Selasa, 16 September 2014

Normalisasi Politik Kita

Normalisasi Politik Kita

M Alfan Alfian  ;   Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
KOMPAS, 15 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Pengalaman Pemilihan Presiden 2014 sebagai sebuah kontestasi politik yang sangat ketat dan melibatkan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian konfliknya, meninggalkan pelajaran berharga dalam perkembangan demokrasi kita. Tidak sekadar menguji sistem demokrasi, tetapi juga kedewasaan politik semua pihak.
Tidak ada konflik politik yang tidak dapat diikhtiarkan penyelesaiannya. Dalam sistem politik kita, MK berperan penting dalam penyelesaian konflik elektoral. Keputusannya harus dihormati dan dipatuhi bersama. Setelah itu, kita bersama mengupayakan normalisasi politik.

Normalisasi politik merupakan hal yang lazim dilakukan pasca pemilihan umum. Pemilu sebagai rezim kontestasi politik, membuka partisipasi publik luas dan kontestatif dengan konsekuensi konflik yang dinamis.

Sistem politik yang membingkainya harus memberikan jalan keluar yang elegan dan sehat agar residu-residu konflik dapat dinormalkan kembali. Karena itu, normalisasi politik bermakna penormalan kembali kehidupan politik dan sekaligus perbaikan sistem politik.

Dalam konteks ini, normalisasi identik dengan, merujuk Kuntowijoyo, rasionalisasi dan obyektivikasi. Pada awal Reformasi 1998, Kuntowijoyo mengingatkan, politik bisa membuat pelakunya berkacamata kuda atau miopik. Mereka berorientasi jangka pendek. Karena itu, golongan politisi harus kita ingatkan.

Demistifikasi politik

Rasionalisasi dalam perspektif Kuntowijoyo adalah demistifikasi politik. Politik harus dibebaskan dari mitos-mitos yang membuat para pelakunya miopik. Rasionalisasi juga berarti obyektivikasi, di mana politik yang berorientasi kemaslahatan merupakan transformasi perbuatan rasional nilai (wertrational) ke perbuatan rasional riil, di mana orang lain pun menikmati capaian-capaian politik, tanpa harus menyetujui nilai-nilai asal.

Dalam konteks ini tidak berarti ”kebenaran politik” merupakan monopoli penguasa atau kelompok pengimbang atau oposisi. Secara rasional, ”kebenaran politik” dilakukan oleh siapa saja yang mampu menciptakan kemaslahatan bersama.
Maka, penguasa atau siapa pun pemegang pemerintahan baru tidak akan menuai apresiasi politik manakala lemah dalam mengupayakan ”kemaslahatan bersama”. 

Sebaliknya, kelompok pengimbang juga harus efektif dalam fungsinya, sehingga prinsip checks and balances terus aktual. Kelompok pengimbang harus tetap menjaga marwahnya sedemikian rupa sehingga politik berjalan dengan basis argumen yang jelas. Tanpa itu kritik-kritik oposisi menjadi tidak menarik dan jauh dari persoalan nyata yang dirasakan masyarakat.

Sinyalemen Kuntowijoyo tentang politisi miopik mengingatkan pula pada pandangan Herbert Marcuse tentang paradigma manusia satu dimensi.
Dalam bukunya, One Dimensional Man, Marcuse menyitir bahwa pemikiran satu dimensi secara sistematis dipromosikan oleh perekayasa politik dan pemasok informasinya. Wacana-wacananya dihuni oleh hipotesis yang divalidasi sendiri secara monopolistis terus-menerus, menjadi definisi yang menghipnotis.

Corak politik totalitarian seperti ini juga disitir oleh Goerge Orwell yang menyindir bahwa, ”Semua masalah adalah masalah politik, dan politik itu sendiri adalah kebohongan, penggelapan, kebodohan, kebencian, dan skizofrenia yang masif”.
Karena itu, mormalisasi kehidupan politik membutuhkan peran elite untuk menjauhkan diri dari cara berpikir satu dimensi dan totaliter. Elite bertanggung jawab dalam proses pendidikan politik dengan cara-cara yang elegan. 

Rasionalisasi sering pula bermakna demasifikasi politik, bahwa penggunaan massa sebagai alat penekan politik tidak boleh diarahkan ke arah konflik kekerasan.

Konsensus baru

Terobosan paling penting politik adalah terciptanya konsensus-konsensus baru yang lebih maju dan efektif, karena dinamika politik selalu diwarnai konflik dan konsensus. Untuk menuju ke sana, paradigma satu dimensi atau miopisme politik perlu dibuang jauh-jauh. Inilah pekerjaan rumah penting pasca Pilpres 2014.

Selanjutnya, secara sistem, kita mencatat bahwa penyelenggaraan pilpres langsung memang memiliki konsekuensi berbeda apabila dibandingkan dengan mekanisme pemilihan tertutup di lembaga perwakilan rakyat. Pilpres langsung melibatkan pembelahan dukungan yang diametral dalam masyarakat. Potensi konfliknya masif, sehingga peran elite untuk menyatukannya kembali sangat penting. Sistem harus mengantisipasi agar tidak terjadi benturan di level masyarakat dan tidak meninggalkan luka-luka masif.

Kita lega karena pada tahun 2019 pemilu serentak akan diimplementasikan, dengan harapan polarisasi politik tidak setajam sekarang. Namun, bukan berarti perbaikan sistem usai mengingat masih banyak hal yang belum mampu dijawab. Sistem politik kita belum sepenuhnya mampu mereduksi atau bahkan menghilangkan praktik-praktik pragmatisme-transaksional.

Sistem juga belum mampu membuat semua peserta kompetisi politik yakin sepenuhnya bahwa proses pemilu benar-benar transparan dan jujur. Kecanggihan teknologi informasi juga belum termanfaatkan secara sistemik, sehingga pemilu-pemilu kita dewasa ini, tanpa bermaksud mengabaikan kinerja Komisi Pemilihan Umum, masih terasa bertele-tele. Itu semua penting mengingat kebutuhan berdemokrasi kita semakin kompleks, sementara sistemnya masih terbatas.

Kendati demikian, kita bersyukur bahwa di tengah keterbatasan sistem dan dinamika kontestasi politik yang tajam, para elite tidak menganjurkan memilih jalan kekerasan. Setajam apa pun retorika politik pihak-pihak yang merasa dirugikan dalam kompetisi pemilu, mekanisme konstitusional menjadi upaya penyelesaian konflik.

Kita boleh merasa kecewa dengan para elite dalam memutuskan sesuatu dan beretorika, tetapi di atas semua itu kita seharusnya tetap menghormati pilihan jalan nirkekerasan.

Politik nirkekerasan yang dipersyaratkan dalam kehidupan demokrasi, bagaimanapun akan memberikan peluang-peluang baru bagi hadirnya perkembangan-perkembangan yang lebih baik. Adanya kelompok pengimbang yang kuat dan konsisten, akan membuat politik menjadi dinamis. Seperti pertandingan badminton: indah dan bertenaga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar