Kamis, 18 September 2014

Kenangan Fosbury sampai Susi Susanti

Kenangan Fosbury sampai Susi Susanti

Nur Haryanto  ;   Wartawan Tempo
KORAN TEMPO, 17 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Dick Fosbury membuat pengecualian. Dia melakukan hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya oleh atlet lompat tinggi lainnya. Di Olimpiade Meksiko 1968, dia membuat penonton terperangah. Sudah 46 tahun lamanya Fosbury melakukan lompatan bersejarah itu.

Ketik saja namanya di www.youtube.com, Anda bisa melihat Fosbury melompat. Sampai kini gaya itu paling sering digunakan, termasuk oleh pemegang rekor dunia terakhir, Javier Sotomayor (Kuba) dengan lompatan 2,43 meter. Fosbury waktu itu meraih medali emas, tapi tidak memecahkan rekor dunia. Dia hanya mampu melewati mistar setinggi 2,24 meter, sedangkan rekor dunia saat itu dipegang Valeriy Brumel (Rusia) dengan tinggi lompatan 2,28 meter. Terus apa istimewanya Fosbury?

Tak ada yang terlihat aneh dengan lompatannya. Tapi, bagi penonton atau penggemar atletik saat itu, lompatan Fosbury adalah hal yang belum pernah dilakukan orang sebelumnya. Itu gaya baru dalam lompat tinggi. Dan kini gaya itu dikenal dengan Fosbury Flop. Caranya, melentingkan badan dengan punggung menghadap mistar.

Bagi saya, mungkin juga bagi yang lain, kisah ini inspiratif. Tapi bagaimana dengan dunia olahraga Tanah Air? Badminton masih menjadi favorit; cabang angkat besi sudah satu dekade menunjukkan prestasi di Olimpiade; atau panahan, yang pernah membuat sejarah medali perak Olimpiade Seoul 1988, tak lagi bersinar.

Berbeda dengan sepak bola, membicarakan olahraga amatir atau Olympic Games sepertinya tidak terlalu menarik. Padahal, ketika medali emas direbut, bendera Merah Putih dikibarkan dan lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan. Saat itulah gengsi suatu negara dan bangsa terangkat. Tak ada kata lain, suasana itu akan membuat haru dan bangga.

Coba lihat lagi di situs YouTube, saat Susi Susanti dan Alan Budikusuma menitikkan air mata ketika lagu dan bendera kebanggaan berkibar di Olimpiade Barcelona 1992. Medali emas Olimpiade pertama yang pernah diraih Indonesia. Atmosfernya akan lebih terasa ketika menyaksikan langsung. Dada akan terasa sesak dan rasa bangga itu meluap "Indonesia Bisa!"

Prestasi Susi dan Alan juga menginspirasi. Prestasi atlet olahraga di banyak negara dijadikan sumber inspirasi untuk generasi mudanya. Sayangnya, di Tanah Air, kisah seperti ini tak banyak. Bahkan, kalau membaca berita sepekan terakhir, sepertinya olahraga memang dipandang sebelah mata.

Koran Tempo, Minggu, 14 April lalu, melaporkan nasib para atlet Indonesia yang akan berlaga di Asian Games Incheon, Korea Selatan, mulai 19 September ini. Para atlet berangkat tanpa uang saku. Mereka bahkan sempat tertahan di kampung atlet karena hotel belum dibayar. Seolah pemerintah tak peduli atau memang benar-benar tak peduli. Padahal mereka berangkat demi mengharumkan Indonesia di mata dunia.

Rasa-rasanya, generasi mendatang yang hidup pada 2025 masih kesulitan mencari rekaman di Internet soal prestasi atlet-atlet Indonesia. Atau mereka hanya menemukan kisah-kisah juara dari negara lain. Saya hanya berharap itu tak bakal terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar