Kamis, 18 September 2014

Kado Pahit di Akhir Jabatan

Kado Pahit di Akhir Jabatan

Marwan Mas  ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
KORAN SINDO, 17 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Penetapan tersangka Jero Wacik, mantan menteri energi dan sumber daya mineral (ESDM), oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi indikasi bahwa kabinet yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diwarnai pengemplang uang negara.

Wajar jika publik menilai Presiden SBY telah gagal memimpin kabinetnya dari godaan korupsi. Betapa tidak, Jero sebagai orang dekat SBY adalah menteri aktif ketiga yang dijerat korupsi oleh KPK setelah Menpora Andi Alifian Mallarangeng dan Menteri Agama Suryadharma Ali. Substansi dalam memerangi korupsi masih jauh dari harapan sebab bukan hanya jajaran menterinya yang diduga terlibat korupsi. Tidak sedikit kader Partai Demokrat yang dipimpin SBY meringkuk dalam penjara karena korupsi. Misalnya, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Nazaruddin, Hartati Murdaya, Jero Wacik, dan Sutan Bathoegana yang merupakan kader pilihan.

SBY selaku ketua umum Partai Demokrat tidak mampu membina moral dan integritas kadernya agar tidak korupsi. Itulah kado terpahit dalam mengakhiri masa jabatan Kabinet Indonesia Bersatu Kedua yang kontradiksi dengan ikon SBY yang akan serius memberantas korupsi di jajaran pemerintahannya. Hanya satu keberhasilan SBY yaitu pada pemberian keluasan bagi KPK, kepolisian, dan kejaksaan untuk memproses semua kasus korupsi.

SBY tidak mengintervensi penyidikan dan proses hukum di pengadilan. Tetapi, sikap itu tidak terlepas dari semakin kuatnya peran publik, aktivis antikorupsi, pers, dan mahasiswa yang terus mengawasi proses hukum. SBY akan menggali lubang sendiri jika berani mengusik kinerja polisi, kejaksaan, KPK, dan pengadilan dalam pemberantasan korupsi. Peran civil society yang begitu kuat setidaknya memaksa penguasa untuk tidak mengintervensi proses hukum keluar dari jalurnya seperti saat Orde Baru.

Mafia Migas

Kualitas korupsi di Kementerian ESDM menjadi urgen ditelisik mengingat posisi Jero sangat strategis dalam mengendalikan sektor minyak dan gas bumi (migas) dari hulu hingga hilir dengan nilai perdagangan ratusan triliun rupiah. Sangat mungkin KPK membongkar mafia migas yang sudah lama diintai sebab para mafia menjadi parasit di Kementerian ESDM. Ulah mereka menyebabkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) terus meningkat. Terkait dugaan permintaan dana untuk kepentingan biaya operasional menteri ESDM seperti diungkap KPK.

Ini diperkuat oleh fakta persidangan dengan terdakwa Rudi Rubiandini di Pengadilan Tipikor Jakarta, 25 April 2014 bahwa Pertamina menjadi sasaran pemalakan. Jaksa KPK memperdengarkan rekaman hasil sadapan pembicaraan Waryono dengan Rudi yang diperdengarkan dalam sidang. Saksi mantan Sekjen ESDM Waryono butuh dana talangan. Tentu ada kaitannya dengan temuan KPK uang USD200.000 di ruang kerja Waryono. Publik berharap pemerintahan baru nanti tidak tersandera oleh mafia pajak, apalagi Jokowi pernah berjanji akan menumpas segala mafia, baik mafia migas, perpajakan, maupun mafia pertanahan.

Betapa tidak, cengkeraman mafia begitu sulit disentuh lantaran diduga kuat melibatkan pengusaha yang dekat dengan kekuasaan. Lebih dari itu, Jokowi-JK juga harus memilih menteri yang antikorupsi. Tetapi, sinyal yang dikirim Jokowi-JK yang menetapkan 34 kementerian yang jumlahnya sama dengan kabinet SBY bisa menjadi blunder awal sebab kontradiksi dengan janjinya yang akan membangun struktur kementerian yang ramping. Pembagian 18 menteri untuk kalangan profesional dan 16 jatah menteri untuk profesional partai politik bisa diartikan kalau proses transaksional dengan partai pendukung sudah mulai terjadi.

Padahal, koalisi yang dibangun selalu didengungkan tidak ada transaksi. Meski KPK bertekad membongkar berbagai kasus megakorupsi, keberhasilannya sangat ditentukan oleh political will presiden. Kalau Jokowi benar-benar berkomitmen memberantas korupsi, tidak akan ada satu pun halangan bagi KPK menjalankan misinya. KPK tidak boleh berhenti hanya sampai menteri sebab jaringan mafia migas begitu kuat yang terusmenerus merecoki penghasilan negara dari sektor migas.

Lanjutkan Pengungkapan

Keberhasilan KPK mengembangkan penyidikan dari gratifikasi sampai dugaan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang (Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) tidak terlepas dari penangkapan Rudi. Apalagi Jero Wacik memiliki benang merah sebagai penentu keluar kebijakan pengendalian dan pengelolaan bisnis migas. KPK memiliki pijakan untuk melanjutkan mengungkap mafia migas sebab tidak mungkin para pebisnis migas mau memberi uang pelicin kepada menteri tanpa ada sasaran lebih besar yang diharapkan. Mereka begitu enak ongkang-ongkang kaki menerima fee yang bertahun-tahun menikmati licinnya bisnis migas.

Jika aktivitas mereka bisa dihentikan atau minimal mengurangi intensitasnya, tentu berpengaruh positif terhadap penghasilan negara dari sektor migas dan pengurangan subsidi BBM. Beroperasinya mafia di sejumlah kementerian yang diduga dibentengi elite partai politik menyebabkan program kerja pemerintah tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Lebih celaka hambatan itu memang sengaja diciptakan agar bisa mendapat uang pelicin dari pengusaha yang berjuang mendapatkan proyek atau mengurus izin usaha. Laksana rumput liar, para mafia di berbagai kementerian selalu memiliki cara untuk survive.

Butuh kesatuan sikap semua jajaran kementerian dan pemerintah daerah untuk memerangi para mafia anggaran. Kerugian negara yang ditimbulkan mencapai triliunan rupiah dari sektor migas ditengarai terjadi di setiap lapisan pemerintahan. Korupsi migas secara masif bukan hanya pada birokrasi pusat, melainkan juga gubernur, bupati, dan wali kota, hingga jajaran anggota legislatif provinsi dan kabupaten/kota. Sepertinya negeri ini kena kutukan oleh perilaku oknum pejabat negara yang seenaknya meraih keuntungan sendiri dari hasil bumi.

Padahal, menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Alih-alih dipakai untuk kemakmuran rakyat, justru dimakan sendiri yang membuat angka kemiskinan rakyat setiap tahun meningkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar