Kartu
Subsidi Usaha Produktif
Purbayu Budi Santosa ; Guru
Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip
|
REPUBLIKA,
08 September 2014
Sebelum
pemerintahan SBY mengakhiri tugasnya, calon Presiden Joko Widodo meminta SBY
menaikkan harga BBM. Keadaan ini terkait dengan makin membengkaknya konsumsi
BBM bersubsidi, sehingga diduga tidak sampai akhir tahun jatah subsidi akan
habis.
Waktu
itu diadakan penjatahan BBM bersubsidi seperti solar dan Premium, sehingga
terjadi kelangkaan BBM bersubsidi di mana-mana. Bukan hanya di luar Jawa yang
sering langka BBM karena terkendala masalah transportasi dan infrastruktur
perhubungan, akan tetapi di Jawa juga terjadi kelangkaan serupa.
Syukurlah
kelangkaan BBM sudah tidak terjadi lagi. Dari kejadian tersebut, lagi-lagi
rakyat kecil banyak dirugikan karena kesalahan dalam pengelolaan BBM, yang
sebenarnya sudah net importir. Penentuan harga pokok produksi yang tidak
jelas, peraturan pengelolaan migas yang liberal, adanya mafia migas, ada
dugaan adanya "sapi perahan" dalam tubuh BUMN, dan segudang
permasalahan lainnya, mengiringi masalah yang selalu berulang, yaitu
berkaitan dengan masalah subsidi BBM.
Besaran
subsidi BBM selalu menaik dari tahun ke tahun. Tahun 2012, subsidi BBM
sebanyak Rp 211,9 triliun, tahun 2013 subsidi BBM Rp 210 triliun, dan tahun
2014 (berdasarkan APBN Perubahan) membengkak menjadi Rp 246,5 triliun.
Naiknya subsidi pada tahun terakhir
disebabkan adanya kenaikan harga minyak internasional dan yang lebih
penting tidak ada kenaikan harga BBM karena adanya pemilu, yang berusaha
menarik perhatian rakyat kecil yang jumlahnya mayoritas.
Kendati
nilai subsidi mengalami kenaikan, akan tetapi volume konsumsi BBM mengalami
penurunan. Tahun 2012, volume konsumsinya adalah 44,8 juta kl, terdiri dari
Premium 28,1 juta kl, minyak tanah 1,2 juta kl, dan solar 15,5 juta kl. Tahun
2013, jumlah konsumsinya 46,4 juta kl, terdiri atas Premium 29,3 juta kl,
minyak tanah 1,1 juta kl, dan solar 16 juta kl. Tahun 2014, volume konsumsi
BBM menjadi 46 juta kl, terdiri atas premium 29,4 juta kl, minyak tanah 0,9
juta kl dan solar 15,7 juta kl.
Tanpa
pengendalian BBM, maka solar bersubsidi akan habis sampai tanggal 5 Desember
dan Premium sampai 20 Desember 2014. Belum lagi kalau BBM subsidi digelontor
demikian besar akibat kepanikan masyarakat dan pemerintah tidak ambil pusing
dengan jatah subsidi, maka pada saat pelantikan presiden dan wakil presiden
baru, BBM bersubsidi telah habis.
Pemerintah
SBY menolak menaikkan harga BBM bersubsidi dengan alasan telah berulang kali
menaikkan harga BBM, yaitu tahun 2005 sempat naik sampai 140 persen, dan
tahun 2013 naik kembali sekitar 33 persen. Alasan lainnya, dalam waktu dekat
ada kenaikan harga gas elpiji, tarif dasar listrik dan kenaikan harga akan
memicu inflasi.
Tidak
bisa tidak, presiden baru Jokowi nantinya akan terkena imbas dari
ketidakmauan pemerintah SBY yang tidak menaikkan harga BBM. Pemerintahan baru
sudah pasang kuda-kuda yaitu punya rencana akan menaikkan harga BBM. Untuk
mengatasi dampak kenaikan harga BBM pada zamannya, Presiden SBY diberikan
Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan dana kompensasi kenaikan BBM, nantinya
Jokowi akan memberikan kartu subsidi usaha produktif.
Pemberian
BLT dan terakhir dana kompensasi akibat kenaikan harga BBM penyalurannya
kurang efektif pada zamannya presiden SBY, karena masalah kesahihan data para
penerima bantuan. Belum lagi, kurangnya perencanaan yang matang serta masalah
etika dan moral yang kurang baik dari mekanisme penyaluran, menyebabkan yang
seharusnya menerima sering terlewat, yang seharusnya tidak menerima justru
mendapatkannya. Bagaimana kiranya dengan pemberian kartu subsidi usaha
produktif?
Efektivitas penyaluran
Jokowi
setelah pelantikannya pada 20 Oktober 2014 memang berencana menaikkan harga
BBM, karena kalau tidak dinaikkan akan makin membengkakkan subsidi. APBN 2015
yang sudah terkendala gerak fiskal dan moneter bagi pemerintahan baru akan
makin mengkhawatirkan lagi kalau tidak ada kenaikan harga BBM, karena jumlah subsidi yang makin
besar.
Wacana
kenaikan harga BBM pada pemerintahan baru merupakan ujian tersendiri karena
partai pendukungnya selalu menolak rencana itu ketika pemerintahan SBY mau
menaikkan harga. Nah, apakah sekarang masih konsisten atau berubah, nanti
dapat dilihat bagaimana sifat umum dari suatu partai. Apakah kejadian ini
membenarkan banyolan Prof Satjipto Rahardjo, dari Undip, yang menyatakan
ilmuwan harus jujur meski salah, sementara politikus boleh tidak jujur asal
tidak boleh salah.
Dampak
kenaikan harga BBM sudah pasti akan menaikkan inflasi dan kemiskinan. Maka
bagi yang terkena dampaknya harus dapat subsidi penggantian. Mestinya, dampak
kenaikan harga BBM dapat ditekan apabila pemerintah baru dapat melobi para
pengusaha untuk menekan kenaikan harga-harga barangnya demi kemajuan bangsa
dan negara. Aspek persuasi dapat efektif apabila hubungan antara pemerintah
dan pengusaha baik, yaitu kerja sama yang saling menguntungkan berdasarkan
rasa etika, moral, dan rasa keadilan.
Langkah
membantu usaha-usaha produktif dengan sistem kartu, juga sangat baik karena
selama ini para petani dan UMKM mesti dikatakan dapat subsidi, tetapi dalam
praktiknya sering menjadi lain. Misal subsidi pupuk, benih dan lain-lainnya
tidak berdaya karena adanya mafia dalam pangan. Komoditas padi, bawang,
kedelai, daging, garam, dan lainnya selalu tercengkeram oleh para mafia, yang
tidak lain para kartel. Demikian usaha UMKM meski telah diberikan kredit,
akan tetapi kalah bersaing dengan
makin maraknya kehadiran pasar modern.
Memang
harus diakui, kartu sehat dapat berhasil di Solo dan Jakarta, lantas
bagaimana dengan kartu subsidi untuk usaha produktif di Indonesia? Langkah awal Jokowi melalui
Tim Transisi yang masuk ke kementerian-kementerian pemerintah SBY sudah tepat
untuk merencanakan anggaran supaya dapat diajukan melalui Badan Anggaran
(Banggar) DPR.
Anggaran
yang ada akan memuluskan penyaluran subsidi untuk ekonomi kerakyatan, di
antaranya usaha-usaha produktif. Tentunya perlu pendefinisian usaha-usaha apa
yang produktif, dan dihindari usaha-usaha yang baru didirikan hanya untuk
mengelabui perolehan dana subsidi. Kerja sama dengan pihak terkait seperti
pemda dan perguruan tinggi akan membantu efektivitas penyalurannya.
Manajemen
"blusukan" dapat dijalankan, di mana presiden dapat mengecek ke
lapangan, apakah bantuan benar-benar tepat sasaran dengan jumlah dana subsidi
yang tidak dipotong. Terhadap para pelanggar bantuan dana, penegakan hukum
secara konsisten dan berkeadilan harus diterapkan sebagaimana mestinya.
Termasuk perlu adanya keberanian melawan para kartel pangan karena berapa pun
besarnya bantuan subsidi, apabila komoditas diatur oleh kartel, maka bantuan
subsidi kurang berguna. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar