Senin, 22 September 2014

Lindungi Si Lemah

Lindungi Si Lemah

Ninok Leksono  ;   Pemimpin Redaksi Kompas
KOMPAS, 22 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

”Perdamaian sejati hanya bisa dibangun dengan memeras keringat, kadang penuh frustrasi.”   (Presiden AS Richard Nixon, seperti dimuat dalam ”Kompas”, 16/12/1983)

UCAPAN pemimpin Amerika di atas bergaung ketika Eropa dipayungi mendung penggelaran peluru kendali (rudal) jarak menengah SS-20, yang lalu dibalas dengan penggelaran rudal NATO Pershing II dan GLCM Tomahawk di paruh pertama dekade 1980-an. Namun, ucapan itu kembali terngiang saat Minggu (21/9) kemarin berlangsung peringatan Hari Perdamaian Internasional (International Day of Peace) di kawasan seputar Bundaran HI, Jakarta.

Hari Perdamaian Internasional (selanjutnya disingkat HPI) yang tahun ini bertema ”Hak Rakyat atas Perdamaian”, oleh The Wahid Institute yang menjadi penggagas penyelenggaraan kemarin diberi subtema ”Menebarkan Perdamaian, Melindungi Si Lemah”. Banyak juga disuarakan slogan ”Tiada Perdamaian tanpa Keadilan”.

Di dekade 1980-an itu, jarum jam nuklir disebut menunjuk pukul 11 malam, yang berarti dunia sedang berada di ambang satu perang nuklir. Sungguh dekade yang amat mendebarkan. Untung sebagaimana Krisis Kuba yang melibatkan senjata nuklir di awal 1960-an, krisis nuklir dekade 1980-an bisa diselesaikan secara damai setelah serangkaian perundingan melelahkan, tetapi berpuncak pada perdamaian, yakni Persetujuan INF (Intermediate-range Nuclear Forces) pada Desember 1987 yang ditandatangani di Washington oleh Presiden Ronald Reagan dan pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev.

Lika-liku menuju Traktat INF mengingatkan kembali pada ucapan Presiden Nixon di atas, jalan ke perdamaian memang acap kali dengan perjuangan dan sangat melelahkan.

Lalu berartikah aktivitas pencari perdamaian yang memainkan drumband dan berpawai mengenakan kaus yang selain bergambar Presiden Abdurrahman Wahid juga bertuliskan ”Peace Without Justice is An Illusion”, yang oleh Nixon mungkin dianggap naif?

Laman ”international day of peace” menyebutkan, setiap orang bisa memperingati HPI, mulai dengan cara paling sederhana, seperti menyalakan lilin, duduk tenang bermeditasi, atau melakukan tindakan baik untuk orang yang tak dikenal. Memperingati HPI bisa pula dilakukan dengan bertukar pesan dan gambar di media sosial.

Dengan demikian, pawai yang diikuti ratusan orang, di antaranya pejabat, diplomat, dan selebritas, kemarin merupakan mata rantai pawai perdamaian yang juga dilakukan di belahan bumi lainnya. Di sana, selain pawai, ada juga konser atau festival yang bertujuan sama, yakni untuk memajukan perdamaian.

Tugas bersama

Menjelaskan makna kegiatan yang diprakarsainya, Direktur The Wahid Institute Zannuba Yenny Wahid menjelaskan, perdamaian tak bisa diserahkan pada satu dua orang saja karena mengupayakan perdamaian merupakan tugas bersama.

Indonesia, menurut Yenny, bisa jadi contoh bagi dunia dalam mengelola perbedaan yang kadang mengarah pada konflik. ”HPI ini momen bagi kita untuk menebar inspirasi ke seluruh dunia. Karena damai itu merupakan a state of mind (satu keadaan pikiran), maka perlu pikiran untuk mewujudkannya. Namun, saya yakin orang Indonesia berani damai,” ujar Yenny.

Minggu, 14 September silam, dalam homili saat misa di pemakaman militer terbesar di Italia, Paus Fransiskus mengatakan, sekarang ini sedikit demi sedikit Perang Dunia III mungkin telah dimulai dengan terjadinya serentetan kejahatan, konflik, pembantaian, dan kehancuran yang sedang berlangsung di seluruh dunia.

Di antara konflik yang disebut Paus adalah Ukraina, Irak, Suriah, Gaza, dan bagian-bagian Afrika. Ini tentu bertentangan dengan pandangan sebagian kalangan yang optimistis bahwa perang yang kita kenal selama ini secara bertahap menjadi satu hal yang kuno anatematis. Selain biayanya mahal, seperti diungkapkan oleh Joseph Stiglitz dalam karyanya, The Three Trillion Dollar War, hasilnya pun tidak efektif.

Namun sayang, konflik dan perang acap muncul karena irasionalitas, sebagaimana disinggung futuris Alvin Toffler dalam bukunya, War and Anti-war. Kalau rasional, kecil adanya insentif untuk berperang mengingat sekarang ada argumen geoekonomi yang menciutkan insentif bangsa-bangsa untuk berperang. (Kompas, 16/9)

Dalam kaitan inilah, meski mencari perdamaian dengan pawai dan slogan t-shirt kadang dinilai naif, seruan-seruan perdamaian tetap memiliki makna. Ini pula yang ditegaskan dalam tema kampanye HP tahun ini, yaitu, ”Saya punya hak atas perdamaian. Kita semua punya hak atas perdamaian.”

Ketika lonceng perdamaian berdentang di Markas Besar PBB di New York tahun ini, ide yang ditegaskan dalam Resolusi 36/37 Majelis Umum PBB Tahun 1981 masih terus bergema, seperti halnya terjadi di Jakarta, kemarin. Sebagaimana diharapkan PBB, perdamaian yang didambakan bukan hanya antarbangsa, tetapi juga yang berlingkup dalam satu bangsa.

Tepat sudah tema yang diangkat oleh The Wahid Institute, yakni menebarkan perdamaian dan melindungi si lemah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar