Kamis, 04 September 2014

Model Argentina

Model Argentina

Ivan Hadar  ;   Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe);
Ketua Badan Pengurus Indonesia for Global Justice (IGJ)
KOMPAS, 03 September 2014
                                     
                                                      

ADALAH pertanda buruk apabila dalam sebuah negara, supermarket ramai-ramai dijarah, mesin anjungan tunai mandiri dirusak, dan massa yang marah memenuhi jalanan sambil menghujat pemerintah. Kondisi tersebut pernah dialami Argentina tahun 2001, ketika mengalami krisis ekonomi parah dan diklasifikasikan sebagai negara bangkrut oleh lembaga pemeringkat Standard and Poor’s.

Saat ini, Standard and Poor’s (S&P) kembali menetapkan status gagal bayar (default) utang luar negeri sebagai isyarat kebangkrutan. Namun, Argentina merasa menjadi korban pemerasan para kreditor internasional asal Amerika Serikat, yang menarik bunga utang 1.600 kali nilai kredit. Sebagai bentuk protes, Argentina menolak membayar bunga utang.

Ketika krisis 2001 melanda Argentina, hampir semua kreditor sepakat memotong dua pertiga dari nilai surat berharga. Namun, tiga kreditor AS, yaitu NML Capital, Aurelius, dan Elliott Management, bersikukuh mengajukan tuntutan yang diperkuat oleh keputusan Hakim New York, Thomas Griesa, agar Pemerintah Argentina membayar penuh utang yang membengkak menjadi 1,5 miliar dollar AS, atau 1.600 kali jumlah awal.

Menuruti keputusan hakim New York, artinya selain membayar tiga kreditor AS, Argentina juga harus membayar penuh semua kreditor. Apabila ini dilakukan, jumlahnya ratusan miliar dollar AS yang riil bakal membangkrutkan negeri ini. Tak heran, Presiden Argentina Cristina Fernandez de Kirchner menuduh tiga kreditor AS tersebut sebagai ”burung bangkai” yang sangat rakus dan harus dilawan.

Bagi Argentina, perlawanan tersebut merupakan risiko terkecil. Ketika lembaga peringkat mengklasifikasi negeri ini sebagai ”tidak mampu membayar”, maka akan menjadi buruk apabila Argentina secara riil tidak memiliki dana. Kenyataannya, Argentina mampu membayar dan bersedia membayar, tetapi bukan untuk tuntutan para kreditor rakus. Berdasarkan keputusan hakim, dana Argentina untuk pembayaran utang kepada mayoritas kreditor sesuai kesepakatan telah dibekukan oleh perbankan AS.

Akumulasi

Utang Argentina pada awal abad ke-21 adalah akumulasi utang dari pemerintahan diktator militer, ditambah warisan pemerintahan korup Carlos Menem. Utang-utang itu nyaris tak ada yang dimanfaatkan untuk pembangunan bangsa. Sebaliknya, program IMF, berupa penghematan, privatisasi, dan paritas peso terhadap dollar AS, telah menghancurkan industri Argentina. Beruntung, pada tahun 2005 Argentina berhasil melunasi utang kepada IMF sebesar 9,8 miliar dollar AS.

Saat ini, benar, Argentina berada dalam situasi yang dramatis, tetapi terbuka beberapa kemungkinan. Dengan kampanye besar-besaran, Presiden Cristina de Kirchner bisa mendiskreditkan tuntutan kreditor rakus sambil berupaya memperoleh dukungan diplomatis. Selain perwakilan AS, semua kementerian luar negeri Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) memberikan ”dukungan penuh” untuk memudahkan restrukturisasi utang luar negeri Argentina.

Selain itu, mulai awal tahun depan, pasal terkait perlakuan yang sama bagi semua kreditor akan berakhir sehingga mempermudah posisi Pemerintah Argentina. Setidaknya pasar Argentina tidak akan mengalami ”guncangan” seperti yang telah diprediksi Wall Street Journal edisi Jerman (8/7/2014).

Pada saat yang sama, Pemerintah Argentina bisa memperoleh pendanaan baru. Cristina de Kirchner telah memanfaatkan pertemuan puncak para kepala negara dari Amerika Latin dan anggota BRICS—Brasil, Tiongkok, India, Rusia, dan Afrika Selatan— untuk membangun solidaritas melawan penjarahan para kreditor rakus.

Tiongkok, misalnya, mulai investasi di Argentina berupa pembangunan dua pembangkit listrik tenaga air senilai 4,7 miliar dollar AS. Tiongkok serta Argentina juga mempunyai perjanjian pertukaran mata uang, dan Argentina yang sedang kekurangan devisa dimungkinkan memperoleh jalur kredit yuan dalam jumlah sekitar 11 miliar dollar AS, sesuai nilai ekspor Tiongkok ke Argentina per tahun lalu.

Perlu didukung

Dari segi moral hal tersebut perlu didukung. Berbeda dengan para kreditor swasta, negara membayar utang luar negerinya bukan dari hasil keuntungan di pasar, melainkan dengan menaikkan pajak atau kembali membuat utang. Menyatakan negerinya bangkrut, memaksa Argentina tidak hanya berhemat secara sehat, tetapi juga melindungi rakyatnya dari pemborosan fiskal.

”Model Argentina” memang pantas dibicarakan. Tahun 2005, New York Times bahkan mensinyalir bahwa ”Argentina’s example may encourage other developing countries to act similarly” (4/3/2005). Restrukturisasi utang Argentina memperlihatkan bahwa dalam kasus kesulitan anggaran, kemauan politik, serta keuletan berunding menjadi penting.

Di Indonesia, pada tahun 2005, satu minggu setelah Argentina memperoleh keringanan utang luar negeri, petinggi negeri ini sudah ”puas” ketika negara-negara kaya anggota Paris Club memberikan moratorium utang 2,6 miliar dollar AS. Utang dan bunga yang tidak dibayar selama tahun 2005 akan direkap dan ditambah menjadi utang pokok yang harus dibayar pada tahun 2007. Padahal, beban utang luar negeri kita yang lebih dari 134 miliar dollar AS hanya sedikit menyisakan ruang bagi negara untuk membangun. Dengan saldo minus Rp 2.100 triliun, seandainya Indonesia perusahaan, maka telah masuk dalam kategori bangkrut.

Setelah itu, nilai nominal cicilan utang Indonesia jauh lebih besar ketimbang alokasi dana untuk pengurangan kemiskinan. Dampaknya tak jarang berupa trauma, kesengsaraan, dan rusaknya berbagai bidang kehidupan, tergusurnya petani gurem, penyunatan subsidi pendidikan, kesehatan, dan tunjangan sosial. Kita berharap agar ”Model Argentina” dijadikan bahan pembelajaran bagi presiden terpilih dan kabinetnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar