Sabtu, 06 September 2014

Konstitusionalitas Poros Maritim

Konstitusionalitas Poros Maritim

M Riza Damanik  ;   Direktur Eksekutif IGJ;
Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)
SINAR HARAPAN, 05 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Setelah presiden terpilih Joko Widodo menyampaikan gagasannya mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, muncul optimisme bercampur kekhawatiran. Optimistis sebab 0pesan ini menegaskan kembali keindonesiaan kita sebagai bangsa laut dan negara kepulauan.

Kita sekaligus khawatir ketika membaca dan mendengar semakin banyak spekulasi memaknai poros maritim tadi, mulai agenda-agenda yang sifatnya ideologis hingga paling pragmatis memperbanyak kerja sama investasi dengan bangsa-bangsa lain.

Sejalan rumusan yang tertuang dalam konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, setidaknya ada empat kepentingan rakyat Indonesia memproklamasikan "kemerdekaannya" di laut, 13 Desember 1957. Kepentingan pertama dan terutama adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kepentingan kedua adalah memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, merdeka guna mencerdaskan kehidupan bangsa. Terakhir, hendak memaksimalkan peran strategis kedaulatan Indonesia di laut dalam menjaga perdamaian dunia.

Kenyataannya setelah 69 tahun berlalu, laut Indonesia masih identik dengan persoalan bangsa, termasuk kumuh dan miskin.

Tidak Kumuh dan Tidak Miskin

Juni 2014, kami bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengikuti perundingan antarnegara hingga melahirkan instrumen internasional perlindungan nelayan skala kecil atau disebut FAO Voluntary Guidelines on Small-scale Fisheries (VGSSF) di Roma, Italia. Terdapat sejumlah kesadaran yang melatari dilahirkannya instrumen ini.

Pertama, setengah hasil tangkapan laut dan budi daya di perairan umum dunia langsung dikonsumsi manusia. Kedua, aktivitas perikanan mempekerjakan lebih dari 35 juta nelayan tangkap dan mendukung mata pencaharian 90 juta orang di level produksi, distribusi, pengolahan, dan pemasaran ikan.

Ketiga, setengah dari pelaku perikanan skala kecil di dunia adalah perempuan (FAO, 2010). Keempat, PBB menyebutkan bahwa perikanan skala kecil dan masyarakat pesisir memiliki tingkat kerentanan tinggi dan kondisi kerja buruk.

Di Indonesia, 13,8 juta orang menggantungkan kehidupannya langsung dari kegiatan perikanan, baik tangkap, budi daya, pengolahan, dan pemasaran. Fakta masih bebasnya mafia perikanan, lemahnya penegakan hukum, hingga absennya kehadiran pemerintah di kampung-kampung pesisir telah menyebabkan terus meluasnya ketimpangan agraria kelautan (perikanan), ketimpangan pembangunan infrastruktur dan teknologi perikanan, hingga ketimpangan rantai pengelolaan perikanan antara pelaku perikanan rakyat dengan industri, termasuk kapal-kapal ikan asing pencuri ikan.

Di sisi lain, studi yang pernah saya lakukan pada 2004 di 17 kabupaten/kota pesisir se-Jawa Tengah menemukan, tidak kurang dari 8835,41 meter kubik per hari volume sampah mengisi kawasan pesisir di Jawa Tengah. Meski ada usaha pemerintah mengangkut sampah tersebut, hanya 67,5 persen yang terangkut dan berhasil dibawa ke pembuangan, selanjutnya didaur. Sementara itu, lebih 30 persen sisanya dibiarkan berada di kantong-kantong pesisir.

Kedua temuan di atas sekiranya cukup menggambarkan kemiskinan dan kekumuhan di perkampungan nelayan bukanlah pesoalan berdiri sendiri dan melekat ke karakter asli nelayan Indonesia. Justru absennya instrumen negara; mulai dari penyelenggaraan pendidikan, penegakan hukum, hingga kegiatan-kegiatan teknis (teknologi) peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha perikanan telah mengantarkan keluarga nelayan ke kondisi miskin dan kumuh.

Konstitusionalitas

UUD 1945 telah memberi penegasan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Pernyataan tersebut sering disalahartikan dengan hanya memberikan konsesi pengelolaan sumber daya alam kepada bangsa lain, mendapatkan pajak dari perusahaan, lalu menggunakan pendapatan pajak untuk pembangunan. Faktanya, daerah-daerah kaya sumber daya alam yang dekat dengan perusahaan-perusahaan (asing) justru identik dengan kemiskinan dan keterbelakangan.

Tanggal 16 Juni 2011, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan empat tolok-ukur "sebesar-besar kemakmuran rakyat", masing-masing kemanfaatan sumber daya alam (SDA) bagi rakyat, tingkat pemerataan manfaat SDA bagi rakyat, tingkat partisipasi rakyat menentukan manfaat SDA, serta penghormatan hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan SDA. Hal ini sekaligus menjadi modal pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) kelak dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Secara lebih operasional, kehendak konstitusi tersebut dapat diturunkan ke tiga agenda prioritas lima tahun ke depan. Pertama, menggeser 1.000 armada kapal besar (di atas 30GT) ke perairan ZEEI, khusus di wilayah pengelolaan perikanan yang belum optimal dimanfaatkan seperti WPP RI 717. Selain mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya ikan di ZEEI, strategi ini dapat mendukung restorasi ekosistem pesisir, meningkatkan ekonomi nelayan kecil, sekaligus mempersempit masuknya kapal-kapal asing pencuri ikan.

Kedua, memudahkan akses informasi dan teknologi ke perkampungan nelayan. Utamanya terkait langsung informasi cuaca, posisi indikatif penangkapan ikan (fishing ground), serta informasi 18 harga ikan konsumsi. Mengapa informasi harga ikan penting? Tidak ada harga acuan ikan telah menyebabkan nelayan menjadi objek eksploitasi dari rantai-dagang perikanan.

Terakhir, memperkuat kelembagaan kelautan. Perlu diketahui, selain melahirkan lembaga negara yang cemerlang seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, reformasi telah melahirkan Departemen Eksplorasi Laut (KKP saat ini) serta Dewan Maritim Indonesia (Dewan Kelautan Indonesia saat ini).

Terdapat tiga kesadaran mutlak saat itu untuk mengembalikan dan melindungi hak-hak masyarakat paling rentan (vulnerable societies) di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, memperkuat peran negara dalam optimalisasi kekayaan sumber daya laut bagi kesejahteraan rakyat, serta menemukan dan mengenali budaya luhur bahari Nusantara.

Ketiganya adalah prasyarat yang harus dilewati sebelum menggerakkan (maritim) dunia. Sejatinya, puncak dari ikhtiar pembangunan adalah kebahagian rakyat Indonesia. Tekad presiden terpilih, Jokowi, mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia juga harus diawali dengan membalik wajah perkampungan nelayan menjadi lebih adil dan sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar