Arus
Mundur Demokrasi
Bima Arya ; Wali
Kota Bogor
|
KOMPAS,
08 September 2014
TANTANGAN
terbesar dalam proses demokratisasi adalah keyakinan dari para aktor
demokrasi akan manfaat demokrasi dan kesabaran dalam melakukan
institusionalisasi. Salah satu ungkapan paling masyhur mengenai demokrasi
dicetuskan oleh Juan Linz, yang mengatakan bahwa demokrasi baru
terkonsolidasi manakala ia menjadi satu-satunya metode atau ”permainan” yang disepakati
(the Only Games in Town).
Semakin
tinggi keyakinan semua pihak bahwa demokrasi adalah satu-satunya jembatan
untuk menggapai kesejahteraan, semakin terkonsolidasi demokrasi suatu negara.
Sebaliknya, demokrasi berada dalam ancaman ketika semakin banyak aktor yang
luntur kepercayaannya terhadap demokrasi dan kemudian memiliki skenario lain
yang berlawanan dengan arus demokratisasi.
Rencana
kembalinya pemilihan kepala daerah (pilkada) ke DPRD adalah arus mundur dan
ancaman serius bagi proses konsolidasi demokrasi. Atas nama efisiensi,
demokrasi menjadi kehilangan substansi. Atas nama harmoni, konsolidasi
demokrasi akan mati suri.
Jangan
pernah kita lupakan bahwa semangat pilkada langsung adalah untuk mengikis
praktik oligarki politik ketika segelintir elite menentukan keseluruhan
langgam politik di daerah. Ketika warga hanya bisa menyaksikan panggung
transaksional di lembaga perwakilan yang menentukan masa depan kota mereka,
pilkada langsung telah menempatkan warga menjadi aktor utama dalam suksesi kepemimpinan
lokal, dengan suatu sistem sirkulasi kepemimpinan yang lebih terbuka dan
partisipatif. Pilkada langsung juga membuka jendela harapan warga dalam
mengartikulasikan isu-isu lokal yang menjadi perhatian
mereka.
Betul,
bahwa dalam perjalanannya pilkada langsung telah menghadirkan berbagai
persoalan. Yang kemudian dibutuhkan adalah penyempurnaan dan bukan pergantian
sistem. Banyak opsi bisa dijalankan untuk mengurangi biaya politik pemilihan
langsung. Banyak pula regulasi yang bisa diciptakan untuk memberantas politik
uang dalam pilkada. Ketekunan dan kegigihan kita untuk secara bertahap
menyempurnakan seluruh regulasi dan membangun kultur politik demokratis
menentukan kesuksesan kita dalam mengonsolidasikan demokrasi.
Pengalaman
maju dalam Pilkada Kota Bogor meneguhkan keyakinan saya atas makna substansi
dari demokrasi, yaitu partisipasi. Tidak akan pernah bisa saya lupakan,
sorotan mata warga penuh harapan, pelukan hangat warga sarat ketulusan, dan
aneka sumbangan kudapan warga untuk meringankan perjuangan di lapangan. Tak
terhitung berapa forum digelar untuk membangun komitmen antara saya dan
pemilih tentang masa depan kota dan cita-cita bersama. Memang tak sedikit
yang mengharapkan imbalan atas suara yang diberikan, tetapi strategi pemetaan
lapangan yang akurat dapat mencegah untuk larut dalam pola transaksional yang
tidak mendidik.
Keterlibatan
warga dalam kontestasi politik inilah yang kemudian menempatkan warga dalam
posisi tawar yang strategis dalam setiap proses pembuatan kebijakan oleh kepala
daerah terpilih. Warga tidak saja menjadi elemen pendukung atas kebijakan
yang baik, tetapi juga menjadi komunitas pengingat manakala sang kepala
daerah mulai meninggalkan janji-janji kampanye.
Masih
segar dalam ingatan saya ketika seorang tokoh politik senior menasihati saya
untuk tidak maju dalam pilkada jika tidak siap dengan dana yang besar. ”Anda harus siapkan minimal Rp 15 miliar
atau Rp 20 miliar untuk bisa menang,” kata tokoh tersebut. Waktu kemudian
membuktikan bahwa saya berhasil menang di pilkada dengan angka yang bahkan
tidak sampai setengahnya dari jumlah yang disebut tokoh tadi. Strategi dan
stamina adalah kunci utama suatu kampanye politik yang efisien.
Saya
meyakini bahwa kemunculan kalangan muda sebagai pemenang pada pilkada di
beberapa daerah antara lain menunjukkan kebangkitan peran kelas menengah
dalam politik Indonesia. Kelas yang tidak terbeli oleh politik uang dan
kalangan yang kini mulai menjadi motor perubahan dan bergerak tidak saja di
dunia maya, tetapi juga di dunia nyata. Tren ini yang semestinya harus dibaca
dengan cermat oleh kita semua ketika kelas menengah kita mulai bergeliat
untuk mengikis pragmatisme politik dan membangun kultur baru berpolitik yang
lebih rasional.
Jadi,
jika ada yang mengatakan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Indonesia masih
terlalu rendah untuk suatu demokrasi yang berkualitas, sama saja dengan
meragukan kemampuan bangsa ini untuk terus bergerak maju menuju suatu
masyarakat
yang terdidik dan beradab.
Ketika
wacana untuk mengembalikan pilkada ke DPRD disuarakan oleh banyak tokoh, saya
mendadak teringat atas kalimat terkenal dari James Clarke, seorang
intelektual Amerika abad ke-19, yang mengatakan, ”Seorang politisi berpikir
tentang pemilihan ketika seorang negarawan berpikir tentang generasi masa
depan.”
Setiap
keputusan kita hari ini akan dicatat dalam sejarah dan akan menentukan
kehidupan generasi masa depan. Tugas kita adalah membangun generasi, bukan
hanya berdebat tentang regulasi. Agenda kita adalah penguatan partisipasi,
bukan perdebatan koalisi. Rakyat
berdaulat, demokrasi sehat, Indonesia kuat! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar