Jokowi
dan Restorasi Otda
Syarif Hidayat ; Peneliti
Bidang Otonomi Daerah, LIPI
|
KOMPAS,
04 September 2014
TERPILIHNYA Joko Widodo sebagai presiden Republik
Indonesia telah meletakkan ”sejarah baru” dalam restorasi praktik otonomi
daerah di Tanah Air. Satu di antara tujuan utama dari mengapa perlu
dihadirkannya desentralisasi dan otonomi daerah, menurut perspektif
desentralisasi politik, adalah untuk difungsikan sebagai sarana bagi training
in national political leadership.
Melalui
praktik desentralisasi akan terjadi proses seleksi dan promosi calon-calon
pemimpin nasional secara berjenjang. Para bupati dan wali kota yang secara
nyata menunjukkan kapasitas kepemimpinan prima dan prestasi cemerlang dalam
memimpin daerah dapat dipromosikan untuk menduduki jabatan gubernur. Demikian
juga halnya dengan para gubernur dapat dipromosikan menduduki posisi sebagai
presiden.
Secara
teoretis, promosi dan perekrutan pemimpin pemerintah dengan sistem berjenjang
ini diyakini akan berkorelasi positif terhadap, antara lain, tegaknya prinsip
akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan (Clarke and Foweraker, 2001: 1). Itulah sebabnya, di Amerika
Serikat, misalnya, sebagian besar presiden terpilih adalah mantan gubernur
pada negara bagian.
Sejarah baru
Dalam
konteks Indonesia setelah berpraktik desentralisasi, promosi dan perekrutan
pemimpin nasional untuk jabatan presiden secara berjenjang tersebut baru
terjadi pada Pemilu Presiden 2014. Jokowi, sosok ndeso yang pernah menduduki
jabatan Wali Kota Solo dan sedang menduduki jabatan sebagai Gubernur DKI
Jakarta, telah berperan sebagai pionernya. Peristiwa ini tentunya harus
dicatat sebagai kontribusi besar dalam ”restorasi” praktik desentralisasi dan
otonomi daerah di Tanah Air.
Rentang
waktu panjang tertundanya promosi jabatan presiden secara berjenjang tersebut
bukan lantaran ”wahyu keprabon”
belum diturunkan di bumi pertiwi. Akan tetapi, disebabkan oleh banyak faktor,
antara lain karena sejak awal kemerdekaan hingga periode rezim Orde Baru,
sistem politik dan kebijakan desentralisasi yang dirancang dan diterapkan di
Tanah Air belum membuka peluang untuk itu.
Kecenderungan
mulai berubah pada periode setelah Orde Baru. Spirit reformasi dan komitmen
yang kuat untuk merevisi konsep dan kebijakan desentralisi di Indonesia, yang
selanjutnya dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, secara perlahan-lahan telah berupaya mengurangi dominasi
perspektif desentralisasi administrasi dengan mulai mengakomodasi beberapa
prinsip desentralisasi politik. Implikasinya, sangat dapat dimengerti apabila
kemudian tujuan desentralisasi yang sebelumnya hanya menekankan pada aspek
administratif, seperti untuk meningkatkan pelayanan publik dan efisiensi
penyelenggaraan pemerintahan, sekarang juga telah mengakomodasi tujuan-tujuan
politik. Misalnya, untuk demokratisasi di tingkat lokal dan training
kepemimpinan.
Pada
2005, Indonesia mulai melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara
langsung seiring telah dilaksanakannya pemilihan umum presiden (pilpres)
secara langsung pada tingkat nasional. Terlepas dari sejumlah ”bias” pilkada
yang terjadi, paling tidak di antara ”dampak positif” yang dapat dicatat
adalah pilkada langsung telah berperan sebagai ”pisau bedah” bagi katup
sirkulasi elite di tingkat lokal yang sebelumnya relatif tertutup rapat.
Sekaligus membuka peluang bagi promosi kepemimpinan nasional secara
berjenjang. Terpilihnya Jokowi sebagai presiden RI hasil Pilpres 2014 harus
didudukkan dan dimaknai berdasarkan perspektif ini.
Tantangan baru?
Pada
satu sisi, terpilihnya Jokowi sebagai presiden harus ”dirayakan” karena telah
meletakkan noktah baru dalam sejarah perjalanan desentralisasi di Indonesia,
khususnya terkait dengan terwujudnya fungsi training in national political leadership dan promosi
kepemimpinan nasional secara berjenjang. Namun, pada sisi lain, juga
menyodorkan tantangan baru bagi pembuktian logika teoretis dari fungsi training in national political leadership
itu sendiri.
Bagi
Jokowi, di antara tantangan berat yang dihadapi adalah harus membuktikan
kepada masyarakat bahwa ia memiliki kapasitas kepemimpinan yang tinggi.
Sebab, sebelum menduduki posisi sebagai presiden RI, ia pernah melalui proses
training kepemimpinan di tingkat pemerintah daerah (Wali Kota Solo dan
Gubernur DKI Jakarta). Jika tidak, dikhawatirkan kemenangan Jokowi justru
akan ”mendelegitimasi” atau bahkan ”menegasikan” arti penting dari training
in political leadership dan proses promosi kepemimpinan nasional secara
berjenjang sebagaimana dikemukakan di atas.
Pengalaman
dalam memimpin Pemerintah Kota Solo dan Provinsi DKI Jakarta yang sangat
singkat (hanya 1,5 tahun) memang dapat dijadikan sebagai modal awal. Namun,
tentunya itu masih jauh dari cukup untuk dijadikan sebagai bekal dalam
memimpin, lebih kurang, 93 kota, 415 kabupaten, dan 34 provinsi di Indonesia.
Karena itu, upaya peningkatan kapasitas kepemimpinan dan revitalisasi
pendekatan dalam penyelenggaraan pemerintahan niscaya diperlukan.
Pada
konteks inilah kita sampai pada arti penting dari, antara lain, memastikan
realisasi dari komitmen Jokowi dalam penunjukan para menteri pembantunya dari
kalangan profesional.
Revitalisasi
”blusukan”
Pendekatan
blusukan yang selama ini menjadi ciri khas Jokowi ketika memimpin Kota Solo
dan Provinsi DKI Jakarta patut diapresiasi. Namun, tentunya perlu dilakukan
revitalisasi tatkala akan diterapkan pada konteks pemerintahan nasional.
Spirit blusukan tetap harus dipertahankan dalam rangka menjaga kepekaan
terhadap aspirasi masyarakat. Namun, aplikasinya tidak selalu harus dalam
bentuk kunjungan langsung ke 34 provinsi dan ke 508 kabupaten/kota di
Indonesia.
Jokowi,
dalam hal ini, dapat melakukannya melalui, antara lain, optimalisasi fungsi
gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Juga membangun sistem komunikasi
politik yang intensif dengan para kepala daerah serta elemen-elemen
masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi dengan memanfaatkan kemajuan
teknologi informasi yang ada.
Pada
konteks yang lebih luas, terpilihnya Jokowi sebagai presiden RI juga
menyodorkan tantangan baru bagi partai politik di Indonesia. Di antara ”pesan
penting yang dibawa” adalah seyogianya ke depan partai-partai politik
harus melakukan revitalisasi dan reorientasi sistem pengaderan sedemikian
rupa sehingga dapat mendukung kesinambungan dari seleksi dan promosi
kepemimpinan nasional secara berjenjang sebagaimana telah dimulai oleh Jokowi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar