Kelembagaan
Pendidikan, Kebudayaan, dan Ristek
Darmaningtyas ;
Pengamat
Pendidikan dari Tamansiswa
|
KORAN
TEMPO, 17 September 2014
Menyambut
pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla
(Jokowi-JK), muncul beberapa gagasan dalam bidang pendidikan, budaya, serta
riset dan teknologi (ristek). Sejumlah seniman dan budayawan mengusulkan agar
dibentuk Kementerian Kebudayaan yang khusus mengurusi kebudayaan, agar
kebudayaan dapat berkembang secara maksimal. Mereka berharap, dengan
pengesahan RUU Kebudayaan menjadi UU Kebudayaan, kelak ada kementerian khusus
yang mengawal implementasinya.
Sedangkan
mereka yang memiliki concern dalam
bidang ristek mengusulkan agar dilakukan pemisahan antara kementerian yang
mengurusi pendidikan dasar dan menengah (dikdasmen) dengan kementerian yang
mengurusi pendidikan tinggi (PT). PT diusulkan digabung menjadi satu dengan
kementerian yang mengurusi ristek, yaitu BPPT, dengan alasan agar riset-riset
di PT dapat diimplementasikan dan bukan hanya menjadi dokumen di laci.
Semua
argumen mengenai pentingnya pembentukan Kementerian Kebudayaan ataupun
pemisahan kelembagaan antara Dikdasmen dan PT itu cukup rasional. Artinya,
berdasarkan nalar empiris, usul-usul tersebut dapat diterima oleh akal sehat.
Namun tidak berarti usul tersebut layak diimplementasikan karena memiliki
implikasi yang amat luas, baik secara ekonomi, politik, sosial, maupun
budaya. Maka, calon presiden terpilih Jokowi-JK perlu ekstra hati-hati
mengakomodasi semua gagasan konstruktif tersebut.
Pembentukan
kementerian baru pasti akan berdampak pembengkakan anggaran negara. Sementara
itu, hasilnya belum tentu memuaskan seperti yang diharapkan. Secara politis,
keberadaan Kementerian Kebudayaan juga belum tentu memiliki leverage yang
tinggi dan punya pengaruh luas bila tidak didukung oleh penganggaran yang
besar dan serta tugas, pokok, dan fungsi yang jelas.
Kita
sudah memiliki pengalaman selama satu dekade yang dapat dipakai sebagai bahan
refleksi untuk mengambil keputusan. Pada periode 1999-2009, kebudayaan
melekat jadi satu dengan Kementerian Pariwisata, selengkapnya bernama
Kementerian Budaya dan Pariwisata. Sedangkan pendidikan bernama Departemen
Pendidikan Nasional. Ternyata pemisahan tersebut menimbulkan persoalan yang
amat luas, baik terhadap kebudayaan sendiri maupun pendidikannya. Kebudayaan
ternyata tidak berkembang seperti yang diharapkan, bahkan cenderung
diperlakukan sebagai komoditas semata. Sedangkan praksis pendidikan menjadi
amat kering dan terjebak pada persoalan manajerial, sehingga kehilangan
rohnya.
Akhirnya
muncul desakan agar kebudayaan dikembalikan lagi ke pendidikan. Desakan itu
kemudian direspons oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan
mengembalikan kebudayaan ke pendidikan. Dan sejak Kabinet Indonesia Bersatu
(KIB) II, nomenklaturnya pun berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Nalar
empirisnya memang diyakini penggabungan PT dengan ristek akan lebih
produktif. Tapi kita juga bisa meragukan asumsi tersebut ketika hasil-hasil
kajian dan inovasi BPPT tidak secara otomatis dapat diproduksi secara massal,
sehingga tidak berkontribusi langsung terhadap pengembangan industri
nasional. Masih saja tetap terjadi, ristek dan industri berjalan
sendiri-sendiri. Hal yang sama akan terjadi dalam hal penggabungan PT dengan
ristek, bahwa harapan ideal itu tidak akan tercapai, sementara praksis PT
sudah telanjur pragmatis. Padahal, PT didirikan bukan hanya memproduksi
tenaga kerja dan melakukan inovasi untuk industri saja, melainkan untuk
perubahan masyarakat secara luas, termasuk aspek ideologi, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya. Sementara itu, penggabungan PT dengan ristek itu hanya
menjawab kebutuhan industri dan atau pemasaran hasil-hasil riset dari
perguruan tinggi semata.
Persoalan
PT dan ristek kita bukan terletak pada kelembagaannya, melainkan pada
pendanaan yang terbatas dan kultur birokrasi yang kurang mendukung. Oleh
karena dana terbatas, riset di PT dan ristek hanya memenuhi persyaratan
formal, tidak optimal, akhirnya industri pun tidak berminat mengembangkannya.
Dengan demikian, solusinya bukan menggabungkan keduanya, tapi menambah
anggaran untuk PT dan riset serta menciptakan kultur birokrasi yang mendukung
interelasi antara PT, ristek, dan industri.
Berdasarkan
pengalaman pemisahan kelembagaan antara pendidikan dan kebudayaan serta
pembentukan beberapa kementerian baru, tapi tidak disertai dengan pendanaan
yang cukup, jelas sekali bahwa pembentukan kementerian baru tidak selalu
mampu memenuhi keinginan dari para pengusulnya, dan akhirnya menimbulkan
kekecewaan. Karena itu, sebelum telanjur, gagasan
pembentukan Kementerian Kebudayaan serta penggabungan PT dengan ristek pun
perlu berhati-hati. Jangan sampai kelembagaan masing-masing sektor sudah
berantakan dan kehilangan rohnya, tapi kementerian baru itu pun tidak mampu
menjawab persoalan, sebaliknya justru melahirkan persoalan yang lebih
kompleks. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar