Model
Argentina
Ivan Hadar ; Direktur
Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe);
Ketua Badan Pengurus Indonesia for
Global Justice (IGJ)
|
KOMPAS,
03 September 2014
ADALAH pertanda buruk
apabila dalam sebuah negara, supermarket ramai-ramai dijarah, mesin anjungan
tunai mandiri dirusak, dan massa yang marah memenuhi jalanan sambil menghujat
pemerintah. Kondisi tersebut pernah dialami Argentina tahun 2001, ketika mengalami
krisis ekonomi parah dan diklasifikasikan sebagai negara bangkrut oleh
lembaga pemeringkat Standard and
Poor’s.
Saat ini, Standard and Poor’s (S&P) kembali
menetapkan status gagal bayar (default)
utang luar negeri sebagai isyarat kebangkrutan. Namun, Argentina merasa
menjadi korban pemerasan para kreditor internasional asal Amerika Serikat,
yang menarik bunga utang 1.600 kali nilai kredit. Sebagai bentuk protes,
Argentina menolak membayar bunga utang.
Ketika krisis 2001
melanda Argentina, hampir semua kreditor sepakat memotong dua pertiga dari
nilai surat berharga. Namun, tiga kreditor AS, yaitu NML Capital, Aurelius,
dan Elliott Management, bersikukuh mengajukan tuntutan yang diperkuat oleh
keputusan Hakim New York, Thomas Griesa, agar Pemerintah Argentina membayar
penuh utang yang membengkak menjadi 1,5 miliar dollar AS, atau 1.600 kali
jumlah awal.
Menuruti keputusan
hakim New York, artinya selain membayar tiga kreditor AS, Argentina juga
harus membayar penuh semua kreditor. Apabila ini dilakukan, jumlahnya ratusan
miliar dollar AS yang riil bakal membangkrutkan negeri ini. Tak heran,
Presiden Argentina Cristina Fernandez de Kirchner menuduh tiga kreditor AS
tersebut sebagai ”burung bangkai” yang sangat rakus dan harus dilawan.
Bagi Argentina,
perlawanan tersebut merupakan risiko terkecil. Ketika lembaga peringkat
mengklasifikasi negeri ini sebagai ”tidak mampu membayar”, maka akan menjadi
buruk apabila Argentina secara riil tidak memiliki dana. Kenyataannya,
Argentina mampu membayar dan bersedia membayar, tetapi bukan untuk tuntutan
para kreditor rakus. Berdasarkan keputusan hakim, dana Argentina untuk
pembayaran utang kepada mayoritas kreditor sesuai kesepakatan telah dibekukan
oleh perbankan AS.
Akumulasi
Utang Argentina pada
awal abad ke-21 adalah akumulasi utang dari pemerintahan diktator militer,
ditambah warisan pemerintahan korup Carlos Menem. Utang-utang itu nyaris tak
ada yang dimanfaatkan untuk pembangunan bangsa. Sebaliknya, program IMF,
berupa penghematan, privatisasi, dan paritas peso terhadap dollar AS, telah
menghancurkan industri Argentina. Beruntung, pada tahun 2005 Argentina
berhasil melunasi utang kepada IMF sebesar 9,8 miliar dollar AS.
Saat ini, benar,
Argentina berada dalam situasi yang dramatis, tetapi terbuka beberapa
kemungkinan. Dengan kampanye besar-besaran, Presiden Cristina de Kirchner
bisa mendiskreditkan tuntutan kreditor rakus sambil berupaya memperoleh
dukungan diplomatis. Selain perwakilan AS, semua kementerian luar negeri
Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) memberikan ”dukungan penuh” untuk
memudahkan restrukturisasi utang luar negeri Argentina.
Selain itu, mulai awal
tahun depan, pasal terkait perlakuan yang sama bagi semua kreditor akan
berakhir sehingga mempermudah posisi Pemerintah Argentina. Setidaknya pasar
Argentina tidak akan mengalami ”guncangan” seperti yang telah diprediksi Wall Street Journal edisi Jerman
(8/7/2014).
Pada saat yang sama,
Pemerintah Argentina bisa memperoleh pendanaan baru. Cristina de Kirchner
telah memanfaatkan pertemuan puncak para kepala negara dari Amerika Latin dan
anggota BRICS—Brasil, Tiongkok, India, Rusia, dan Afrika Selatan— untuk
membangun solidaritas melawan penjarahan para kreditor rakus.
Tiongkok, misalnya,
mulai investasi di Argentina berupa pembangunan dua pembangkit listrik tenaga
air senilai 4,7 miliar dollar AS. Tiongkok serta Argentina juga mempunyai
perjanjian pertukaran mata uang, dan Argentina yang sedang kekurangan devisa
dimungkinkan memperoleh jalur kredit yuan dalam jumlah sekitar 11 miliar
dollar AS, sesuai nilai ekspor Tiongkok ke Argentina per tahun lalu.
Perlu didukung
Dari segi moral hal
tersebut perlu didukung. Berbeda dengan para kreditor swasta, negara membayar
utang luar negerinya bukan dari hasil keuntungan di pasar, melainkan dengan
menaikkan pajak atau kembali membuat utang. Menyatakan negerinya bangkrut,
memaksa Argentina tidak hanya berhemat secara sehat, tetapi juga melindungi
rakyatnya dari pemborosan fiskal.
”Model Argentina”
memang pantas dibicarakan. Tahun 2005, New
York Times bahkan mensinyalir bahwa ”Argentina’s
example may encourage other developing countries to act similarly”
(4/3/2005). Restrukturisasi utang Argentina memperlihatkan bahwa dalam kasus
kesulitan anggaran, kemauan politik, serta keuletan berunding menjadi
penting.
Di Indonesia, pada
tahun 2005, satu minggu setelah Argentina memperoleh keringanan utang luar
negeri, petinggi negeri ini sudah ”puas” ketika negara-negara kaya anggota
Paris Club memberikan moratorium utang 2,6 miliar dollar AS. Utang dan bunga
yang tidak dibayar selama tahun 2005 akan direkap dan ditambah menjadi utang
pokok yang harus dibayar pada tahun 2007. Padahal, beban utang luar
negeri kita yang lebih dari 134 miliar dollar AS hanya sedikit menyisakan
ruang bagi negara untuk membangun. Dengan saldo minus Rp 2.100 triliun, seandainya Indonesia
perusahaan, maka telah masuk dalam kategori bangkrut.
Setelah itu, nilai
nominal cicilan utang Indonesia jauh lebih besar ketimbang alokasi dana untuk
pengurangan kemiskinan. Dampaknya tak jarang berupa trauma, kesengsaraan, dan
rusaknya berbagai bidang kehidupan, tergusurnya petani gurem, penyunatan
subsidi pendidikan, kesehatan, dan tunjangan sosial. Kita berharap agar
”Model Argentina” dijadikan bahan pembelajaran bagi presiden terpilih dan kabinetnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar