Bukan
Target Anak Bisa
Muniroh Munawar ; Dosen
PG PAUD Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas PGRI Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 05 September 2014
Tahun
ajaran baru, baru saja dimulai, termasuk di Jateng. Para orang tua telah
mendaftarkan anak mereka ke kelompok bermain (KB), taman kanak-kanak (TK),
sekolah dasar (SD), hingga ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Semua
sekolah tentu saja senang ketika mendapatkan banyak murid baru.
Namun
bagi guru TK, kegembiraan itu juga dibayang-bayangi kecemasan. Mereka
khawatir andai orang tua murid menuntut supaya anak mereka setelah lulus TK
harus bisa baca, tulis, dan hitung (calistung). Mereka berargumen kemampuan
membaca, menulis, dan menghitung acap menjadi semacam prasyarat untuk bisa
lulus seleksi masuk SD. Karena itu, TK yang menerapkan ’’kurikulum’’
calistung lebih mudah mencari pendaftar.
Padahal
semua, termasuk guru tahu bahwa bisa menulis, membaca, dan berhitung bagi
murid TK, bukan syarat mutlak bisa masuk SD. Kalangan pendidik pun tahu
’’mata pelajaran’’ calistung untuk TK adalah stimulasi dengan metode yang tak
sesuai perkembangan anak. Berdasarkan Peraturan Mendiknas (kini Mendikbud)
Nomor 58 tahun 2009, ada lima lingkup perkembangan anak, yaitu nilai agama
moral, kognitif, bahasa, fisik motorik, dan sosial emosi. Nilai-nilai itulah
yang perlu distimulasi dalam rangka kesiapan ke jenjang pendidikan
selanjutnya. Banyak kemampuan yang bisa dikembangkan di PAUD sehingga jangan
dikerdilkan hanya sebatas penguasaan calistung.
Anak-anak
yang saat ini duduk di TK akan memasuki dunia kerja pada 20 tahun mendatang.
Maka, guru harus mendidik atau mempersiapkan mereka dengan pengalaman yang
sesuai dengan tuntutan dunia pada masa itu. Guru harus memahami siklus
belajar anak yang selalu berulang dimulai dari membangun kesadaran, melakukan
penjelajahan (eksplorasi), memperoleh penemuan, untuk selanjutnya anak dapat
menggunakannya. Dengan kata lain, pendekatan pembelajaran yang diperlukan
adalah anak aktif mencari tahu bukannya guru dominan memberi tahu.
Berangkat
dari pemahaman yang tidak tepat itulah maka atas nama pendidikan sejak usia
dini, anak-anak TK kadang dituntut bisa menguasai berbagai kemampuan, semisal
calistung, membuat pekerjaan rumah (PR), berbahasa Inggris, dan sebagainya.
Pengenalan calistung diperbolehkan asalkan dilakukan melalui pendekatan yang
sesuai dengan tahap perkembangan anak. Jenjang pendidikan anak usia dini
(PAUD) tidak diperkenankan mengajarkan materi calistung secara langsung
sebagai pembelajaran sendiri kepada anak. guru hendaknya menciptakan
lingkungan yang kaya dengan ”keaksaraan” yang bisa lebih memacu kesiapan anak
untuk memulai kegiatan calistung. Sebatas Pengenalan Kasubdit Program dan
Evaluasi Direktorat Pembinaan PAUD Kemdikbud Dr Sukiman MPd menegaskan,
kemampuan calistung bukan jadi beban kurikulum PAUD melainkan beban kelas
awal SD/MI. ’’Pembelajaran’’ calistung di PAUD pun sebatas pengenalan, yang
disesuaikan dengan kesiapan masing-masing anak.
Bahkan
ada syarat ikutannya, yakni harus dilakukan secara benar (fungsional),
misalnya huruf pertama yang ingin kita perkenalkan adalah huruf dari nama si
anak tersebut. Bagi murid PAUD belajar alfabet dimulai dari huruf Adapat
menjadi ’’tidak mempunyai arti, terkecuali dia bernama Ade, Ali, atau A d a m
(huruf depan A). Adapun untuk murid PAUD bernama Zaenal, bisa kita ajak
belajar alfabet dimulai dengan huruf Z. Itulah pemaknaan secara benar pengertian
fungsional. PAUD tidak boleh dikerdilkan pada pembelajaran yang bersifat
akademik/skolastik. Dengan kata lain, penguasaan calistung di TK hanya bagian
dari stimulasi bukan target ’’anak bisa’’. Perlu menyamakan persepsi secara
tepat antara guru dan orang tua mengenai stimulasi perkembangant. Di kelas
yang kaya dengan keaksaraan; pengalaman bahasa, membaca, dan menulis bukan
kegiatan yang terpisah. Membaca dan menulis harus jadi bagian kehidupan
sehari-hari bila kita ingin mengembangkan kemampuan dan keaksaraan anak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar