Marhaban
Musim Haji
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti
dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 05 September 2014
KLOTER
pertama jamaah haji Indonesia telah diberangkatkan mulai Senin (1/9/14). Bagi
umat Islam, haji adalah ibadah yang sangat istimewa karena tak semua mampu
melakukan. Menunaikan ibadah tersebut, siapa pun dia, pasti menjumpai
pengalaman baru, bahkan yang janggal sekalipun. Jutaan manusia memadati Tanah
Suci tiap tahun dan masing-masing menjumpai pengalaman berbeda-beda. Tuhan
seakan menjamah secara langsung manusia yang melaksanakan ibadah haji. Boleh
jadi karena beribadah haji merupakan kunjungan, baik secara fisik maupun metafisik
seorang insan yang bertandang ke rumah Tuhan (Baitillah). Manusia disimbolisasikan kembali datang
dari perjalanan panjang kehidupannya menuju Tuhannya.
Dalam
ibadah haji, cahaj harus bisa memenuhi persyaratan materi dan nonmateri.
Bahkan persyaratan nonmateri atau persoalan etika dan akhlak sangat penting
sebagai bekal rohani dalam menunaikan ibadah tersebut. Pada konteks ini,
terasa menarik memahami pengalaman Farid Esack, muslim Afrika yang
menceritakan pengalamannya berhaji dalam karya On Being a Muslim (2002).
Suatu saat Esack tak tahu arah menuju Gua Hira, lokasi bersejarah untuk kali
pertama Muhammad menerima wahyu. Pemerintah Saudi yang ortodoks membatasi
calhaj yang ingin mengunjungi tempat-tempat suci tradisional. Karenanya, bagi
orang seperti Esack jangan berharap menemukan tanda-tanda pegawai pemerintah
Saudi yang siap menunjukkan jalan.
Ia
kemudian hanya mengikuti calhaj lain yang ’’dirasanya’’ tahu jalan ke Gua
Hira, atau seperti pengakuannya, ’’Saya
hanya mengikuti kaleng-kaleng Pepsi yang berserakan di sepanjang jalan terjal
hingga sampai ke mulut gua.’’ Baginya, pengalaman itu tak bisa dilupakan
mengingat pencarian spiritualitas dan religiositas hajinya sesaat kehilangan mood dan spirit gara-gara menjumpai
kaleng-kaleng Pepsi berserakan di sepanjang jalan terjal itu. Pengalaman itu
juga membuat pikiran segera bangkit. Ia langsung berpikir dan tersadar bahwa
bisnis kaapitalisme sudah merambah ke tempat-tempat suci. Pikiran lain
terbersit atau jangan-jangan bisnis kapitalisme sudah berkelindan dengan
penguasa pengelola tempat-tempat suci itu. Entah apakah pikiran semacam itu
juga jadi bagian dari pengalaman berhaji, atau sekadar pikiran nakal yang
menyelingi seseorang ketika melakukan perjalanan suci. Alibi pertama; apakah
membuang sampah (kaleng bekas minuman) di tempat suci, seperti
keberserakannya kaleng-kaleng Pepsi itu merupakan tindakan yang sengaja supaya
menjadi ’’alat penunjuk jalan’’, atau sebaliknya yaitu merupakan tindakan
yang tidak bisa ditoleransi karena mengotori tempat-tempat suci. Alibi kedua
tampaknya lebih kuat, mengingat sudah jadi rahasia umum bahwa kesadaran
muslim pada umumnya dalam menjaga kebersihan dan melestarikan cagar
sejarah-budaya, sangat minim. Bukti kaleng Pepsi bukanlah satu-satunya.
Esack
juga menceritakan ada tulisan-tulisan yang mengotori dinding gua, di
antaranya kalimat ”Jalima dan Fatimah di Sini 1967”. Teks itu mungkin ingin
menunjukkan ada pasangan pernah mendeklarasikan cinta di lokasi tersebut.
Perilaku muslim mengotori tempattempat suci sungguh memprihatikan. Tak hanya
merusak kekayaan cagar sejarah-budaya Islam yang paling sentral tapi juga
bisa kita pertanyakan kadar moralitasnya. Muslim yang baik tak bakal
berperilaku fasad (merusak). Meskipun sembarangan membuang sampah atau
mencoret-coret dinding sering dianggap tindakan amoral sepele ketimbang
korupsi misalnya, tetap saja bahwa sembarangan membuang sampah atau mencorat-coret
dinding itu perbuatan buruk. Pelajaran Berharga Kasus kaleng Pepsi di jalan
menuju Gua Hira itu mestinya menjadi pelajaran berharga bagi muslim yang
pernah, belum, atau yang hendak berhaji.
Pasalnya,
fenomena itu lebih mencerminkan sikap dan perilaku yang bisa dimiliki kita
semua: muslim Indonesia. Muslim yang baik semestinya bisa menekan semaksimal
mungkin supaya tendensi-tendensi perilaku dan sikap buruk itu tidak mencuat
menjadi tindakan konkret karena merugikan pihak lain. Perilaku berbuat dosa
pada umumnya, sebenarnya tak hanya berimplikasi kerugian pada pribadi yang
melakukan tapi juga bagi pihak-pihak lain. Kerugian pada pribadi tercermin
paling tidak karena dosa itu membawa pada kerusakan (fasad) moralitas, sementara kerugian bagi pihak lain tercermin
baik dari segi material maupun moral. Contoh, bila seseorang korupsi maka
kerugian bisa menimpa dua arah. Pertama; bagi pribadi perbuatan itu merusak
moralitas dan juga keluarga yang ikut menikmati hasil korupsi. Padahal
moralitas adalah sesuatu yang sangat berharga yang seharusnya dimiliki
manusia. Kedua; merusak baik secara materi maupun moral pihak-pihak lain. Sebab,
misalnya uang yang dikorupsi boleh jadi seharusnya untuk keperluan pendidikan
masyarakat. Alangkah baiknya ketika seseorang melaksanakan ibadah haji,
sedari awal tertanam tekad benar-benar kembali pada jalan Tuhan yang hanif.
Sepulang dari Tanah Suci, kemabruran itu mewujud antara lain tidak lagi
merusak apa pun di muka bumi, serta tidak lagi merugikan dan menindas orang
lain. Justru selebihnya mengabdikan segalanya hingga akhir hayat dengan
menebar manfaat dan keberkahan bagi orang lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar