Sabtu, 06 September 2014

Marhaban Musim Haji

Marhaban Musim Haji

Ismatillah A Nu’ad  ;   Peneliti dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
SUARA MERDEKA, 05 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

KLOTER pertama jamaah haji Indonesia telah diberangkatkan mulai Senin (1/9/14). Bagi umat Islam, haji adalah ibadah yang sangat istimewa karena tak semua mampu melakukan. Menunaikan ibadah tersebut, siapa pun dia, pasti menjumpai pengalaman baru, bahkan yang janggal sekalipun. Jutaan manusia memadati Tanah Suci tiap tahun dan masing-masing menjumpai pengalaman berbeda-beda. Tuhan seakan menjamah secara langsung manusia yang melaksanakan ibadah haji. Boleh jadi karena beribadah haji merupakan kunjungan, baik secara fisik maupun metafisik seorang insan yang bertandang ke rumah Tuhan (Baitillah). Manusia disimbolisasikan kembali datang dari perjalanan panjang kehidupannya menuju Tuhannya.

Dalam ibadah haji, cahaj harus bisa memenuhi persyaratan materi dan nonmateri. Bahkan persyaratan nonmateri atau persoalan etika dan akhlak sangat penting sebagai bekal rohani dalam menunaikan ibadah tersebut. Pada konteks ini, terasa menarik memahami pengalaman Farid Esack, muslim Afrika yang menceritakan pengalamannya berhaji dalam karya On Being a Muslim (2002). Suatu saat Esack tak tahu arah menuju Gua Hira, lokasi bersejarah untuk kali pertama Muhammad menerima wahyu. Pemerintah Saudi yang ortodoks membatasi calhaj yang ingin mengunjungi tempat-tempat suci tradisional. Karenanya, bagi orang seperti Esack jangan berharap menemukan tanda-tanda pegawai pemerintah Saudi yang siap menunjukkan jalan.

Ia kemudian hanya mengikuti calhaj lain yang ’’dirasanya’’ tahu jalan ke Gua Hira, atau seperti pengakuannya, ’’Saya hanya mengikuti kaleng-kaleng Pepsi yang berserakan di sepanjang jalan terjal hingga sampai ke mulut gua.’’ Baginya, pengalaman itu tak bisa dilupakan mengingat pencarian spiritualitas dan religiositas hajinya sesaat kehilangan mood dan spirit gara-gara menjumpai kaleng-kaleng Pepsi berserakan di sepanjang jalan terjal itu. Pengalaman itu juga membuat pikiran segera bangkit. Ia langsung berpikir dan tersadar bahwa bisnis kaapitalisme sudah merambah ke tempat-tempat suci. Pikiran lain terbersit atau jangan-jangan bisnis kapitalisme sudah berkelindan dengan penguasa pengelola tempat-tempat suci itu. Entah apakah pikiran semacam itu juga jadi bagian dari pengalaman berhaji, atau sekadar pikiran nakal yang menyelingi seseorang ketika melakukan perjalanan suci. Alibi pertama; apakah membuang sampah (kaleng bekas minuman) di tempat suci, seperti keberserakannya kaleng-kaleng Pepsi itu merupakan tindakan yang sengaja supaya menjadi ’’alat penunjuk jalan’’, atau sebaliknya yaitu merupakan tindakan yang tidak bisa ditoleransi karena mengotori tempat-tempat suci. Alibi kedua tampaknya lebih kuat, mengingat sudah jadi rahasia umum bahwa kesadaran muslim pada umumnya dalam menjaga kebersihan dan melestarikan cagar sejarah-budaya, sangat minim. Bukti kaleng Pepsi bukanlah satu-satunya.

Esack juga menceritakan ada tulisan-tulisan yang mengotori dinding gua, di antaranya kalimat ”Jalima dan Fatimah di Sini 1967”. Teks itu mungkin ingin menunjukkan ada pasangan pernah mendeklarasikan cinta di lokasi tersebut. Perilaku muslim mengotori tempattempat suci sungguh memprihatikan. Tak hanya merusak kekayaan cagar sejarah-budaya Islam yang paling sentral tapi juga bisa kita pertanyakan kadar moralitasnya. Muslim yang baik tak bakal berperilaku fasad (merusak). Meskipun sembarangan membuang sampah atau mencoret-coret dinding sering dianggap tindakan amoral sepele ketimbang korupsi misalnya, tetap saja bahwa sembarangan membuang sampah atau mencorat-coret dinding itu perbuatan buruk. Pelajaran Berharga Kasus kaleng Pepsi di jalan menuju Gua Hira itu mestinya menjadi pelajaran berharga bagi muslim yang pernah, belum, atau yang hendak berhaji.

Pasalnya, fenomena itu lebih mencerminkan sikap dan perilaku yang bisa dimiliki kita semua: muslim Indonesia. Muslim yang baik semestinya bisa menekan semaksimal mungkin supaya tendensi-tendensi perilaku dan sikap buruk itu tidak mencuat menjadi tindakan konkret karena merugikan pihak lain. Perilaku berbuat dosa pada umumnya, sebenarnya tak hanya berimplikasi kerugian pada pribadi yang melakukan tapi juga bagi pihak-pihak lain. Kerugian pada pribadi tercermin paling tidak karena dosa itu membawa pada kerusakan (fasad) moralitas, sementara kerugian bagi pihak lain tercermin baik dari segi material maupun moral. Contoh, bila seseorang korupsi maka kerugian bisa menimpa dua arah. Pertama; bagi pribadi perbuatan itu merusak moralitas dan juga keluarga yang ikut menikmati hasil korupsi. Padahal moralitas adalah sesuatu yang sangat berharga yang seharusnya dimiliki manusia. Kedua; merusak baik secara materi maupun moral pihak-pihak lain. Sebab, misalnya uang yang dikorupsi boleh jadi seharusnya untuk keperluan pendidikan masyarakat. Alangkah baiknya ketika seseorang melaksanakan ibadah haji, sedari awal tertanam tekad benar-benar kembali pada jalan Tuhan yang hanif. Sepulang dari Tanah Suci, kemabruran itu mewujud antara lain tidak lagi merusak apa pun di muka bumi, serta tidak lagi merugikan dan menindas orang lain. Justru selebihnya mengabdikan segalanya hingga akhir hayat dengan menebar manfaat dan keberkahan bagi orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar