Kenangan
Fosbury sampai Susi Susanti
Nur Haryanto ;
Wartawan
Tempo
|
KORAN
TEMPO, 17 September 2014
Dick
Fosbury membuat pengecualian. Dia melakukan hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya
oleh atlet lompat tinggi lainnya. Di Olimpiade Meksiko 1968, dia membuat
penonton terperangah. Sudah 46 tahun lamanya Fosbury melakukan lompatan
bersejarah itu.
Ketik
saja namanya di www.youtube.com, Anda bisa melihat Fosbury melompat. Sampai kini
gaya itu paling sering digunakan, termasuk oleh pemegang rekor dunia
terakhir, Javier Sotomayor (Kuba) dengan lompatan 2,43 meter. Fosbury waktu
itu meraih medali emas, tapi tidak memecahkan rekor dunia. Dia hanya mampu
melewati mistar setinggi 2,24 meter, sedangkan rekor dunia saat itu dipegang
Valeriy Brumel (Rusia) dengan tinggi lompatan 2,28 meter. Terus apa
istimewanya Fosbury?
Tak
ada yang terlihat aneh dengan lompatannya. Tapi, bagi penonton atau penggemar
atletik saat itu, lompatan Fosbury adalah hal yang belum pernah dilakukan
orang sebelumnya. Itu gaya baru dalam lompat tinggi. Dan kini gaya itu
dikenal dengan Fosbury Flop. Caranya, melentingkan badan dengan punggung
menghadap mistar.
Bagi
saya, mungkin juga bagi yang lain, kisah ini inspiratif. Tapi bagaimana
dengan dunia olahraga Tanah Air? Badminton masih menjadi favorit; cabang
angkat besi sudah satu dekade menunjukkan prestasi di Olimpiade; atau
panahan, yang pernah membuat sejarah medali perak Olimpiade Seoul 1988, tak
lagi bersinar.
Berbeda
dengan sepak bola, membicarakan olahraga amatir atau Olympic Games sepertinya
tidak terlalu menarik. Padahal, ketika medali emas direbut, bendera Merah
Putih dikibarkan dan lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan. Saat
itulah gengsi suatu negara dan bangsa terangkat. Tak ada kata lain, suasana
itu akan membuat haru dan bangga.
Coba
lihat lagi di situs YouTube, saat Susi Susanti dan Alan Budikusuma menitikkan
air mata ketika lagu dan bendera kebanggaan berkibar di Olimpiade Barcelona
1992. Medali emas Olimpiade pertama yang pernah diraih Indonesia. Atmosfernya
akan lebih terasa ketika menyaksikan langsung. Dada akan terasa sesak dan
rasa bangga itu meluap "Indonesia Bisa!"
Prestasi
Susi dan Alan juga menginspirasi. Prestasi atlet olahraga di banyak negara
dijadikan sumber inspirasi untuk generasi mudanya. Sayangnya, di Tanah Air,
kisah seperti ini tak banyak. Bahkan, kalau membaca berita sepekan terakhir,
sepertinya olahraga memang dipandang sebelah mata.
Koran
Tempo, Minggu, 14 April lalu, melaporkan nasib para atlet Indonesia yang akan
berlaga di Asian Games Incheon, Korea Selatan, mulai 19 September ini. Para
atlet berangkat tanpa uang saku. Mereka bahkan sempat tertahan di kampung
atlet karena hotel belum dibayar. Seolah pemerintah tak peduli atau memang
benar-benar tak peduli. Padahal mereka berangkat demi mengharumkan Indonesia
di mata dunia.
Rasa-rasanya,
generasi mendatang yang hidup pada 2025 masih kesulitan mencari rekaman di
Internet soal prestasi atlet-atlet Indonesia. Atau mereka hanya menemukan
kisah-kisah juara dari negara lain. Saya hanya berharap itu tak bakal
terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar