Kamis, 18 September 2014

Korupsi Demokrasi

Korupsi Demokrasi

Adnan Pandu Praja  ;   Komisioner KPK
KOMPAS, 18 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SURVEI KPK: semakin tua usia seseorang atau semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang cenderung  semakin permisif terhadap pemberian oleh calon pada proses pemilu.

Pesta demokrasi berupa pemilihan langsung, umum, bebas, dan rahasia belum lama kita nikmati setelah Reformasi 1998. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan baru merasakan empat kali pemilu sejak 1999 sampai 2014, dalam arti demokrasi dalam menentukan siapa yang dianggap pantas menjadi wakil rakyat dan siapa yang layak memimpin. Tidaklah berlebihan apabila disebut baru belajar berdemokrasi. Yang menikmati, yang mendapat manfaat, ataupun yang memanfaatkan pesta demokrasi sama- sama belajar. Setidaknya ada dua pihak yang sama-sama belajar: rakyat dan aktor politik.

DPR jilid I, hasil pesta demokrasi setelah reformasi yang pertama, sangat ideal. Ketika itu politik uang tidak terdengar. Kepentingan politik yang membuat jarak antara rakyat dan wakilnya relatif belum menonjol. Boleh dibilang itulah masa bulan madu antara konstituen dan wakilnya yang mungkin tak akan terulang kembali, kecuali ada reformasi jilid II. Bisa jadi ini karena trauma masa lalu masih menghantui dan kelompok status quo sedang tiarap. Produk legislasi DPR jilid I menjawab kebutuhan rakyat yang diwakilinya bagaimana membersihkan birokrasi dari virus korupsi dengan diundangkannya UU No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU No 30/2002 tentang KPK.

Dalam perkembangannya, kian jauh dari reformasi, trauma korupsi masa Orde Baru kian terlupakan bersamaan dengan kembali bangkitnya aktor politik Orde Baru. Pahlawan reformasi semakin larut menikmati kekuasaan dengan perilaku hedonis. Jumlah koruptor makin lama makin banyak yang ditangkap karena kasus korupsi. Direktur Jenderal Otonomi Daerah menyatakan 327 kepala daerah korupsi. Kita hampir tak bisa membedakan lagi antara koruptor sejati eks Orde Baru dan koruptor baru sesudah Reformasi. Yang tua dan yang muda sama-sama bertekad membubarkan KPK atau setidaknya mengebiri KPK dengan RUU KUHP dan RUU KUHAP. Situasinya sedang kita kembalikan ke zaman Orde Baru.

Rakyat mengamati

Rakyat mengamati dengan setia perubahan perilaku para warga terhormat pejuang reformasi yang menjelma menjadi aktor politik. Sebagai tokoh masyarakat, mereka jadi panutan masyarakat sehari-hari. Perilaku hedonis memberi kesan kepada masyarakat bahwa menjadi aktor politik adalah cara pintas menjadi kaya. Akibatnya, rakyat semakin realistis mengartikan pesta demokrasi dengan pelesetan NPWP: ”nomor piro wani piro”. Yang punya cukup modal berbondong-bondong mencalonkan diri. Tak jarang satu keluarga (bapak, ibu, anak, dan menantu) mengadu nasib dalam pemilu.

Untuk mengukur kadar politik uang pada Pemilu 2014, KPK membuat survei persepsi masyarakat terhadap integritas pemilu di 10 kota besar dengan 1.322 responden. Tujuan survei, mengetahui pemahaman masyarakat terhadap pemilu berintegritas, meliputi pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap pemilih, peserta, dan penyelenggara pemilu. Survei dilakukan dengan wawancara langsung (akhir Maret-awal April 2014).

Hasilnya cukup mengejutkan. Ada kecenderungan semakin tua usia pemilih akan semakin permisif terhadap pemberian oleh calon. Warga Surabaya paling permisif (40,7 persen) ketimbang warga Jakarta dan Manado. Warga Medan paling kurang permisif dengan 16,0 persen. Sebaliknya, responden muda usia di bawah 21 tahun yang paling anti pemberian adalah warga Yogyakarta. Semua respondennya berpandangan pemberian oleh calon adalah tidak baik.

Ada kecenderungan kian tinggi tingkat pendidikan seseorang akan kian permisif atas pemberian. Semua responden berpendidikan di atas S-1 di kota Manado, Bandung, dan Palembang menganggap baik pemberian sesuatu dari kandidat. Sebanyak 85,6 persen responden menganggap baik pemberian oleh calon pilihannya.

Hasil survei di atas menggambarkan rendahnya tingkat integritas pemilih. Ternyata tingginya tingkat pendidikan tidak menjamin integritas. Jangan-jangan apabila Transparansi Internasional menggunakan politik uang sebagai indikator, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia bukan 32, melainkan di bawah 20. Lebih rendah dibandingkan dengan sebelum reformasi. Dengan kondisi tersebut, sangat sulit bertarung dalam pemilu tanpa modal besar. Wajar jika yang terpilih akan berusaha keras mengembalikan modalnya melalui korupsi APBD ataupun perizinan.

Kepala daerah merasa terjepit oleh tiga kekuatan. Pertama, pemodal yang membiayai kampanye. Kedua, Dewan yang juga bermasalah dengan modal politik. Pada perayaan Hari Anti Korupsi 9 Desember 2013 di forum KPK yang dihadiri lebih dari 300 kepala daerah, isu yang banyak dibahas bagaimana menghadapi tekanan Dewan.

Ini senada dengan keluhan para kepala daerah akhir-akhir ini berkenaan dengan rencana pilkada tak langsung. Perilaku menyimpang oknum Dewan sepertinya telah difasilitasi dalam bingkai besar UU MD3 yang penuh kontroversi, antara lain dengan menghilangkan pasal pertanggungjawaban kinerja anggota dewan terhadap konstituennya; satu-satunya pasal yang sejatinya menghubungkan anggota Dewan dengan konstituennya.

Ketiga, KPK yang tak kenal kompromi menjebloskan kepala daerah korup. Sebagai bentuk protes, pada 6 Mei 2014, pengurus asosiasi bupati dan wali kota seluruh Indonesia mendatangi KPK. Mereka mengeluhkan hanya bisa menyerap anggaran belanja modal maksimal 50 persen karena mereka takut salah mengambil keputusan. Mereka mendesak agar kinerja penindakan KPK dikurangi. Tentu saja ditolak mentah-mentah oleh KPK.

Begitu masif

Ketiga hal itu menggambarkan politik transaksional begitu masif. Pilkada langsung cenderung  koruptif, apalagi pilkada tidak langsung. Yang dibutuhkan negara dan masyarakat adalah kepala daerah yang berintegritas dan punya kompetensi.

Harapan itu akan tercapai bila para calon kepala daerah lulus tes integritas dan tes kompetensi sebelum bersaing (Kompas, 26 Agustus 2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar