Informasi
Budaya Lokal
Hadi Priyanto ; Penulis
buku Legenda Jepara, Kabag Humas Setda Jepara
|
SUARA
MERDEKA, 22 September 2014
Jauh
sebelum Ratu Sima berkuasa pada abad
VI, dalam mitos Jawa nama Ujungpara telah lama dikenal sebagai daerah
kekuasaan Sendang Garba, yang kerap dijuluki
’’rajanya’’ kaum pedagang. Ia anak kedua Raja Medang Kemulan Sri Prabu
Kandiawan, yang menguasai wilayah hingga Cajonan atau Juana (kini Juwana,
Pati).
Dua wilayah
ini berhasil dikembangkan menjadi salah satu pusat perdagangan. Sayang,
setelah berkonflik, sang adik bernama Dandang Gendis, merebut dua wilayah
tersebut dan memindahkan semua penduduk ke Tuban. Nama Jungpara juga muncul
dalam catatan perjalanan Tome Pires ke
Jawa.
Pires
menyebut, pada 1470 Masehi wilayah yang baru dihuni 90-100 orang dan
merupakan daerah kekuasaan Demak itu dipimpin Arya Timur. Puncak kejayaan
Jepara dicapai sewaktu Ratu Kalinyamat berkuasa. Ketika itu Jepara sedemikian
penting karena menjadi bandar terbesar di pesisir utara Jawa. Jungpara juga
memiliki armada laut sangat kuat.
Perjalanan
sejarah Jepara kemudian ditandai kehadiran Raden Adjeng (RA) Kartini yang dikenal sebagai pahlawan emansipasi.
Orang mengenalnya sebagai pejuang kaum perempuan kendati yang dia lakukan
jauh lebih besar. Capaian persamaan hak hanya sasaran antara untuk membangun
peradaban bangsa.
Kartini
sejatinya berperan besar dalam mengubah orientasi seni ukir jadi industri
kerajinan. Perjalanan panjang sejarah tentu meninggalkan banyak ragam budaya
dan kearifan lokal. Potensi yang sangat lengkap itu makin prospektif andai
dikembangkan jadi konsep pembangunan eduwisata, memadukan education dengan
tourism.
Bila kita
benar-benar ingin mengembangkan pariwisata, dan bahkan mengembangkan
masyarakat yang bertumpu pada kearifan dan budaya lokal, informasi tentang budaya lokal yang
tersusun dan terkelola dengan baik merupakan sebuah keniscayaan. Ada beberapa
manfaat dari penyusunan dan pengelolaan informasi budaya itu.
Peneguhan Komitmen
Pertama;
sebagai media mentransformasikan budaya antargenerasi. Ini sangat penting
untuk membangun benteng bagi penetrasi budaya asing yang sedemikian kuat
melalui berbagai macam media. Informasi budaya dapat menjadi bahan pembelajaran
bagi generasi muda.
Kedua; sebagai
salah satu unsur penunjang pembangunan masyarakat, yang memiliki karakter
yang terbangun dari akar budaya sendiri. Ketiga; menumbuhkan kebanggaan
masyarakat yang pada gilirannya diharapkan mendorong tumbuhnya kesediaan
untuk melestarikan dan mengembangkannya.
Supaya budaya
dan kearifan lokal bisa menjadi salah satu kekuatan pengembangan pariwisata
di daerah, pemangku kepentingan perlu memperhatikan beberapa hal. Pertama;
peneguhan komitmen para pemangku kepentingan. Pengutamaan pembangunan fisik
objek wisata ketimbang kegiatan yang bernuansa budaya harus menjadi bagian
komitmen bersama..
Kedua;
rekonstruksi budaya lokal. Sejujurnya, budaya masa lalu kita makin
samar-samar dan tidak dipahami generasi muda. Kesungguhan untuk
merekonstruksi budaya lokal akan menjadi bagian penting berkait pengembangan
eduwisata yang berbasis budaya.
Ketiga;
mengeksplorasi potensi budaya lokal supaya wisatawan lebih banyak mendapat
informasi mengenai objek yang bakal dikunjungi atau dipilih. Keempat; dari
karyawan biro perjalanan hingga pemandu wisata perlu memiliki pengetahuan
lengkap tentang budaya dan kearifan lokal. Data itu diolah jadi informasi
menarik untuk disampaikan kepada wisatawan.
Kelima;
menyusun paket eduwisata dengan harga kompetitif dan juga memasarkannya lewat website. Keenam; kreatif mengemas event
budaya. Keenam; memperkuat sinergi. Sinergitas antara budaya
lokal dan pengeloaan objek wisata bisa menjadi model positif mengingat budaya
dan periwisata bagaikan sekeping mata uang logam. Perlu penguatan
pengembangan pariwisata yang sejalan dengan pengembangan budaya.
Pembangunan
daya tarik wisata harus mendasarkan pembangunan masyarakat sekaligus budaya
mereka supaya tidak mengalami kegersangan makna dan lebih membawa arti bagi
masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar