Haji
Mabrur
Achmad Fauzi ; Aktivis
Multikulturalisme
|
KORAN
TEMPO, 05 September 2014
Ibadah
haji menyimpan pesan egalitarianisme. Jutaan umat manusia dengan beragam suku
bangsa, peradaban, dan budaya bertemu di satu tempat yang sakral tanpa sekat
perbedaan. Tak penting pangkatnya apa, hartanya berapa, dan keturunan siapa,
semua melebur dalam satu semangat menunaikan rukun Islam. Ratapan spiritual
tertumpah menarasikan penyesalan dan kadar taubat, hingga manusia menemukan
pengertian maknawi untuk apa sesungguhnya agama itu diturunkan. Tak lain,
kata Romo Y.B. Mangunwijaya, agama untuk memanusiakan manusia.
Pesan
kesetaraan dalam haji semakin diteguhkan oleh simbol baju ihram. Semua baju
jemaah haji ditanggalkan kecuali mengenakan kain berwarna putih dan tidak
berjahit bagi jemaah haji laki-laki. Ini menjadi perlambang bahwa, di pusaran
Ka'bah, baju primordialisme dilepaskan. Di hadapan Tuhan, superioritas suku
bangsa dan strata sosial dinafikan. Semua manusia sederajat dan bebas dari
kecongkakan serta angkara murka.
Tak
ada yang bisa didustakan dalam beragama karena setiap kepura-puraan dalam
beritual seketika mendapat balasan. Banyak cerita dari jemaah haji, bahwa
keburukan yang dilakukan selama berhaji langsung mendapat balasan keburukan
pula. Seandainya peristiwa spiritual tentang makna pembalasan atas kebajikan
dan keburukan yang terjadi di Mekah menggumpal menjadi kesadaran hidup
sehari-hari, tentu kita tak akan menemukan kejadian tragis pembunuhan sesama
manusia, saling sengketa, amuk, pemberangusan, dan intoleransi. Hati manusia
akan selalu putih sewarna dengan kain ihram.
Tapi,
dalam kenyataan sosial, sering dijumpai fakta sebaliknya. Predikat lafdziah
haji ternyata belum sepenuhnya memberikan sumbangsih secara maknawi dalam
kehidupan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap prosesi
haji. Sebutan haji di masyarakat diberikan hanya karena telah menunaikan
ibadah haji. Padahal, harapannya, predikat haji yang begitu agung di dalamnya
membawa konsekuensi komitmen keteladanan tentang sosok haji mabrur. Yakni,
haji yang dilaksanakan dengan baik dan setelah pulang ke tanah air tidak
melakukan hal-hal yang dilarang atau merugikan orang lain.
Kini,
negeri kita sedang menghadapi persoalan serius dalam beragama. Suatu kelompok
tak segan menyesatkan kelompok lain yang berlainan bendera keyakinan dan acap
disertai tindakan intoleran. Seolah porsi kebenaran diborong untuk
golongannya dan tak ada jatah kebenaran buat kelompok lain. Fenomena ini
membutuhkan sumbangsih para haji agar manusia Indonesia lebih dewasa dalam
beragama dan memiliki cara pandang terbuka dalam melihat orang lain. Apalagi,
orang yang sudah berhaji, secara status sosial, di masyarakat sangat
dihormati dan petuahnya didengar banyak orang.
Haji
sangat dimuliakan di masyarakat karena pernah mengunjungi tempat yang sangat
dimuliakan. Karena itu, sebaik-baik seorang haji mabrur adalah yang mampu
memberikan suri-teladan. Seorang haji tak boleh melumuri jiwanya dengan
perbuatan memprovokasi, mempolitisasi ayat Tuhan untuk kepentingan
golongannya, apalagi melakukan anarki atas nama agama. Seorang haji harus
guyub, saling menolong, memanusiakan orang lain, dan bersikap egaliter
terhadap siapa pun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar