Lindungi
Si Lemah
Ninok Leksono ;
Pemimpin Redaksi Kompas
|
KOMPAS,
22 September 2014
”Perdamaian sejati hanya bisa
dibangun dengan memeras keringat, kadang penuh frustrasi.” (Presiden
AS Richard Nixon, seperti dimuat dalam ”Kompas”, 16/12/1983)
UCAPAN pemimpin Amerika di atas bergaung
ketika Eropa dipayungi mendung penggelaran peluru kendali (rudal) jarak
menengah SS-20, yang lalu dibalas dengan penggelaran rudal NATO Pershing II
dan GLCM Tomahawk di paruh pertama dekade 1980-an. Namun, ucapan itu kembali
terngiang saat Minggu (21/9) kemarin berlangsung peringatan Hari Perdamaian
Internasional (International Day of
Peace) di kawasan seputar Bundaran HI, Jakarta.
Hari Perdamaian Internasional (selanjutnya
disingkat HPI) yang tahun ini bertema ”Hak Rakyat atas Perdamaian”, oleh The Wahid Institute yang menjadi
penggagas penyelenggaraan kemarin diberi subtema ”Menebarkan Perdamaian, Melindungi Si Lemah”. Banyak juga
disuarakan slogan ”Tiada Perdamaian
tanpa Keadilan”.
Di dekade 1980-an itu, jarum jam nuklir
disebut menunjuk pukul 11 malam, yang berarti dunia sedang berada di ambang
satu perang nuklir. Sungguh dekade yang amat mendebarkan. Untung sebagaimana
Krisis Kuba yang melibatkan senjata nuklir di awal 1960-an, krisis nuklir
dekade 1980-an bisa diselesaikan secara damai setelah serangkaian perundingan
melelahkan, tetapi berpuncak pada perdamaian, yakni Persetujuan INF (Intermediate-range Nuclear Forces)
pada Desember 1987 yang ditandatangani di Washington oleh Presiden Ronald
Reagan dan pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev.
Lika-liku menuju Traktat INF mengingatkan
kembali pada ucapan Presiden Nixon di atas, jalan ke perdamaian memang acap
kali dengan perjuangan dan sangat melelahkan.
Lalu berartikah aktivitas pencari
perdamaian yang memainkan drumband dan berpawai mengenakan kaus yang selain
bergambar Presiden Abdurrahman Wahid juga bertuliskan ”Peace Without Justice is An Illusion”, yang oleh Nixon mungkin
dianggap naif?
Laman ”international day of peace”
menyebutkan, setiap orang bisa memperingati HPI, mulai dengan cara paling
sederhana, seperti menyalakan lilin, duduk tenang bermeditasi, atau melakukan
tindakan baik untuk orang yang tak dikenal. Memperingati HPI bisa pula
dilakukan dengan bertukar pesan dan gambar di media sosial.
Dengan demikian, pawai yang diikuti ratusan
orang, di antaranya pejabat, diplomat, dan selebritas, kemarin merupakan mata
rantai pawai perdamaian yang juga dilakukan di belahan bumi lainnya. Di sana,
selain pawai, ada juga konser atau festival yang bertujuan sama, yakni untuk
memajukan perdamaian.
Tugas
bersama
Menjelaskan makna kegiatan yang
diprakarsainya, Direktur The Wahid
Institute Zannuba Yenny Wahid menjelaskan, perdamaian tak bisa diserahkan
pada satu dua orang saja karena mengupayakan perdamaian merupakan tugas
bersama.
Indonesia, menurut Yenny, bisa jadi contoh
bagi dunia dalam mengelola perbedaan yang kadang mengarah pada konflik. ”HPI
ini momen bagi kita untuk menebar inspirasi ke seluruh dunia. Karena damai
itu merupakan a state of mind (satu keadaan pikiran), maka perlu
pikiran untuk mewujudkannya. Namun, saya yakin orang Indonesia berani damai,”
ujar Yenny.
Minggu, 14 September silam, dalam homili saat misa di pemakaman militer
terbesar di Italia, Paus Fransiskus mengatakan, sekarang ini sedikit demi
sedikit Perang Dunia III mungkin telah dimulai dengan terjadinya serentetan
kejahatan, konflik, pembantaian, dan kehancuran yang sedang berlangsung di
seluruh dunia.
Di antara konflik yang disebut Paus adalah
Ukraina, Irak, Suriah, Gaza, dan bagian-bagian Afrika. Ini tentu bertentangan
dengan pandangan sebagian kalangan yang optimistis bahwa perang yang kita
kenal selama ini secara bertahap menjadi satu hal yang kuno anatematis.
Selain biayanya mahal, seperti diungkapkan oleh Joseph Stiglitz dalam
karyanya, The Three Trillion Dollar War, hasilnya pun tidak efektif.
Namun sayang, konflik dan perang acap muncul karena irasionalitas, sebagaimana
disinggung futuris Alvin Toffler dalam bukunya, War and Anti-war. Kalau rasional, kecil adanya insentif untuk
berperang mengingat sekarang ada argumen geoekonomi yang menciutkan insentif
bangsa-bangsa untuk berperang. (Kompas,
16/9)
Dalam kaitan inilah, meski mencari
perdamaian dengan pawai dan slogan t-shirt kadang dinilai naif, seruan-seruan
perdamaian tetap memiliki makna. Ini pula yang ditegaskan dalam tema kampanye
HP tahun ini, yaitu, ”Saya punya hak
atas perdamaian. Kita semua punya hak atas perdamaian.”
Ketika lonceng perdamaian berdentang di
Markas Besar PBB di New York tahun ini, ide yang ditegaskan dalam Resolusi
36/37 Majelis Umum PBB Tahun 1981 masih terus bergema, seperti halnya terjadi
di Jakarta, kemarin. Sebagaimana diharapkan PBB, perdamaian yang didambakan
bukan hanya antarbangsa, tetapi juga yang berlingkup dalam satu bangsa.
Tepat sudah tema yang diangkat oleh The Wahid Institute, yakni menebarkan
perdamaian dan melindungi si lemah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar