Sabtu, 06 September 2014

Membangun Ekonomi Maritim

Membangun Ekonomi Maritim

Muhamad Karim  ;   Dosen Departemen Bioindustri Universitas Trilogi;
Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim
SINAR HARAPAN, 05 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Pasca-Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, muncul euforia kemaritiman di seantero negeri. Pasalnya, presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK), mengusung ide poros maritim. Hampir semua media massa koran, elektronik, hingga sosial memberitakannya.

Sayangnya, debat publiknya masih normatif, kerap mengulangi isu-isu klasik, mulai soal pencurian ikan, nelayan, dan produksi perikanan. Padahal, cakupannya amat luas.

Pertanyaannya, poros maritim itu dari mana hingga ke mana? Jika pembangunan ekonomi berpusat ke maritim, apa yang menjadi subporos dan pendukungnya? Konsepnya mesti jelas dan aplikatif. Kemudian, apa yang dikerjakan rumah transisi? Jika hingga Oktober 2014 kian tak jelas soal poros maritim, Jokowi-JK hanya berwacana.

Indonesia Ocean Economics

Mengutip pemikiran Kildowetall (2009) dan Colgan (2007), ekonomi kelautan mencakup enam kategori. Pertama adalah kontruksi yang berkaitan dengan bangunan kelautan. Umpamanya, pelabuhan laut, penahan gelombang, dan jetty.

Kedua adalah sumber daya hayati kelautan yang meliputi pembenihan dan budi daya perikanan, penangkapan ikan, pemprosesan, dan pemasaran hasil laut. Ketiga adalah mineral yang meliputi (i) batu gamping; (ii) pasir laut dan kerikil; (ii) produksi hingga eksplorasi minyak dan gas lepas pantai.

Keempat adalah pembangunan kapal dan perahu yang terdiri atas galangan kapal buat memperbaiki dan membangun kapal/perahu. Kelima adalah jasa pariwisata bahari dan rekreasi, terdiri atas (i) jasa hiburan dan rekreasi laut semacam banana boat dan ski; (ii) penyewaan perahu/biat; (iii) restoran makanan dan minuman; (iv) hotel dan penginapan (cottage, homestay); (v) marina; (vi) lokasi rekreasi dam kamp di wilayah pesisir; (vii) tur menikmati pemandangan air laut (oceanic water tour); (vii) bisnis dan penyewaan olahraga air (scuba diving, surfing); dan (viii) pembangunan akuarium laut.

Keenam adalah transportasi laut, mencakup (i) transportasi laut dalam (deep sea); (ii) kapal penumpang; (iii) jasa transportasi laut; (iv) pencarian dan navigasi laut, serta (v) pergudangan.

Kategorisasi ini merujuk Amerika Serikat (AS) berbentuk dokumen National Ocean Economics Program (NOEP). Jika Jokowi-JK mengusung poros maritim, mestinya rumah transisi mampu merumuskan Indonesia Ocean Economics Program (IOEP). IOEP tak mesti mencontoh AS, namun menyesuaikan dengan geopolitik, geoekonomi, dan geokultural Indonesia.

Pemerintahan Jokowi-JK harus punya cetak biru tersendiri. Umpamanya, jasa pariwisata bahari ditambah pembuatan buah tangan bersumber dari biota laut semacam kerang-kerangan. Indonesia juga bisa menambahkan teknologi/bioteknologi kelautan dan budi daya laut, misalnya teknologi biofloc dan bus matick untuk budi daya ikan dan udang. Teknologi ini pro ekologi dan produknya organik.

Sumber daya kelautan bukan hanya budi daya dan penangkapannya, tapi juga hilirisasi produknya semacam bakso ikan, nugget, surimi, dan ikan asap.

Kesuksesan IOEP mesti mempertimbangkan geopolitik, geoekonomi dan geokultural Indonesia. Secara geopolitik, Indonesia selama ini terlalu menomorsatukan wilayah bagian selatan, seolah-olah Australia menjadi ancaman utama kawasan, walaupun memang Australia juga perlu mendapatkan perhatian serius karena kerap nelayan Indonesia melewati batas maritim Australia-Indonesia untuk menangkap ikan. Padahal, kawasan Samudra Pasifik dan Laut Tiongkok Selatan kini kian strategis.

Mestinya, secara geopolitik Indonesia memberikan prioritas buat kawasan utara Indonesia. terutama Laut Tiongkok Selatan, alur laut kepulauan Indonesia II dan III, hingga pulau-pulau kecil di tepi Samudea Pasifik. Ingat, Malaysia telah mencaplok Sipadan-Ligitan. Malaysia juga mempersoalkan perairan Ambalat yang mengandung minyak dan gas. Tiongkok membuat peta Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)-nya hingga mencaplok perairan Vietnam, pulau kecil Filipina. hingga Jepang.

Padahal, Tiongkok bukan negara kepulauan. Hukum laut (UNCLOS, 1982) menyebutkan, Tiongkok tidak membolehkan negara pantai menarik garis batas maritimnya menggunakan pulau terluar miliknya. Pemerintahan Jokowi-JK mesti mencermati hal ini. Pasalnya, ada jalur pelayaran paling ramai di dunia, Selat Malaka yang merupakan jalur yang mengangkut barang dan jasa dari Asia-Eropa-Amerika pulang-pergi.

Fokus

Secara geoekonomi, mestinya ada beberapa fokus IOEP. Pertama, membuka dan memperlancar jalur barang dan jasa dari dan ke kawasan terisolasi secara geografi dan geoekonomi. Caranya dengan membuka Terusan Palu. Hal ini memperlancar akses barang dan jasa dari Teluk Tomini, Laut Maluku ke Selat Makasar, lalu keluar menuju Laut Sulawesi. Sebaliknya, ada jalur pula dari Selat Makasar dan Teluk Balik papan menuju Teluk Tomini dan Laut Maluku.

Pembukaan ini akan membuat daerah terisolasi di Teluk Tomini kian berkembang, serta memperpendek jalur pelayaran. Jadi, kalau ingin ke Teluk Tomini, tidak lagi mesti melayari perairan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.

Begitu pula rencana Thailand membuka Terusan Kra yang menghubungkan Samudra Hindia dan Laut Tiongkok Selatan. Jalur ini juga memperpendek jalur pengangkutan barang dan jasa. Untungnya bagi Indonesia adalah Pulau We dan Sabang akan berkembang sebagai daerah kawasan ekonomi khusus maritim (KEKM) strategis.

Kedua, membangun pelabuhan hub (port hub) di perairan utara Indonesia. Terdapat lokasi strategis yang menyeimbangkan kawasan utara dengan kawasan selatan Indonesia, yaitu Sorong, Biak, Bitung, Teluk Palu, Balikpapan, Tarakan, dan Sabang di Aceh.

Hal ini penting–apalagi jika Terusan Palu dan Kra jadi–sebab ekonomi bagian utara Indonesia akan kian berkembang. Jadi, mengekspor barang dan jasa tak perlu masuk Tanjung Priok dan Tanjung Perak, namun, langsung melalui pelabuhan hub baru menuju Jepang, AS, dan Tiongkok melalui Samudra Pasifik, Selat Makassar (ALKI) II, dan Laut Banda (AKLI III).

Di tengah Indonesia dari arah timur ke barat sudah ada Pelabuhan Makassar, Tanjung Perak, Tanjung Priok, Belawan. Jadi, tinggal menstandardisasikannya. Bagian selatan yang menghadap Samudra Hindia mesti mempertimbangkan Pelabuhan Sibolga, Teluk Bayur, Pelabuhan Ratu, dan Cilacap.

Pelabuhan-pelabuhan di kawasan selatan Indonesia ini pernah berjaya di masa silam. Jadi, konsep poros maritim Indonesia itu adalah poros utara-selatan dan barat-timur. Poros utara-selatan dihubungkan ALKI I, II, dan III, termasuk membuka Terusan Palu. Poros barat-timur menstandardisasi pelabuhan di wilayah perairan non-ALKI agar masuk kategori hub hingga membangun pelabuhan baru. Hal ini bersifat jangka panjang dan menengah.

Ketiga, memperlancar jalur pelayaran antarpulau dan interseluler, utamanya di daerah berbasis kepulauan, pulau-pulau terluar, dan terisolasi. Daerah-daerah itu seumpamanya, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Kepulauan Riau, pesisir timur dan barat Sumatera, sekeliling perairan Pulau Sulawesi, Papua, hingga Papua Barat. Ini pekerjaan rumah besar guna memeratakan pembangunan dan mempersempit kesenjangan antar daerah sebab jangan sampai terulang lagi kejadian mengangkut ikan patin dari Jambi ke Jawa biaya transportasinya lebih mahal ketimbang mengimpor dari Tiongkok dan Vietnam. Ini amat ironis.

Keempat, penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang professional dan bermoral. Hal ini menghindari perilaku moral hazard dan pemburu rente. Harus pula menginternalisasikan nilai-nilai revolusi mental ala Jokowi-JK masuk sebagai faktor pembatas, umpamanya penyiapan SDM melalui Balai Latihan Kerja Maritim (BLKM), Pusat Pelatihan Mandiri Kelautan dan Perikanan (P2MKP), serta Sekolah Kejuruan Maritim (SKM) hingga Sekolah Vokasi Maritim (SVM).

Semuanya akan menjadi pelaku utama dalam menyukseskan IOEP. Jadi, Indonesia tak perlu lagi mengirim tenaga kerjanya ke luar negeri. Ini karena program-program pelatihan dan pendidikan vokasi kemaritiman akan memproduksi wirausaha sosial mandiri.

Pemerintah pun mesti memberikan akses permodalan. Caranya dengan mengeluarkan kebijakan afirmatif agar BUMN (Pertamina) mengalokasikan 5 persen keuntungannya untuk memberdayakan wirausaha sosial mandiri berbasis maritim. Mekanismenya bisa lewat koperasi hingga lembaga keuangan mikro.

Poros utara-selatan hingga barat-timur mestinya menjadi ujung tombak poros maritim. Jika hingga waktu pelantikannya pada Oktober 2014 program konkret tak jelas, Jokowi-JK mengawali pemerintahannya dengan catatan buruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar