Konstitusionalitas
Poros Maritim
M Riza Damanik ; Direktur
Eksekutif IGJ;
Dewan Pembina Kesatuan Nelayan
Tradisional Indonesia (KNTI)
|
SINAR
HARAPAN, 05 September 2014
Setelah
presiden terpilih Joko Widodo menyampaikan gagasannya mewujudkan Indonesia
sebagai poros maritim dunia, muncul optimisme bercampur kekhawatiran.
Optimistis sebab 0pesan ini menegaskan kembali keindonesiaan kita sebagai
bangsa laut dan negara kepulauan.
Kita
sekaligus khawatir ketika membaca dan mendengar semakin banyak spekulasi
memaknai poros maritim tadi, mulai agenda-agenda yang sifatnya ideologis
hingga paling pragmatis memperbanyak kerja sama investasi dengan
bangsa-bangsa lain.
Sejalan
rumusan yang tertuang dalam konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,
setidaknya ada empat kepentingan rakyat Indonesia memproklamasikan
"kemerdekaannya" di laut, 13 Desember 1957. Kepentingan pertama dan
terutama adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Kepentingan kedua adalah memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, merdeka guna
mencerdaskan kehidupan bangsa. Terakhir, hendak memaksimalkan peran strategis
kedaulatan Indonesia di laut dalam menjaga perdamaian dunia.
Kenyataannya
setelah 69 tahun berlalu, laut Indonesia masih identik dengan persoalan
bangsa, termasuk kumuh dan miskin.
Tidak Kumuh dan Tidak
Miskin
Juni
2014, kami bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengikuti
perundingan antarnegara hingga melahirkan instrumen internasional
perlindungan nelayan skala kecil atau disebut FAO Voluntary Guidelines on Small-scale Fisheries (VGSSF) di Roma,
Italia. Terdapat sejumlah kesadaran yang melatari dilahirkannya instrumen
ini.
Pertama,
setengah hasil tangkapan laut dan budi daya di perairan umum dunia langsung
dikonsumsi manusia. Kedua, aktivitas perikanan mempekerjakan lebih dari 35
juta nelayan tangkap dan mendukung mata pencaharian 90 juta orang di level
produksi, distribusi, pengolahan, dan pemasaran ikan.
Ketiga,
setengah dari pelaku perikanan skala kecil di dunia adalah perempuan (FAO,
2010). Keempat, PBB menyebutkan bahwa perikanan skala kecil dan masyarakat
pesisir memiliki tingkat kerentanan tinggi dan kondisi kerja buruk.
Di
Indonesia, 13,8 juta orang menggantungkan kehidupannya langsung dari kegiatan
perikanan, baik tangkap, budi daya, pengolahan, dan pemasaran. Fakta masih
bebasnya mafia perikanan, lemahnya penegakan hukum, hingga absennya kehadiran
pemerintah di kampung-kampung pesisir telah menyebabkan terus meluasnya
ketimpangan agraria kelautan (perikanan), ketimpangan pembangunan
infrastruktur dan teknologi perikanan, hingga ketimpangan rantai pengelolaan
perikanan antara pelaku perikanan rakyat dengan industri, termasuk
kapal-kapal ikan asing pencuri ikan.
Di
sisi lain, studi yang pernah saya lakukan pada 2004 di 17 kabupaten/kota
pesisir se-Jawa Tengah menemukan, tidak kurang dari 8835,41 meter kubik per
hari volume sampah mengisi kawasan pesisir di Jawa Tengah. Meski ada usaha pemerintah
mengangkut sampah tersebut, hanya 67,5 persen yang terangkut dan berhasil
dibawa ke pembuangan, selanjutnya didaur. Sementara itu, lebih 30 persen
sisanya dibiarkan berada di kantong-kantong pesisir.
Kedua
temuan di atas sekiranya cukup menggambarkan kemiskinan dan kekumuhan di
perkampungan nelayan bukanlah pesoalan berdiri sendiri dan melekat ke
karakter asli nelayan Indonesia. Justru absennya instrumen negara; mulai dari
penyelenggaraan pendidikan, penegakan hukum, hingga kegiatan-kegiatan teknis
(teknologi) peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha perikanan telah
mengantarkan keluarga nelayan ke kondisi miskin dan kumuh.
Konstitusionalitas
UUD
1945 telah memberi penegasan bahwa “Bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Pernyataan
tersebut sering disalahartikan dengan hanya memberikan konsesi pengelolaan
sumber daya alam kepada bangsa lain, mendapatkan pajak dari perusahaan, lalu
menggunakan pendapatan pajak untuk pembangunan. Faktanya, daerah-daerah kaya
sumber daya alam yang dekat dengan perusahaan-perusahaan (asing) justru
identik dengan kemiskinan dan keterbelakangan.
Tanggal
16 Juni 2011, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan empat tolok-ukur "sebesar-besar kemakmuran
rakyat", masing-masing kemanfaatan sumber daya alam (SDA) bagi
rakyat, tingkat pemerataan manfaat SDA bagi rakyat, tingkat partisipasi
rakyat menentukan manfaat SDA, serta penghormatan hak rakyat secara
turun-temurun dalam memanfaatkan SDA. Hal ini sekaligus menjadi modal
pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) kelak dalam mewujudkan
Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Secara
lebih operasional, kehendak konstitusi tersebut dapat diturunkan ke tiga
agenda prioritas lima tahun ke depan. Pertama, menggeser 1.000 armada kapal
besar (di atas 30GT) ke perairan ZEEI, khusus di wilayah pengelolaan
perikanan yang belum optimal dimanfaatkan seperti WPP RI 717. Selain
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya ikan di ZEEI, strategi ini dapat
mendukung restorasi ekosistem pesisir, meningkatkan ekonomi nelayan kecil,
sekaligus mempersempit masuknya kapal-kapal asing pencuri ikan.
Kedua,
memudahkan akses informasi dan teknologi ke perkampungan nelayan. Utamanya
terkait langsung informasi cuaca, posisi indikatif penangkapan ikan (fishing ground), serta informasi 18
harga ikan konsumsi. Mengapa informasi harga ikan penting? Tidak ada harga
acuan ikan telah menyebabkan nelayan menjadi objek eksploitasi dari
rantai-dagang perikanan.
Terakhir,
memperkuat kelembagaan kelautan. Perlu diketahui, selain melahirkan lembaga
negara yang cemerlang seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, reformasi telah
melahirkan Departemen Eksplorasi Laut (KKP saat ini) serta Dewan Maritim
Indonesia (Dewan Kelautan Indonesia saat ini).
Terdapat
tiga kesadaran mutlak saat itu untuk mengembalikan dan melindungi hak-hak
masyarakat paling rentan (vulnerable
societies) di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, memperkuat peran
negara dalam optimalisasi kekayaan sumber daya laut bagi kesejahteraan
rakyat, serta menemukan dan mengenali budaya luhur bahari Nusantara.
Ketiganya
adalah prasyarat yang harus dilewati sebelum menggerakkan (maritim) dunia.
Sejatinya, puncak dari ikhtiar pembangunan adalah kebahagian rakyat
Indonesia. Tekad presiden terpilih, Jokowi, mewujudkan Indonesia sebagai
poros maritim dunia juga harus diawali dengan membalik wajah perkampungan
nelayan menjadi lebih adil dan sejahtera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar