Karena
Susu Setitik Baik Nila Sebelanga
Luky Djani ;
Peneliti
Institute for Strategic Initiatives
|
KOMPAS,
16 September 2014
PERIBAHASA
karena nila setitik rusak susu sebelanga sudah sangat lazim terjadi dalam
konteks korupsi pada lembaga/institusi publik di negara ini. Contoh
mutakhir menimpa lembaga kredibel dan berwibawa, Mahkamah Konstitusi (MK).
Akibat perbuatan seorang Akil Mochtar, yang kemudian diganjar hukuman penjara
seumur hidup, MK pun (sempat) menjadi ”rusak sebelanga”.
Anekdot
yang kerap dilontarkan pada institusi publik adalah ”berkarakter spanyol”
alias separuh nyolong, artinya nilanya bukan lagi setitik, melainkan minimal
sudah setengah belanga.
Muncul setitik susu
Di
tengah paceklik lembaga publik yang berintegritas, imparsial, berorientasi
pelayanan, dan profesional muncul setitik ”susu” di ladang nila sebelanga.
Di
antara susu tersebut ada Basuki Tjahaja Purnama yang akrab dipanggil Ahok,
Wakil Gubernur DKI Jakarta, atau Nur Pamudji, Direktur Utama PLN yang
berupaya keras memperbaiki nila sebelanga.
Pak
Ahok sering terlibat ”perang” dengan jajaran birokrasi demi meluruskan yang
telanjur bengkok. Pak Nur memilih cara yang lebih kalem dalam membersihkan
BUMN dengan aset terbesar di negara ini.
Bagaimana
susu setitik bisa mengubah nila sebelanga? Dalam konteks reformasi lembaga
publik, membenahi birokrasi yang nyaris selalu survive dalam mempertahankan
langgam, karakter, dan etos, walau zaman dan rezim telah berganti, tentu
bukanlah hal yang sepele.
Birokrasi
lembaga publik di Indonesia merupakan kelanjutan dari pangreh praja dan
pamong praja dengan ciri patrimonial yang kental. Lantas, mungkinkah hanya
setitik susu bisa memperbaikinya?
Serum
Dalam
literatur akademik ataupun policy paper para donor, istilah ”champion” kerap didengungkan.
Kehadiran seorang champion menjadi
prasyarat bagi keberhasilan program reformasi tata kelola pemerintahan. Political will dari pemimpin menjadi
prasyarat utama bagi keberhasilan inisiatif perubahan. Adanya keinginan kuat
dari pimpinan suatu lembaga menggaransi keberpihakan dari otoritas
kepemimpinan lembaga untuk menggulirkan perubahan. Champion ini menjadi
panglima reformasi tata kelola pemerintahan.
Pengultusan
pada champion atau prasyarat political
will dalam mendorong perubahan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Sisi
positifnya, ada jaminan dari pimpinan tertinggi suatu lembaga publik atau
pemerintah (pusat dan daerah) untuk melakukan perubahan.
Instruksi
pimpinan kepada bawahannya agar bertindak dan menjalankan tugas berdasarkan
prinsip profesionalitas dan integritas dipandang penting. Hal ini merupakan
turunan dari pemahaman bahwa bureaucratic
polity (Jackson, 1978; McVey, 1982) memiliki karakter paternalistik dan
otoriter (King, 1982) sehingga jika
pimpinannya adalah ”orang baik”, ia akan membawa lembaga publik (birokrasi)
menjadi baik pula.
Pimpinan
suatu lembaga kerap dipersonifikasi sebagai ”Bapak”, di mana bawahan dan
rakyat adalah ”anak”; Seorang bapak akan ngemong (pamong) anak (bawahan atau
rakyat).
Pemenang jadi
pecundang
Kelemahan
pertama dari pendekatan ini adalah tidak jarang ”champion” menjadi looser.
Contoh beberapa kepala daerah yang sebelumnya ditahbiskan sebagai champion,
baik oleh asosiasi, lembaga donor, maupun media massa, kemudian menjadi
pesakitan karena terkena kasus korupsi. Maka, ”champion” menjadi nila.
Pemimpin,
apalagi yang terpilih melalui mekanisme elektoral (elected public official), adalah politikus yang tentu saja
memiliki kepentingan dan ambisi. Ia terkadang memiliki etos altruism, dan di lain waktu sebagai
zoon politicon. Singkatnya, benevolent
dictator hanyalah fiksi dalam realitas politik.
Pengalaman
empirik lain menunjukkan bahwa anak (birokrasi) tidak melulu patuh terhadap
orangtua. Contoh Bupati Tanah Datar di Sumatera Barat adalah bukti bahwa
birokrasi tidak selalu patuh kepada sang bapak. Program-program reforma
pemerintah daerah yang dilakukan bupati tersebut ternyata menghilangkan privilege dan ”mata air” para birokrat
yang lantas melakukan perlawanan saat pilkada berlangsung.
Kekalahan
pada pilkada menjadi momen tumbangnya upaya reformasi tata kelola
pemerintahan di kabupaten tersebut. Hal ini berkaitan dengan kelemahan ketiga
dari pendekatan ”champion”, yakni
keberlanjutan reforma pemerintahan menjadi tanda tanya ketika sang ”champion” sudah tidak menjabat lagi.
Kelemahan
pendekatan champion organik lalu diganti dengan menyuntikkan ”serum” pada
tubuh yang terinfeksi korupsi kronis. Serum ini diambil dari KPK, di mana
mantan pimpinan lembaga itu ditempatkan pada posisi strategis, di antaranya
pada Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian
Agama, juga pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia.
Pendekatan
ini berbeda dengan champion di mana serum ini adalah ”alien” pada lembaga
tersebut dan diharapkan akan membuat antibodi yang menyehatkan kembali lembaga
publik dari ”penyakit” kronis korupsi.
Pendekatan
baru ini sepertinya mengikuti gaya diplomasi Theodore Roosevelt: ”carry a big gun and speak softly”.
Tentu saja harapannya adalah serum dari luar ini dapat memperbaiki nila
sebelanga.
Korupsi
adalah organized crime, yang
melingkupi orang dalam dari institusi publik dan orang luar, lazimnya dari
kalangan pebisnis. Korupsi pada pengadaan barang dan jasa pasti melibatkan
kedua pihak yang telah memiliki ikatan dalam relasi sosial dan kurun waktu
tertentu.
Jejaring
Layaknya
organized crime, maka jaringan ini terstruktur, memiliki etik tersendiri dan
cenderung bertindak secara clandestine (Gambetta,
2009). Karena itu, penanganan tidak cukup hanya dengan melibatkan
champion atau aparatur pada lembaga itu.
Jika
merunut sepak terjang di PLN dan Pemerintah Provinsi DKI, kunci keberhasilan
Pak Ahok dan Pak Nur dalam membenahi lembaga adalah dengan menjalin jejaring
di dalam dan dengan pihak eksternal.
Apa
yang dilakukan oleh Nur Pamudji adalah membuat tim kecil pembenahan korporasi
pelat merah tersebut. Tim inti inilah motor penggerak dari pembenahan PLN,
selain membangun jaringan di luar, baik dengan asosiasi bisnis, kelompok
konsumen, maupun juga NGO serta media.
Begitu
juga yang dilakukan Basuki, ia memanfaatkan antusiasme warga Jakarta akan
perubahan dan menggandeng kelompok-kelompok yang peduli dengan perbaikan tata
kelola pemprov. Penggunaan media sosial pun turut menjadi ”senjata” dalam
mendorong perubahan.
Sentimen
publik akan aparatur yang mumpuni dan berintegritas menjadi pemantik
gelombang perubahan. Tuntutan perubahan atau perbaikan (demand for change) menjadi motor perbaikan (driver for change). Kini angin perubahan berembus dan akan
semakin riuh. Singkatnya, jejaring maling harus dilawan dengan ikatan orang
baik.
Inisiatif
perubahan di Pemprov DKI Jakarta dan PLN masih terus bergulir dan jauh dari
rampung. Memang nila sebelanga belum seluruhnya menjelma menjadi susu, tetapi
setidaknya setitik susu sudah membuat perubahan. Perkataan Edmund Burke, ”the only thing necessary for the triumph
of evil is for good men to do nothing”, sekarang menjadi a few good men telah do many things! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar