Membangun
Ekonomi Maritim
Muhamad Karim ; Dosen
Departemen Bioindustri Universitas Trilogi;
Direktur Pusat Kajian Pembangunan
Kelautan dan Peradaban Maritim
|
SINAR
HARAPAN, 05 September 2014
Pasca-Pemilihan
Presiden (Pilpres) 2014, muncul euforia kemaritiman di seantero negeri.
Pasalnya, presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo dan Jusuf Kalla
(Jokowi-JK), mengusung ide poros maritim. Hampir semua media massa koran,
elektronik, hingga sosial memberitakannya.
Sayangnya,
debat publiknya masih normatif, kerap mengulangi isu-isu klasik, mulai soal
pencurian ikan, nelayan, dan produksi perikanan. Padahal, cakupannya amat
luas.
Pertanyaannya,
poros maritim itu dari mana hingga ke mana? Jika pembangunan ekonomi berpusat
ke maritim, apa yang menjadi subporos dan pendukungnya? Konsepnya mesti jelas
dan aplikatif. Kemudian, apa yang dikerjakan rumah transisi? Jika hingga
Oktober 2014 kian tak jelas soal poros maritim, Jokowi-JK hanya berwacana.
Indonesia Ocean
Economics
Mengutip
pemikiran Kildowetall (2009) dan Colgan (2007), ekonomi kelautan mencakup
enam kategori. Pertama adalah kontruksi yang berkaitan dengan bangunan
kelautan. Umpamanya, pelabuhan laut, penahan gelombang, dan jetty.
Kedua
adalah sumber daya hayati kelautan yang meliputi pembenihan dan budi daya
perikanan, penangkapan ikan, pemprosesan, dan pemasaran hasil laut. Ketiga
adalah mineral yang meliputi (i) batu gamping; (ii) pasir laut dan kerikil;
(ii) produksi hingga eksplorasi minyak dan gas lepas pantai.
Keempat
adalah pembangunan kapal dan perahu yang terdiri atas galangan kapal buat
memperbaiki dan membangun kapal/perahu. Kelima adalah jasa pariwisata bahari
dan rekreasi, terdiri atas (i) jasa hiburan dan rekreasi laut semacam banana
boat dan ski; (ii) penyewaan perahu/biat; (iii) restoran makanan dan minuman;
(iv) hotel dan penginapan (cottage,
homestay); (v) marina; (vi) lokasi rekreasi dam kamp di wilayah pesisir;
(vii) tur menikmati pemandangan air laut (oceanic
water tour); (vii) bisnis dan penyewaan olahraga air (scuba diving, surfing); dan (viii)
pembangunan akuarium laut.
Keenam
adalah transportasi laut, mencakup (i) transportasi laut dalam (deep sea); (ii) kapal penumpang; (iii)
jasa transportasi laut; (iv) pencarian dan navigasi laut, serta (v)
pergudangan.
Kategorisasi
ini merujuk Amerika Serikat (AS) berbentuk dokumen National Ocean Economics Program (NOEP). Jika Jokowi-JK mengusung
poros maritim, mestinya rumah transisi mampu merumuskan Indonesia Ocean Economics Program (IOEP). IOEP tak mesti
mencontoh AS, namun menyesuaikan dengan geopolitik, geoekonomi, dan
geokultural Indonesia.
Pemerintahan
Jokowi-JK harus punya cetak biru tersendiri. Umpamanya, jasa pariwisata
bahari ditambah pembuatan buah tangan bersumber dari biota laut semacam
kerang-kerangan. Indonesia juga bisa menambahkan teknologi/bioteknologi
kelautan dan budi daya laut, misalnya teknologi biofloc dan bus matick untuk
budi daya ikan dan udang. Teknologi ini pro ekologi dan produknya organik.
Sumber
daya kelautan bukan hanya budi daya dan penangkapannya, tapi juga hilirisasi
produknya semacam bakso ikan, nugget, surimi, dan ikan asap.
Kesuksesan
IOEP mesti mempertimbangkan geopolitik, geoekonomi dan geokultural Indonesia.
Secara geopolitik, Indonesia selama ini terlalu menomorsatukan wilayah bagian
selatan, seolah-olah Australia menjadi ancaman utama kawasan, walaupun memang
Australia juga perlu mendapatkan perhatian serius karena kerap nelayan
Indonesia melewati batas maritim Australia-Indonesia untuk menangkap ikan.
Padahal, kawasan Samudra Pasifik dan Laut Tiongkok Selatan kini kian
strategis.
Mestinya,
secara geopolitik Indonesia memberikan prioritas buat kawasan utara
Indonesia. terutama Laut Tiongkok Selatan, alur laut kepulauan Indonesia II
dan III, hingga pulau-pulau kecil di tepi Samudea Pasifik. Ingat, Malaysia
telah mencaplok Sipadan-Ligitan. Malaysia juga mempersoalkan perairan Ambalat
yang mengandung minyak dan gas. Tiongkok membuat peta Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE)-nya hingga mencaplok perairan Vietnam, pulau kecil Filipina. hingga
Jepang.
Padahal,
Tiongkok bukan negara kepulauan. Hukum laut (UNCLOS, 1982) menyebutkan,
Tiongkok tidak membolehkan negara pantai menarik garis batas maritimnya
menggunakan pulau terluar miliknya. Pemerintahan Jokowi-JK mesti mencermati
hal ini. Pasalnya, ada jalur pelayaran paling ramai di dunia, Selat Malaka
yang merupakan jalur yang mengangkut barang dan jasa dari Asia-Eropa-Amerika
pulang-pergi.
Fokus
Secara
geoekonomi, mestinya ada beberapa fokus IOEP. Pertama, membuka dan
memperlancar jalur barang dan jasa dari dan ke kawasan terisolasi secara
geografi dan geoekonomi. Caranya dengan membuka Terusan Palu. Hal ini
memperlancar akses barang dan jasa dari Teluk Tomini, Laut Maluku ke Selat
Makasar, lalu keluar menuju Laut Sulawesi. Sebaliknya, ada jalur pula dari
Selat Makasar dan Teluk Balik papan menuju Teluk Tomini dan Laut Maluku.
Pembukaan
ini akan membuat daerah terisolasi di Teluk Tomini kian berkembang, serta
memperpendek jalur pelayaran. Jadi, kalau ingin ke Teluk Tomini, tidak lagi
mesti melayari perairan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
Begitu
pula rencana Thailand membuka Terusan Kra yang menghubungkan Samudra Hindia
dan Laut Tiongkok Selatan. Jalur ini juga memperpendek jalur pengangkutan
barang dan jasa. Untungnya bagi Indonesia adalah Pulau We dan Sabang akan
berkembang sebagai daerah kawasan ekonomi khusus maritim (KEKM) strategis.
Kedua,
membangun pelabuhan hub (port hub)
di perairan utara Indonesia. Terdapat lokasi strategis yang menyeimbangkan
kawasan utara dengan kawasan selatan Indonesia, yaitu Sorong, Biak, Bitung,
Teluk Palu, Balikpapan, Tarakan, dan Sabang di Aceh.
Hal
ini penting–apalagi jika Terusan Palu dan Kra jadi–sebab ekonomi bagian utara
Indonesia akan kian berkembang. Jadi, mengekspor barang dan jasa tak perlu
masuk Tanjung Priok dan Tanjung Perak, namun, langsung melalui pelabuhan hub
baru menuju Jepang, AS, dan Tiongkok melalui Samudra Pasifik, Selat Makassar
(ALKI) II, dan Laut Banda (AKLI III).
Di
tengah Indonesia dari arah timur ke barat sudah ada Pelabuhan Makassar,
Tanjung Perak, Tanjung Priok, Belawan. Jadi, tinggal menstandardisasikannya.
Bagian selatan yang menghadap Samudra Hindia mesti mempertimbangkan Pelabuhan
Sibolga, Teluk Bayur, Pelabuhan Ratu, dan Cilacap.
Pelabuhan-pelabuhan
di kawasan selatan Indonesia ini pernah berjaya di masa silam. Jadi, konsep
poros maritim Indonesia itu adalah poros utara-selatan dan barat-timur. Poros
utara-selatan dihubungkan ALKI I, II, dan III, termasuk membuka Terusan Palu.
Poros barat-timur menstandardisasi pelabuhan di wilayah perairan non-ALKI
agar masuk kategori hub hingga membangun pelabuhan baru. Hal ini bersifat
jangka panjang dan menengah.
Ketiga,
memperlancar jalur pelayaran antarpulau dan interseluler, utamanya di daerah
berbasis kepulauan, pulau-pulau terluar, dan terisolasi. Daerah-daerah itu
seumpamanya, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara
Barat (NTB), Kepulauan Riau, pesisir timur dan barat Sumatera, sekeliling
perairan Pulau Sulawesi, Papua, hingga Papua Barat. Ini pekerjaan rumah besar
guna memeratakan pembangunan dan mempersempit kesenjangan antar daerah sebab
jangan sampai terulang lagi kejadian mengangkut ikan patin dari Jambi ke Jawa
biaya transportasinya lebih mahal ketimbang mengimpor dari Tiongkok dan
Vietnam. Ini amat ironis.
Keempat,
penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang professional dan bermoral. Hal ini
menghindari perilaku moral hazard dan pemburu rente. Harus pula
menginternalisasikan nilai-nilai revolusi mental ala Jokowi-JK masuk sebagai
faktor pembatas, umpamanya penyiapan SDM melalui Balai Latihan Kerja Maritim
(BLKM), Pusat Pelatihan Mandiri Kelautan dan Perikanan (P2MKP), serta Sekolah
Kejuruan Maritim (SKM) hingga Sekolah Vokasi Maritim (SVM).
Semuanya
akan menjadi pelaku utama dalam menyukseskan IOEP. Jadi, Indonesia tak perlu
lagi mengirim tenaga kerjanya ke luar negeri. Ini karena program-program
pelatihan dan pendidikan vokasi kemaritiman akan memproduksi wirausaha sosial
mandiri.
Pemerintah
pun mesti memberikan akses permodalan. Caranya dengan mengeluarkan kebijakan
afirmatif agar BUMN (Pertamina) mengalokasikan 5 persen keuntungannya untuk
memberdayakan wirausaha sosial mandiri berbasis maritim. Mekanismenya bisa
lewat koperasi hingga lembaga keuangan mikro.
Poros
utara-selatan hingga barat-timur mestinya menjadi ujung tombak poros maritim.
Jika hingga waktu pelantikannya pada Oktober 2014 program konkret tak jelas,
Jokowi-JK mengawali pemerintahannya dengan catatan buruk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar