Kekerasan
Terhadap Anak
Erlangga Masdiana ; Mantan
Ketua Program Pascasarjana Kriminologi FISIP-UI
|
KORAN
JAKARTA, 05 September 2014
Kekerasan
terhadap anak di Kabupaten Siak, Riau, yang melibatkan suami-istri dan dua
teman telah merenggut tujuh nyawa, enam di antaranya anak-anak.
Setidak-tidaknya ada lima tindak kejahatan yang dilakukan para pelaku:
penculikan, penganiayaan, asusila (sodomi), pembunuhan, dan mutilasi.
Tak
ada data pasti kejahatan terhadap anak di Indonesia. Masyarakat masih
memandang kekerasan pada anak, terutama kekerasan seksual, sebagai aib
sehingga enggan melaporkan ke polisi. Ini berbeda dengan kejahatan seks
terhadap anak di Inggris yang masyarakatnya sudah lebih maju.
Kejahatan
(apalagi seksual) terhadap anak harus ditangani serius, baik penegakan hukum
maupun trauma korban. Kekerasan seksual terhadap anak terjadi hampir setiap
20 menit. Anak perempuan lebih banyak menjadi korban pemerkosaan, inces, dan prostitusi.
Sebagian besar korban berusia 11–17.
Di
Inggris, tidak ada kejahatan seks atau kekerasan anak diakhiri mutilasi
sebagai bentuk “penghilangan” barang bukti. Di Indonesia, para penjahat
anak-anak sangat kejam. Ada yang memutilasi. Padahal korban merupakan sosok
yang tidak mampu melawan. Pembunuhan disertai mutilasi dilakukan untuk
menghilangkan jejak. Namun, teknologi kepolisian sudah maju sehingga mampu
mengungkap. Maka, pemutilasi banyak tertangkap.
Kejahatan
memang tidak mungkin hilang dari realitas sosial. Yang terpenting harus
ditekan agar intensitasnya menurun. Ada beberapa faktor yang dapat
meningkatkan intensitas kejahatan, di antaranya subbudaya kekerasan. Para
pelaku yang memiliki riwayat langsung sebagai korban kekerasan berpotensi bertindak
kekerasan pada orang lain. Di Chicago, Amerika Serikat, tak jauh dari tempat
tinggal Presiden Barrack Obama, banyak anak bertindak kekerasan karena berada
dalam lingkungan subbudaya kekerasan. Mereka menganggap membunuh itu biasa.
Berbagai
subbudaya kekerasan ada di sebagian masyarakat Indonesia. Contoh, masyarakat
Madura menganut “subbudaya carok” (saling bunuh). Orang Dayak mengenal
“subbudaya mengayau” (memotong atau memenggal leher). Di Sulawesi Selatan ada
“sub-budaya siri”. Orang yang mempermalukan akan dikejar untuk dibunuh.
Kemudian,
media massa yang mengekspos kekerasan dan konflik secara tidak disadari telah
menghadirkan “rasa atau selera wajar” (pembiasaan) terhadap kekerasan.
Nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan tergerus fenomena “wajar” tadi.
Kekerasan
ditampilkan dengan modus operandi, dan motif kejahatan ditampilkan begitu
menarik agar disimak khalayak (audiens). Bahkan ada sebagian media
menampilkan pelaku dengan berbagai problem pribadi dan sosialnya. Kadang ini
bisa menjadi rasionalisasi kekerasan.
Praktik
media semacam ini, meski dalam rangka kontrol sosial, pada sebagian kalangan
juga bisa membawa efek peniruan (walaupun delayed
effect) yang bisa menjadi katalog dalam memori panjang audiens, terutama
yang berproblem mirip. Hal ini bisa saja suatu ketika muncul andai ada
problem pribadi dan sosial yang begitu menekan sehingga tinggal menunggu trigger factors.
Mutilasi
atau kekerasan terhadap anak menggambarkan realitas sosial. Situasi ini harus
diwaspadai. Orang tua yang memiliki anak-anak khawatir kalau terus disuguhi
berita seperti penculikan, perdagangan anak, mempekerjakan anak, sodomi,
perdagangan bayi, penjualan organ tubuh, dan aborsi.
Ketahanan Sosial
Bangunan
nilai masyarakat perlu dipertanyakan, apakah masih menganut nilai-nilai
Pancasila yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa? Apakah nilai masyarakat
telah begeser pada budaya pragmatisme?
Kualitas
kekerasan dari waktu ke waktu terus meningkat. Secara kuantitatif, banyak
bermunculan. Berbagai kejadian kekerasan di dalam rumah tangga juga banyak.
Contoh, di Bandung dan Jember, ada seorang ibu, hanya karena kesal pada
suami, menganiaya anak. Ada ibu rela menjual anak untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi. Ada ayah memerkosa anak kandung, anak tiri, dan keponakan.
Di
luar rumah, berbagai kekerasan anak acap kali terjadi, seperti di permukiman
liar, kolong jembatan, pinggir rel, dan terminal. Anak-anak sangat rentan
menjadi korban kejahatan. Maka, orang tua harus menjaga dengan baik. Banyak
kekerasan pada bocah karena pengawasan orang tua lemah.
Ketika
orang tua sudah memercayakan pada orang lain di luar rumah, misalnya di
sekolah, berarti peran sebagai perlindungan adanya di lembaga pendidikan
tersebut. Ini juga dapat diartikan nilai pengakuan terhadap hak-hak anak
antara rumah (keluarga) dan sekolah tidak boleh bertentangan.
Dugaan
kekerasan seksual di sebuah sekolah internasional di Jakarta merupakan
tamparan berat para pendidik. Apalagi atas dasar nilai kemandirian, anak
tidak didampingi sehingga menjadi korban kekerasan seksual. Kuncinya harus
ada ketahanan sosial guna menekan berbagai tindakan kekerasan terhadap anak.
Keluarga dan lembaga pendidikan mestinya menjunjung tinggi nilai-nilai kasih
sayang dan perlindungan anak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar