Aborsi,
Problem Hidup Perempuan
Maswan ; Dosen
UNISNU Jepara, Mahasiswa S-3 Unnes Semarang
|
REPUBLIKA,
08 September 2014
Peraturan
Pemerintah (PP) No 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi menuai
pro-kontra. PP ini membolehkan aborsi dalam upaya mengatur kejadian kehamilan
yang tidak diinginkan, khususnya korban pemerkosaan karena pertimbangan
kondisi medis ibu dan anak. Dalam salah satu pasalnya mengatur hal-hal apa
saja yang harus dipenuhi sebelum melakukan tindakan aborsi.
Menteri
Pemberdayaan Perempuan (PP) dan Perlindungan Anak (PA) Linda Amalia Sari
menambahkan, banyak perempuan korban pemerkosaan yang di bawah umur mengalami
trauma berkepanjangan dan tak siap punya anak. "Kita dapat banyak sekali
info dari perempuan korban pemerkosaan yang mereka tuh traumanya cukup
panjang, masih di bawah umur dan mereka tidak siap untuk punya anak. Dalam
PP, aborsi diperbolehkan dengan alasan darurat medis dan pemerkosaan dengan
usia kehamilan di bawah 40 hari," ungkapnya yang dilansir di media
sosial.
Protes keras
Munculnya
PP yang melegalkan aborsi yang disahkan oleh Presiden SBY tersebut, tentu
mengagetkan banyak kalangan dan menuai protes keras. Protes keras dilakukan
oleh Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda yang
dipublikasikan di media cetak dan media sosial. Ia mengatakan, UU No 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan, pemerintah berkewajiban menjamin
hak hidup seorang anak mulai masih di dalam kandungan ibunya sampai usia 18
tahun. Dengan demikian, PP 61 tersebut sangat bertentangan dengan UU No 23.
Apa
yang disampaikan oleh Erlinda beralasan karena aborsi dilegalkan dengan dalih
korban perkosaan maka pada saatnya akan memicu menimbulkan adanya seks bebas.
Bahkan, akan terjadi peningkatan bisnis seks komersial dan perselingkuhan
bebas akan memanfaatkan PP tersebut sebagai tameng dalam menutupi pelanggaran
moral.
Penolakan
juga datang dari aktivis perempuan, Ratna Sarumpaet. Menurutnya, PP Aborsi
sama saja melawan takdir Tuhan. "Janin bisa tumbuh di rahim seorang
wanita dan lahir ke dunia karena kuasa Tuhan. Jika ada manusia yang ingin
menghilangkannya, itu berarti dia ingin melawan takdir Tuhan," ujarnya.
Aborsi itu pembunuhan
Lepas
dari pro dan kotra di atas, dan apakah aborsi boleh atau tidak boleh dari
sudut pandang kesehatan dan hukum, aborsi tetap menjadi malapetaka bagi
perempuan karena ada unsur "pembuhunan janin".
Dalam
hal ini, penulis tidak mempersoalkan aborsi diizinkan atau tidak diizinkan
oleh pihak-pihak yang berwewenang, namun yang patut dicermati adalah
bagaimana beban psikologis perempuan setelah melakukan aborsi. Dan, bagaimana
tindakan preventif untuk mencegah agar aborsi tidak terjadi di dalam
kehidupan ini.
Umumnya
aborsi dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena tindakan tersebut merupakan
aib bagi pelaku. Munculnya niat untuk membunuh janinnya sendiri bagi
kebanyakan perempuan, tentu ada masalah yang melatarbelakangi, mengapa harus
melakukan tindakan seperti itu. Aborsi dilakukan akan mengganggu ketenteraman
hidup sang pelaku dan secara psikologis mengganggu ketenangan batin dalam
bentuk traumatik.
Setidaknya,
perempuan-perempuan yang melakukan aborsi akan menglami gangguan kejiwaan
dalam bentuk perilaku tangis hati yang berkepanjangan, rasa bersalah
sepanjang hidup, dan tidak berdaya untuk memaafkan kesalahan dirinya sendiri.
Menurut para ahli ilmu jiwa, dampak dari tindakan aborsi akan memunculkan
sederet problem psikis berupa dorongan untuk bunuh diri, depresi, perasaan
bersalah, kesedihan mendalam, kelumpuhan emosional, problem seksual, perasaan
rendah diri, mimpi buruk dan ganguan tidur, gelisah, panik, dan sejenisnya.
Problem kejiwaan
Penulis
sependapat bahwa aborsi tidak boleh seenaknya dilakukan dengan dalih apa pun.
Apakah karena alasan medis yang dapat membahayakan janin dan ibunya atau
karena perempuan korban perkosaan. Solusi ini, hanya sekadar terapi fisik.
Toh kalau seandainya tidak diaborsi akan mengganggu kematian janin dan
ibunya, itu akan lebih manusiawi karena mati alami dan kehendak Tuhan.
Padahal, justru yang paling berat dihadapi perempuan pascaaborsi adalah
problem kejiwaan seperti di atas terus menghantui seumur hidupnya.
Upaya
preventif agar tidak terjadi korban perkosaan dan kumpul kebo (seks bebas),
dari sisi agama sudah sangat jelas, walaa takrobuzzinaa (jangan dekat-dekat
dengan zina). Mendekati zina saja tidak diperbolehkan dalam agama, apalagi
sampai melakukan zina. Karena, dampak dari perzinaan akan membuahkan akibat
buruk bagi pelakukan, lebih lebih-lebih perempuan. Hamil dari akibat
perzinaan mengakibatkan anak tidak jelas dari nasab ayahnya, jika perempuan
tidak siap mental maka dilakukan aborsi. Penyelesaian hamil di luar nikah
dengan jalan aborsi menimbulkan masalah psikologi dan rasa bersalah seumur
hidup. Hal ini delimatis bagi perempuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar