Belajar
pada Masa Depan
Sonny Harry B Harmadi ;
Kepala
Lembaga Demografi FEUI;
Ketua
Umum Koalisi Kependudukan
|
KOMPAS,
18 September 2014
SELAMA
masa transisi ini, pemerintahan mendatang (Joko Widodo-Jusuf Kalla) harus
mempersiapkan langkah strategis kebijakan pembangunan yang didasarkan pada
analisis situasi pada masa depan. Pemahaman tentang apa yang akan terjadi
pada masa depan mutlak dibutuhkan guna merancang respons kebijakan yang
tepat. Dalam jangka pendek, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK)
setidaknya perlu memiliki gambaran tentang Indonesia lima tahun ke depan dan
meletakkan landasan pembangunan yang kuat untuk 100 tahun Indonesia merdeka
(2045).
Beberapa
ilmuwan telah menyampaikan sejumlah argumen akan pentingnya kita belajar pada
masa depan. Jan Tinbergen, peraih Nobel Ekonomi 1969, sudah mengingatkan
bahwa perencanaan ekonomi didasarkan pada estimasi masa depan dan bukan
sekadar analisis situasi pada masa lalu. Fahey dan Randall (1997) dalam
bukunya yang berjudul Learning from the
Future: Competitive Foresight Scenarios menekankan pentingnya para
pengambil keputusan untuk belajar pada masa depan sebelum menjadi kenyataan.
Demikian
halnya dengan Stimson dan Stough (2008), yang menjelaskan bahwa perencanaan
pembangunan tak bisa hanya mengandalkan data historis (masa lalu) semata,
tanpa mengacu pada proyeksi masa depan. Perencanaan sekadar berbasis data
masa lalu hanyalah sebuah ilusi yang mengasumsikan bahwa apa yang akan
terjadi pada masa depan sama halnya dengan apa yang telah terjadi pada masa
lalu. Ibarat seorang pengemudi yang tak perlu melihat ke depan, cukup melihat
kaca spion, dengan harapan jalan yang akan dilaluinya sama persis dengan
jalan yang telah dilewatinya. Tentu kita dapat terjebak oleh suatu kesalahan
perencanaan, seperti halnya pengemudi yang tiba-tiba menghadapi jurang di
depannya.
Belajar dari proyeksi
penduduk
Salah
satu hal terpenting dalam memahami masa depan ialah dengan menganalisis
situasi kependudukan berdasarkan hasil proyeksi penduduk. Teknik demografi
memungkinkan kita menghitung proyeksi penduduk dan mempelajari dinamika
penduduk, setidaknya dalam 25 tahun ke depan, dengan menggunakan basis data
sensus penduduk ataupun survei penduduk antarsensus. Variabel demografi
merupakan determinan penting terhadap perubahan ekonomi, lingkungan, dan
sosial pada masa depan.
Proyeksi
penduduk memungkinkan kita mempelajari tren jumlah penduduk dan
pertumbuhannya, struktur umur penduduk, migrasi, ataupun tingkat urbanisasi
pada masa depan. Tentu harus kita sadari bahwa situasi kependudukan tidak
akan berubah secara drastis, berbeda halnya dengan harga komoditas yang dapat
mengalami kenaikan atau penurunan dalam waktu singkat. Terlepas dari berbagai
asumsi yang digunakan, setidaknya proyeksi penduduk menjadi sangat penting
untuk kita belajar dari masa depan.
Sebagai
contoh, proyeksi penduduk yang disusun oleh Widjojo Nitisastro bersama
Nathanael Iskandar (2 dari 4 orang pendiri Lembaga Demografi FEUI) pada tahun
1970 memperkirakan bahwa jumlah penduduk Indonesia tahun 2000 akan mencapai
angka 286 juta jiwa. Agar pemerintah dapat merespons dengan tepat, Widjojo
mengusulkan adanya suatu program pengendalian kelahiran melalui Keluarga
Berencana (KB). Kenyataannya, respons pemerintah melalui program KB sangat
tepat karena jumlah penduduk hasil Sensus Penduduk 2000 menunjukkan angka
”hanya” sebesar 206 juta jiwa, lebih rendah 80 juta jiwa dari yang
diproyeksikan sebelumnya. Bukan proyeksinya yang salah, melainkan respons
kebijakannya yang justru tepat.
Indonesia pada masa
depan
Situasi
kependudukan Indonesia terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pada
tahun 1980, lebih dari 40 persen penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke
bawah. Bandingkan dengan kondisi saat ini, kurang dari 28 persen yang berusia
di bawah 15 tahun dan hampir 67 persen penduduk termasuk dalam kelompok usia
produktif (15-64 tahun). Tentu respons dan strategi pembangunan yang
dibutuhkan juga berbeda.
Mengacu
pada proyeksi penduduk Bappenas (2013), pada tahun 2015 jumlah penduduk
Indonesia diperkirakan akan mencapai lebih dari 255 juta jiwa. Dalam periode
pertama akhir pemerintahan Jokowi-JK (2019), jumlah penduduk diproyeksikan
mencapai 268 juta jiwa. Artinya, selama lima tahun pemerintahan tersebut,
akan ada tambahan jumlah penduduk sekitar 13 juta jiwa.
Pemerintahan
mendatang harus menyadari bahwa sejak tahun 2012 Indonesia mulai memasuki
periode bonus demografi di mana rasio ketergantungan telah mencapai angka di
bawah 50. Artinya, setiap 100 penduduk usia produktif (pekerja) hanya
menanggung kurang dari 50 penduduk usia nonproduktif (bukan pekerja). Hingga
berakhirnya masa pemerintahan Jokowi-JK, Indonesia masih terus berada dalam
periode bonus demografi. Pemanfaatan bonus demografi mutlak membutuhkan
dukungan kebijakan yang tepat. Optimalisasi pemanfaatan bonus demografi
menjadi salah satu solusi bagi Indonesia untuk keluar dari jebakan negara
berpenghasilan menengah.
Ada
dua hal pada masa depan yang tidak pernah terjadi pada masa lalu. Pertama,
jumlah penduduk perkotaan yang lebih besar daripada pedesaan. Proyeksi
penduduk Bappenas (2013) memperkirakan pada tahun 2035 jumlah penduduk perkotaan
akan mencapai 66 persen. Kedua, meningkatnya proporsi penduduk lanjut usia (lansia)
secara cepat. Tahun 2015, diperkirakan sekitar 5,4 persen penduduk Indonesia
adalah kelompok lansia (usia 65 tahun ke atas). Proyeksi penduduk yang
dilakukan Lembaga Demografi berdasarkan beberapa asumsi tertentu
memperkirakan pada tahun 2045 jumlah lansia Indonesia akan mencapai hampir 44
juta jiwa (13,7 persen penduduk). Meskipun umumnya proyeksi penduduk
dilakukan untuk 25 tahun ke depan, setidaknya kita bisa memperoleh gambaran
tentang begitu besar jumlah lansia ketika 100 tahun Indonesia merdeka.
Proyeksi
penduduk harus menjadi sumber belajar bagi kita untuk merespons masa depan.
Apa pun proyeksi kebutuhan sektoral, baik energi, pangan, air, perumahan,
transportasi, lapangan kerja, dan sebagainya, perlu mempertimbangkan proyeksi
penduduk. Tulisan ini sekadar mengingatkan para pengambil kebijakan untuk
tidak melupakan kependudukan sebagai pilar pembelajaran dari dan untuk masa
depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar