Sabtu, 06 September 2014

Haji Mabrur

Haji Mabrur

Achmad Fauzi  ;   Aktivis Multikulturalisme
KORAN TEMPO, 05 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Ibadah haji menyimpan pesan egalitarianisme. Jutaan umat manusia dengan beragam suku bangsa, peradaban, dan budaya bertemu di satu tempat yang sakral tanpa sekat perbedaan. Tak penting pangkatnya apa, hartanya berapa, dan keturunan siapa, semua melebur dalam satu semangat menunaikan rukun Islam. Ratapan spiritual tertumpah menarasikan penyesalan dan kadar taubat, hingga manusia menemukan pengertian maknawi untuk apa sesungguhnya agama itu diturunkan. Tak lain, kata Romo Y.B. Mangunwijaya, agama untuk memanusiakan manusia.

Pesan kesetaraan dalam haji semakin diteguhkan oleh simbol baju ihram. Semua baju jemaah haji ditanggalkan kecuali mengenakan kain berwarna putih dan tidak berjahit bagi jemaah haji laki-laki. Ini menjadi perlambang bahwa, di pusaran Ka'bah, baju primordialisme dilepaskan. Di hadapan Tuhan, superioritas suku bangsa dan strata sosial dinafikan. Semua manusia sederajat dan bebas dari kecongkakan serta angkara murka.

Tak ada yang bisa didustakan dalam beragama karena setiap kepura-puraan dalam beritual seketika mendapat balasan. Banyak cerita dari jemaah haji, bahwa keburukan yang dilakukan selama berhaji langsung mendapat balasan keburukan pula. Seandainya peristiwa spiritual tentang makna pembalasan atas kebajikan dan keburukan yang terjadi di Mekah menggumpal menjadi kesadaran hidup sehari-hari, tentu kita tak akan menemukan kejadian tragis pembunuhan sesama manusia, saling sengketa, amuk, pemberangusan, dan intoleransi. Hati manusia akan selalu putih sewarna dengan kain ihram.

Tapi, dalam kenyataan sosial, sering dijumpai fakta sebaliknya. Predikat lafdziah haji ternyata belum sepenuhnya memberikan sumbangsih secara maknawi dalam kehidupan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap prosesi haji. Sebutan haji di masyarakat diberikan hanya karena telah menunaikan ibadah haji. Padahal, harapannya, predikat haji yang begitu agung di dalamnya membawa konsekuensi komitmen keteladanan tentang sosok haji mabrur. Yakni, haji yang dilaksanakan dengan baik dan setelah pulang ke tanah air tidak melakukan hal-hal yang dilarang atau merugikan orang lain.

Kini, negeri kita sedang menghadapi persoalan serius dalam beragama. Suatu kelompok tak segan menyesatkan kelompok lain yang berlainan bendera keyakinan dan acap disertai tindakan intoleran. Seolah porsi kebenaran diborong untuk golongannya dan tak ada jatah kebenaran buat kelompok lain. Fenomena ini membutuhkan sumbangsih para haji agar manusia Indonesia lebih dewasa dalam beragama dan memiliki cara pandang terbuka dalam melihat orang lain. Apalagi, orang yang sudah berhaji, secara status sosial, di masyarakat sangat dihormati dan petuahnya didengar banyak orang.

Haji sangat dimuliakan di masyarakat karena pernah mengunjungi tempat yang sangat dimuliakan. Karena itu, sebaik-baik seorang haji mabrur adalah yang mampu memberikan suri-teladan. Seorang haji tak boleh melumuri jiwanya dengan perbuatan memprovokasi, mempolitisasi ayat Tuhan untuk kepentingan golongannya, apalagi melakukan anarki atas nama agama. Seorang haji harus guyub, saling menolong, memanusiakan orang lain, dan bersikap egaliter terhadap siapa pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar