Sabtu, 06 September 2014

Kekerasan Terhadap Anak

Kekerasan Terhadap Anak

Erlangga Masdiana  ;   Mantan Ketua Program Pascasarjana Kriminologi FISIP-UI
KORAN JAKARTA, 05 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Kekerasan terhadap anak di Kabupaten Siak, Riau, yang melibatkan suami-istri dan dua teman telah merenggut tujuh nyawa, enam di antaranya anak-anak. Setidak-tidaknya ada lima tindak kejahatan yang dilakukan para pelaku: penculikan, penganiayaan, asusila (sodomi), pembunuhan, dan mutilasi.

Tak ada data pasti kejahatan terhadap anak di Indonesia. Masyarakat masih memandang kekerasan pada anak, terutama kekerasan seksual, sebagai aib sehingga enggan melaporkan ke polisi. Ini berbeda dengan kejahatan seks terhadap anak di Inggris yang masyarakatnya sudah lebih maju.

Kejahatan (apalagi seksual) terhadap anak harus ditangani serius, baik penegakan hukum maupun trauma korban. Kekerasan seksual terhadap anak terjadi hampir setiap 20 menit. Anak perempuan lebih banyak menjadi korban pemerkosaan, inces, dan prostitusi. Sebagian besar korban berusia 11–17.

Di Inggris, tidak ada kejahatan seks atau kekerasan anak diakhiri mutilasi sebagai bentuk “penghilangan” barang bukti. Di Indonesia, para penjahat anak-anak sangat kejam. Ada yang memutilasi. Padahal korban merupakan sosok yang tidak mampu melawan. Pembunuhan disertai mutilasi dilakukan untuk menghilangkan jejak. Namun, teknologi kepolisian sudah maju sehingga mampu mengungkap. Maka, pemutilasi banyak tertangkap.

Kejahatan memang tidak mungkin hilang dari realitas sosial. Yang terpenting harus ditekan agar intensitasnya menurun. Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan intensitas kejahatan, di antaranya subbudaya kekerasan. Para pelaku yang memiliki riwayat langsung sebagai korban kekerasan berpotensi bertindak kekerasan pada orang lain. Di Chicago, Amerika Serikat, tak jauh dari tempat tinggal Presiden Barrack Obama, banyak anak bertindak kekerasan karena berada dalam lingkungan subbudaya kekerasan. Mereka menganggap membunuh itu biasa.

Berbagai subbudaya kekerasan ada di sebagian masyarakat Indonesia. Contoh, masyarakat Madura menganut “subbudaya carok” (saling bunuh). Orang Dayak mengenal “subbudaya mengayau” (memotong atau memenggal leher). Di Sulawesi Selatan ada “sub-budaya siri”. Orang yang mempermalukan akan dikejar untuk dibunuh.

Kemudian, media massa yang mengekspos kekerasan dan konflik secara tidak disadari telah menghadirkan “rasa atau selera wajar” (pembiasaan) terhadap kekerasan. Nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan tergerus fenomena “wajar” tadi.

Kekerasan ditampilkan dengan modus operandi, dan motif kejahatan ditampilkan begitu menarik agar disimak khalayak (audiens). Bahkan ada sebagian media menampilkan pelaku dengan berbagai problem pribadi dan sosialnya. Kadang ini bisa menjadi rasionalisasi kekerasan.

Praktik media semacam ini, meski dalam rangka kontrol sosial, pada sebagian kalangan juga bisa membawa efek peniruan (walaupun delayed effect) yang bisa menjadi katalog dalam memori panjang audiens, terutama yang berproblem mirip. Hal ini bisa saja suatu ketika muncul andai ada problem pribadi dan sosial yang begitu menekan sehingga tinggal menunggu trigger factors.

Mutilasi atau kekerasan terhadap anak menggambarkan realitas sosial. Situasi ini harus diwaspadai. Orang tua yang memiliki anak-anak khawatir kalau terus disuguhi berita seperti penculikan, perdagangan anak, mempekerjakan anak, sodomi, perdagangan bayi, penjualan organ tubuh, dan aborsi.

Ketahanan Sosial

Bangunan nilai masyarakat perlu dipertanyakan, apakah masih menganut nilai-nilai Pancasila yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa? Apakah nilai masyarakat telah begeser pada budaya pragmatisme?

Kualitas kekerasan dari waktu ke waktu terus meningkat. Secara kuantitatif, banyak bermunculan. Berbagai kejadian kekerasan di dalam rumah tangga juga banyak. Contoh, di Bandung dan Jember, ada seorang ibu, hanya karena kesal pada suami, menganiaya anak. Ada ibu rela menjual anak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Ada ayah memerkosa anak kandung, anak tiri, dan keponakan.

Di luar rumah, berbagai kekerasan anak acap kali terjadi, seperti di permukiman liar, kolong jembatan, pinggir rel, dan terminal. Anak-anak sangat rentan menjadi korban kejahatan. Maka, orang tua harus menjaga dengan baik. Banyak kekerasan pada bocah karena pengawasan orang tua lemah.

Ketika orang tua sudah memercayakan pada orang lain di luar rumah, misalnya di sekolah, berarti peran sebagai perlindungan adanya di lembaga pendidikan tersebut. Ini juga dapat diartikan nilai pengakuan terhadap hak-hak anak antara rumah (keluarga) dan sekolah tidak boleh bertentangan.

Dugaan kekerasan seksual di sebuah sekolah internasional di Jakarta merupakan tamparan berat para pendidik. Apalagi atas dasar nilai kemandirian, anak tidak didampingi sehingga menjadi korban kekerasan seksual. Kuncinya harus ada ketahanan sosial guna menekan berbagai tindakan kekerasan terhadap anak. Keluarga dan lembaga pendidikan mestinya menjunjung tinggi nilai-nilai kasih sayang dan perlindungan anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar