Selasa, 09 September 2014

Kartu Subsidi Usaha Produktif

Kartu Subsidi Usaha Produktif

Purbayu Budi Santosa  ;   Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip
REPUBLIKA, 08 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Sebelum pemerintahan SBY mengakhiri tugasnya, calon Presiden Joko Widodo meminta SBY menaikkan harga BBM. Keadaan ini terkait dengan makin membengkaknya konsumsi BBM bersubsidi, sehingga diduga tidak sampai akhir tahun jatah subsidi akan habis.

Waktu itu diadakan penjatahan BBM bersubsidi seperti solar dan Premium, sehingga terjadi kelangkaan BBM bersubsidi di mana-mana. Bukan hanya di luar Jawa yang sering langka BBM karena terkendala masalah transportasi dan infrastruktur perhubungan, akan tetapi di Jawa juga terjadi kelangkaan serupa.

Syukurlah kelangkaan BBM sudah tidak terjadi lagi. Dari kejadian tersebut, lagi-lagi rakyat kecil banyak dirugikan karena kesalahan dalam pengelolaan BBM, yang sebenarnya sudah net importir. Penentuan harga pokok produksi yang tidak jelas, peraturan pengelolaan migas yang liberal, adanya mafia migas, ada dugaan adanya "sapi perahan" dalam tubuh BUMN, dan segudang permasalahan lainnya, mengiringi masalah yang selalu berulang, yaitu berkaitan dengan masalah subsidi BBM.

Besaran subsidi BBM selalu menaik dari tahun ke tahun. Tahun 2012, subsidi BBM sebanyak Rp 211,9 triliun, tahun 2013 subsidi BBM Rp 210 triliun, dan tahun 2014 (berdasarkan APBN Perubahan) membengkak menjadi Rp 246,5 triliun. Naiknya subsidi pada tahun terakhir  disebabkan adanya kenaikan harga minyak internasional dan yang lebih penting tidak ada kenaikan harga BBM karena adanya pemilu, yang berusaha menarik perhatian rakyat kecil yang jumlahnya mayoritas.

Kendati nilai subsidi mengalami kenaikan, akan tetapi volume konsumsi BBM mengalami penurunan. Tahun 2012, volume konsumsinya adalah 44,8 juta kl, terdiri dari Premium 28,1 juta kl, minyak tanah 1,2 juta kl, dan solar 15,5 juta kl. Tahun 2013, jumlah konsumsinya 46,4 juta kl, terdiri atas Premium 29,3 juta kl, minyak tanah 1,1 juta kl, dan solar 16 juta kl. Tahun 2014, volume konsumsi BBM menjadi 46 juta kl, terdiri atas premium 29,4 juta kl, minyak tanah 0,9 juta kl dan solar 15,7 juta kl.

Tanpa pengendalian BBM, maka solar bersubsidi akan habis sampai tanggal 5 Desember dan Premium sampai 20 Desember 2014. Belum lagi kalau BBM subsidi digelontor demikian besar akibat kepanikan masyarakat dan pemerintah tidak ambil pusing dengan jatah subsidi, maka pada saat pelantikan presiden dan wakil presiden baru, BBM bersubsidi telah habis.

Pemerintah SBY menolak menaikkan harga BBM bersubsidi dengan alasan telah berulang kali menaikkan harga BBM, yaitu tahun 2005 sempat naik sampai 140 persen, dan tahun 2013 naik kembali sekitar 33 persen. Alasan lainnya, dalam waktu dekat ada kenaikan harga gas elpiji, tarif dasar listrik dan kenaikan harga akan memicu inflasi.

Tidak bisa tidak, presiden baru Jokowi nantinya akan terkena imbas dari ketidakmauan pemerintah SBY yang tidak menaikkan harga BBM. Pemerintahan baru sudah pasang kuda-kuda yaitu punya rencana akan menaikkan harga BBM. Untuk mengatasi dampak kenaikan harga BBM pada zamannya, Presiden SBY diberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan dana kompensasi kenaikan BBM, nantinya Jokowi akan memberikan kartu subsidi usaha produktif.

Pemberian BLT dan terakhir dana kompensasi akibat kenaikan harga BBM penyalurannya kurang efektif pada zamannya presiden SBY, karena masalah kesahihan data para penerima bantuan. Belum lagi, kurangnya perencanaan yang matang serta masalah etika dan moral yang kurang baik dari mekanisme penyaluran, menyebabkan yang seharusnya menerima sering terlewat, yang seharusnya tidak menerima justru mendapatkannya. Bagaimana kiranya dengan pemberian kartu subsidi usaha produktif?

Efektivitas penyaluran

Jokowi setelah pelantikannya pada 20 Oktober 2014 memang berencana menaikkan harga BBM, karena kalau tidak dinaikkan akan makin membengkakkan subsidi. APBN 2015 yang sudah terkendala gerak fiskal dan moneter bagi pemerintahan baru akan makin mengkhawatirkan lagi kalau tidak ada kenaikan  harga BBM, karena jumlah subsidi yang makin besar.

Wacana kenaikan harga BBM pada pemerintahan baru merupakan ujian tersendiri karena partai pendukungnya selalu menolak rencana itu ketika pemerintahan SBY mau menaikkan harga. Nah, apakah sekarang masih konsisten atau berubah, nanti dapat dilihat bagaimana sifat umum dari suatu partai. Apakah kejadian ini membenarkan banyolan Prof Satjipto Rahardjo, dari Undip, yang menyatakan ilmuwan harus jujur meski salah, sementara politikus boleh tidak jujur asal tidak boleh salah.

Dampak kenaikan harga BBM sudah pasti akan menaikkan inflasi dan kemiskinan. Maka bagi yang terkena dampaknya harus dapat subsidi penggantian. Mestinya, dampak kenaikan harga BBM dapat ditekan apabila pemerintah baru dapat melobi para pengusaha untuk menekan kenaikan harga-harga barangnya demi kemajuan bangsa dan negara. Aspek persuasi dapat efektif apabila hubungan antara pemerintah dan pengusaha baik, yaitu kerja sama yang saling menguntungkan berdasarkan rasa etika, moral, dan rasa keadilan.

Langkah membantu usaha-usaha produktif dengan sistem kartu, juga sangat baik karena selama ini para petani dan UMKM mesti dikatakan dapat subsidi, tetapi dalam praktiknya sering menjadi lain. Misal subsidi pupuk, benih dan lain-lainnya tidak berdaya karena adanya mafia dalam pangan. Komoditas padi, bawang, kedelai, daging, garam, dan lainnya selalu tercengkeram oleh para mafia, yang tidak lain para kartel. Demikian usaha UMKM meski telah diberikan kredit, akan tetapi kalah bersaing  dengan makin maraknya kehadiran pasar modern.

Memang harus diakui, kartu sehat dapat berhasil di Solo dan Jakarta, lantas bagaimana dengan kartu subsidi untuk usaha produktif  di Indonesia? Langkah awal Jokowi melalui Tim Transisi yang masuk ke kementerian-kementerian pemerintah SBY sudah tepat untuk merencanakan anggaran supaya dapat diajukan melalui Badan Anggaran (Banggar) DPR.

Anggaran yang ada akan memuluskan penyaluran subsidi untuk ekonomi kerakyatan, di antaranya usaha-usaha produktif. Tentunya perlu pendefinisian usaha-usaha apa yang produktif, dan dihindari usaha-usaha yang baru didirikan hanya untuk mengelabui perolehan dana subsidi. Kerja sama dengan pihak terkait seperti pemda dan perguruan tinggi akan membantu efektivitas penyalurannya.

Manajemen "blusukan" dapat dijalankan, di mana presiden dapat mengecek ke lapangan, apakah bantuan benar-benar tepat sasaran dengan jumlah dana subsidi yang tidak dipotong. Terhadap para pelanggar bantuan dana, penegakan hukum secara konsisten dan berkeadilan harus diterapkan sebagaimana mestinya. Termasuk perlu adanya keberanian melawan para kartel pangan karena berapa pun besarnya bantuan subsidi, apabila komoditas diatur oleh kartel, maka bantuan subsidi kurang berguna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar