Kepemimpinan
Partai Beringin
Arya Budi ; Peneliti
Poltracking Institute
|
KORAN
TEMPO, 05 September 2014
Pelantikan
anggota DPR RI tak lebih dari sebulan lagi, 1 Oktober 2014, dan pada hari itu
pimpinan alat kelengkapan Dewan akan dipilih. Sementara itu, pelantikan
presiden terpilih terpaut tiga minggu setelahnya, 20 Oktober 2014, dengan
komposisi menteri kabinet Jokowi-JK.
Tahun
politik 2014 belum selesai. Selain mendapat perolehan suara akumulatif
terbesar kedua (14,75 persen) pada April 2014, harus diakui persebaran
suara-dan perolehan kursi-Golkar paling merata dibanding partai lain. Hanya
dua provinsi (Kepri dan Bengkulu) yang tidak dimiliki Golkar, sementara PDIP
(18,9 persen)-partai pemenang pemilu legislatif sekaligus pilpres 2014-absen
di tiga provinsi (Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara).
Posisi
kelembagaan Golkar, apakah berada di pemerintahan bersama Jokowi-JK atau di
luar bersama Koalisi Merah Putih, akan menentukan konstelasi politik lima
tahun ke depan. Tentu hal ini tidak menegasikan pengaruh partai lain yang
semuanya berkekuatan lebih dari 3,5 persen suara sah. Oktober 2014 menjadi
momentum paling krusial bagi semua partai, termasuk Golkar. Artinya,
September ini adalah the last minute
sebelum kita menyaksikan "gol kemenangan" atau "gol bunuh
diri" yang akan terjadi.
Meski
demikian, konstelasi pemerintahan ke depan juga ditentukan oleh produk
politik yang dihasilkan dari turbulensi di lingkup internal Golkar saat ini:
Munas 2014 versus Munas 2015, kepemimpinan lama versus kepemimpinan baru, di
luar pemerintahan versus di dalam pemerintahan. Faksionalisme adalah klise
bagi Golkar. Tapi buntut faksionalisasi Golkar, dengan berusaha menganulir
keterpilihan kadernya sebagai anggota Dewan, menyentak asumsi perihal
pelembagaan Golkar yang dianggap mapan (Dirk Tomsa, 2008). Atau, jika kita
meminjam istilah Indonesianis lainnya (McBeth, 2001), Golkar bukan lagi a genuine political party di Indonesia.
Dalam
tradisi politik Golkar, pemecatan kader oleh institusi adalah tabu--beda soal
dengan kader yang hijrah ke partai lain, atau membentuk partai. Harus jujur
kita katakan, banyak partai saat ini adalah partai yang lahir dari
faksionalisme kader Golkar. Dari 12 partai peserta Pemilu 2014 saja, paling
tidak ada empat partai yang lahir dari pimpinan eks-kader Golkar: Gerindra,
Hanura, NasDem, dan PKPI. Hasilnya, dalam Pemilu 1999, Golkar tetap berada di
dua digit dengan 22,4 persen suara. Namun suara Golkar terus menurun: 21,6
persen pada 2004; stagnan 14,45 persen pada pemilu 2009; dan 14,75 persen
pada 2014 ini.
Golkar
tak lagi bisa bergerak menggunakan "partisipasi top-down" ala
militer dan birokrasi yang dulu pernah seatap. Terminologi pemersatu
pembilahan sosial tak lagi menggaung sebagai vote getter. Kelompok induk
organisasi atau kino-kino Golkar, seperti Kosgoro, MKGR, dan Soksi, tak lagi
bisa menjadi pupuk penyubur suara Golkar. Jika Golkar kembali gagal mengelola
faksionalisasi, diskursus terhadap dirinya akan berpindah dari "mesin
elektoral" menjadi sekadar "strategi
survival".
Pengalaman
dinamika faksi Golkar juga terjadi pada Partai Sosialis di Prancis, yang kini
tengah berkuasa di bawah kendali Francois Hollande. Namun faksionalisasi
Partai Sosialis di Prancis era 1990-an berdampak positif pada revitalisasi
ideologi dan munculnya kepemimpinan baru (leadership
renewal) dalam partai (Serenella
Sferza, 2002).
Pembaruan
kepemimpinan, sebagai sebuah produk faksionalisasi, akan menggiring pada
revitalisasi ideologi. Mengutip Takashi Siraishi dalam The Authoritarian Bureaucratic Politics of Development: Indonesia
under Suharto's New Order, "Ideologi
Golkar seolah menjadi pemersatu semua kekuatan di bawah beringin yang
besar". Pemecatan kader (caleg terpilih) partai sebagai anggota
belakangan ini tentu kontra-ideologis sebagai partai pemersatu bagi beringin
yang besar. Kita perlu ingat, Golkar lahir dari sedikitnya 61 organisasi
lintas profesi (dan kepentingan) di bawah Sekber Golkar (Suryadinata dan Emmerson, 1991).
Jika
eksklusivitas terus berlanjut, tentu partai beringin akan meranggas kering
oleh benalu. Golkar mungkin saja akan menjadi party without members alias
partai tanpa anggota (Susan E. Scarrow,
2000), karena elite partai tercerabut dari akar-akar konstituen. Atau
jika bukan demikian, Golkar-seperti juga beberapa partai lain-hanya sampai
pada partai politik sebagai campaign organization alias organisasi kampanye (David Farrel dan Paul Webb, 2002).
Dalam
konteks partai sebagai organisasi kampanye inilah, menurut Farrell dan Webb,
partai cenderung bergerak ke tiga fitur utama: 1) terjadi sentralisasi
pengorganisasian dan profesionalisasi peran fungsionaris partai, 2) gerak
partai (sikap dan keputusan) banyak dipengaruhi oleh opini dan tuntutan
publik sebagai pemilih, 3) persepsi terhadap pemimpin partai memegang peran
dan tema penting dalam agenda elektoral. Dalam paradigma realis, tujuan utama
partai adalah menang pemilu, dan pragmatisme adalah salah satu jalan cara
partai bekerja. Jika demikian, leadership
renewal menjadi poin kunci bagi Golkar untuk menghadapi momentum terakhir
tahun politik ini, Oktober 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar