidak terbagi-bagi. Alam di mana kita tergolong tidak terbuat dari
bagian-bagian di dalam suatu keseluruhan. Ia terbentuk oleh keseluruhan dalam
keseluruhan. Inilah filosofi dasar berpikir sistematik, inti berpikir yang
mencerahkan, yang diamanatkan Pancasila.
Jadi,
”berpikir lebih” itu tidak hanya berpikir secara ilmiah, yaitu dari (a)-(d)
tadi, tetapi lebih luas dan transenden, berpikir reseptif, aktif, dan
holistik. ”Berpikir lebih” ini, bila dibiasakan, dapat sangat membantu kita
kalau kita memang berkemampuan baik, mengembangkan Pancasila menjadi satu applied political and social moralities
demi kesehatan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di zaman iptek
abad XXI dan selanjutnya.
Bagian integral
Sejauh
mengenai sistem pendidikan nasional yang ideal bagi hidup dan kehidupan
sekarang dan mendatang, yaitu sistem yang dapat menghasilkan ”manusia
terdidik” ideal dan kebiasaan ”berpikir lebih” yang juga ideal, adalah
pendidikan yang tetap merupakan bagian integral dari kebudayaan (sistem
nilai). Berarti ia suatu proses belajar-mengajar yang membiasakan anak didik
sedini mungkin menggali, mengenal, memahami, menguasai, menghayati, dan
mengamalkan nilai yang disepakati bersama sebagai terpuji, dikehendaki, dan
berguna bagi kehidupan dan perkembangan diri pribadi, masyarakat, bangsa dan
negara.
Nilai
adalah genus dan salah satu spesies vital yang dicakupnya dalam proses
pendidikan adalah semangat ilmiah. Dengan kata lain, pendidikan yang kita
bina dan laksanakan lebih berupa suatu pencarian ketimbang sebagai suatu
keadaan keberadaan (state of being).
Maka, itu ada ide pendidikan sepanjang hayat, life long education, in order to be more, tidak puas dengan
sekadar to have more, di
tengah-tengah kehidupan universal yang terus menerus menyempurnakan diri.
Kebudayaan
adalah sistem nilai yang dihayati. Mengaitkannya dengan pendidikan tidak
berarti membonsaikannya. Dengan membuat pendidikan bagian integral dari
kebudayaan, bukan bermaksud membebani kebudayaan demi membesarkan pendidikan.
Justru pendidikan inilah, selaku usaha resmi, kegiatan informal (familly education) dan aksi nonformal
(community education) yang mengolah
dan mentransmisikan nilai-nilai yang memanusiawikan manusia.
Nilai
ini ada yang berwujud benda—candi, rumah adat, serta bangunan keagamaan dan
bersejarah; ada yang tidak berbentuk: ide vital, norma, adat-istiadat,
ketuhanan, kawruh, pengetahuan, ilmu pengetahuan, skills, yang diperlukan orang untuk bisa imajinatif, jadi Homo
poeta, makhluk pencipta makna dan nilai.
Pewayangan
yang dikenal di Jawa sejak tahun saka 700 (778 M), yang ditanggap keluarga
(perhelatan pribadi), digelar komunitas (hajatan desa) adalah pola pendidikan
informal pada era tidak adanya pendidikan formal, diakui Dr Stutterheim,
sarat dengan makna dan pesan serta tetap aktual bagi pengembangan (karakter)
manusia di setiap generasi dari zaman ke zaman.
Apakah
kita bisa bicara tentang scientific
culture? Istilah ini berlebihan dan menyesatkan jika implikasinya, moral
dan politik, antara lain, scientific
progress, tidak kita renungi sungguh-sungguh. Mengenai inovasi
teknologis, misalnya, siapa yang dilayaninya dan untuk apa?
Lembaga
pendidikan, terutama di jenjang universiter, merupakan tempat merenungi makna
kebudayaan pada era teknologi modern. Bukan kebetulan kalau pada era modern,
ketika pendidikan formal telah berkembang, sang ilmuwan Einstein bahkan masih
mengingatkan betapa penting siswa memahami dan menghayati nilai. Dia harus
mendapatkan suatu makna distingtif tentang apa-apa yang indah dan baik
menurut moral. Bila tidak, dia dengan pengetahuannya yang serba spesialistis
lebih mirip a well-trained dog
ketimbang a harmoniously developed
person. Bisa begitu karena nilai yang dihayati sangat menentukan
karakter.
Jadi,
kebijakan mengaitkan pendidikan dan kebudayaan telah membuat kedua jenis
kegiatan itu tidak mengambang, tidak bergerak dalam vakum. Kebijakan itu
malah mengukuhkan keduanya dalam konteks keuniversalan sebab yang universal
itu bukanlah natur human kita, melainkan kemampuan kita menciptakan realitas
kultural dan kemudian berperilaku term itu.
Merupakan
satu keniscayaan bahwa urusan pendidikan dan kebudayaan ditetapkan di bawah
satu atap menjadi tanggung jawab seorang menteri. Demikian pula dengan proses
pendidikan itu sendiri sebab ia merupakan satu keseluruhan pedagogis yang
berkesinambungan walau berjenjang, sejak pendidikan awal, yaitu prasekolah
(TK/taman bermain), sampai dengan jenjang tertinggi (S-3). Dengan kata lain,
Dikdasmen dan perguruan tinggi tidak dipisah, tidak dikelola oleh dua
kementerian yang berbeda.
Ide
tentang kebudayaan mengandung ide supremasi manusia terhadap warga negara.
Manusia adalah manusia sebelum menjadi warga negara, tetapi dia
mentransendenkan pula kualitas kewargaannya. Jadi, ada komplementaritas
antara pendidikan dan sistem nilai yang dihayati.
Komplementaritas
konstruktif ini menunjukkan bahwa penduduk tidak identik dengan warga negara.
Penduduk hanya ”terlibat”, tetapi tidak merasa terikat, tidak mewajibkan
diri. Maka, percuma berbicara ”bonus kependudukan” selama penduduk tidak
berupa warga negara. Kewarganegaraan
adalah suatu mindset ditempa oleh
nilai-nilai (kebudayaan) selama dalam proses pendidikan, terutama di jalur
formal dan informal. Jadi, jangan main-main dengan pendidikan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar