Distorsi
Politik Perwakilan
Ahmad Millah Hasan ;
Direktur
Pusat Pemberdayaan dan Transformasi Masyarakat
|
JAWA
POS, 17 September 2014
KEMENANGAN pasangan Joko
Widodo-Jusuf Kalla atas pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada pilpres 9
Juli lalu masih berbuntut panjang. Pasalnya, Koalisi Merah putih (KMP)
sebagai pengusung Prabowo-Hatta terus memberikan perlawanan. Kali ini, mereka
kembali melakukan perlawanan dengan upaya pengesahan RUU pilkada yang di
dalamnya terdapat mekanisme pemilihan kepala daerah tak langsung atau lewat
DPRD.
Usul pilkada lewat DPRD mendominasi saat
pembahasan RUU pilkada di DPR. Partai Golkar (106 kursi), PPP (38 kursi), PAN
(46 kursi), PKS (57 kursi), dan Partai Gerindra (26 kursi) yang tergabung
dalam Koalisi Merah Putih mendorong pilkada lewat DPRD. Demokrat (148 kursi)
berpendapat sama. Jika tidak terjadi musyawarah mufakat, pengambilan
keputusan bisa dilakukan dengan voting. Total suara pendukung pilkada lewat
DPRD mencapai 421 kursi.
Kini, peta politik bisa berbalik.
Sebelumnya, hanya tiga parpol yang mendukung mekanisme pilkada secara
langsung, yakni PDIP (94 kursi), PKB (28 kursi), dan Partai Hanura (17
kursi). Belakangan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga ketua
umum Partai Demokrat memilih pilkada langsung oleh rakyat. Jika sikap SBY itu
diikuti Fraksi Demokrat di DPR, suara pendukung pilkada langsung di DPR
mencapai 287 kursi. Sementara itu, pendukung pilkada lewat DPRD sebesar 273
kursi.
Terkait dengan sikap SBY tersebut,
tampaknya, pada akhir masa jabatannya, presiden enggan berlawanan dengan
gerakan arus bawah yang semakin kuat dan masif melawan kehendak KMP. Apalagi,
penolakan terhadap pilkada tak langsung juga muncul dari kepala daerah yang
juga kader partai dari KMP sendiri. Belum lagi desakan dari massa aktivis
prodemokrasi yang menilai pilkada tak langsung adalah kemunduran demokrasi.
Pada pilpres lalu, pasangan Jokowi-JK
unggul cukup signifikan atas pasangan Prabowo-Hatta. Sebagai pemenang
pilpres, logikanya, Jokowi-JK lebih banyak didukung rakyat dan besarnya
dukungan itu merata di daerah. Belum lagi pendukung Prabowo-Hatta di bawah
yang sudah berpindah aliran. Data terkini, menurut survei quick poll Lingkaran Survei
Indonesia (LSI), mayoritas konstituen dari parpol dalam KMP tak menyetujui
kepala daerah dipilih DPRD. Lebih dari 75 persen konstituen atau pemilih
parpol Koalisi Merah Putih menginginkan kepala daerah dipilih langsung, tidak
melalui DPRD seperti yang diinginkan koalisi.
Perinciannya, sebanyak 81,20 persen
pendukung Golkar memilih pilkada langsung, Demokrat 80,77 persen, Gerindra
82,55 persen, PKS 80,23 persen, PAN 85,11 persen, PPP 76,66 persen, dan PBB
87,65 persen. Hasil penelitian LSI itu dilakukan terhadap 1.200 responden.
Penelitian diadakan pada 5 sampai 7 September 2014 dengan margin of error 2,9 persen. Survei
dilakukan di 33 provinsi lewat metode quick
poll.
Ada dua hal yang patut diperhatikan dalam
wacana ini. Pertama, substansi. Pilkada langsung maupun tidak langsung
sebenarnya sama-sama tidak bisa menghilangkan politik uang. Kecenderungan
politik uang hanya akan berpindah dari lapangan luas ke lapangan yang
terfokus, yaitu DPRD. Terkait itu, KPK akan mudah mendeteksi peredaran uang
lantaran wilayah persebaran yang terbatas di sekitar DPRD.
Hasyim Muzadi adalah tokoh NU yang sejak
2009 mengampanyekan pilkada tak langsung. Usul itu murni demi kemaslahatan
umat. Maksudnya, rakyat tak terlibat langsung dalam demokrasi transaksional
karena sudah diambil alih DPRD. Usul tersebut jelas berbeda motif dengan
wacana yang diusung KMP. Yaitu, menjadi penguasa di daerah.
Kedua, aspek politis. Pasal 6A UUD 1945
menegaskan bahwa pemilihan presiden dipilih langsung. Tentu, dalam hal ini
pemilihan kepala daerah harus disamakan dengan sistem pemilihan presiden.
Lebih jauh dinyatakan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 bahwa kepala daerah
dipilih melalui pemilu sebagaimana sistem pemilihan presiden. Bila dalam RUU
pilkada menggagas pilkada serentak bahwa gubernur dipilih langsung oleh DPRD,
jelas itu bertentangan dengan perundang-undangan.
Di balik ngotot-nya
sikap KMP, rupanya mereka punya skenario lain setelah tumbang di pilpres.
Yaitu, ’’mengavling’’ kekuasaan di daerah lewat koalisi yang mereka bangun.
Terang saja, publik mudah menyimpulkan bahwa wacana penghapusan pilkada
langsung itu beraroma dendam pilpres.
Di sisi lain, apa yang dilakukan KMP adalah
bentuk pragmatisme politik yang menanggalkan kepentingan rakyat, bangsa, dan
negara. Dan, bicara politik adalah bicara keuntungan. Jika kini fraksi di DPR
getol bicara pilkada tak langsung, itu dilakukan karena keuntungan yang
didapat tentu lebih besar. Namun, keuntungan tersebut hanya diperjuangkan
untuk kepentingan elite parpol, bukan rakyat.
Karena itulah, wacana mengembalikan pilkada
oleh rakyat menjadi pilkada oleh DPRD ditentang rakyat. Perlawanan paling
nyata ditunjukkan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Thajaja Purnama atau
Ahok. Bahkan, sebagai bentuk perlawanan, dia dengan tegas menyatakan mundur
dari Partai Gerindra.
Abraham Lincoln menyatakan, demokrasi
adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sementara itu, menurut Charles Costello, demokrasi adalah sistem sosial
dan politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi
hukum dan kebiasaan untuk melindungi hak-hak perorangan warga negara.
Dan, menurut John L.
Esposito, demokrasi pada dasarnya adalah kekuasaan dari dan untuk
rakyat. Karena itu, semuanya berhak berpartisipasi, baik terlibat aktif
maupun mengontrol kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Selain itu, tentu
saja, dalam lembaga resmi pemerintah, terdapat pemisahan yang jelas antara
unsur eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Atas dasar itulah, pilkada tak langsung
dinilai sebagai kemunduran demokrasi dan merampas aspirasi rakyat. Menghapus
pilkada tak langsung sama dengan memasung hak suara rakyat. Bahkan, terlepas
masih adanya banyak kekurangan, demokrasi telah mengangkat nama baik
Indonesia di mata internasional sebagai negara berkembang yang bisa melaksanakan
pemilihan secara langsung dengan damai.
Rakyat memang perlu tetap diberi
kepercayaan untuk menentukan pilihannya sendiri. Apalagi, DPR/DPRD selama ini
kerap melakukan perilaku yang mendistorsi dan melukai hati rakyat. Mereka
lebih memilih mengabdi kepada parpol ketimbang membela hak rakyat.
Berdasar hasil survei Cirus Surveyor Group
awal tahun lalu, kepercayaan masyarakat terhadap DPR ternyata rendah. Masalah
itu terjadi karena DPR tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Survei
tersebut menyebutkan bahwa 53,6 persen responden menilai anggota DPR periode
2009–2014 tidak memperjuangkan kepentingan rakyat. Kemudian, sebanyak 51,9
persen responden menilai anggota DPR belum melakukan pengawasan terhadap
pemerintah dengan baik.
Terakhir, sebanyak 47,9 persen responden
menilai anggota DPR tidak membuat UU yang bermanfaat untuk kepentingan
rakyat. Hasil lainnya, sebanyak 60,1 persen responden merasa anggota DPR
tidak memperjuangkan aspirasi rakyat. Kemudian, sebanyak 50,1 persen
responden merasa anggota DPRD kabupaten/kota tidak memperjuangkan aspirasi
mereka. Lalu, sebanyak 58,4 persen responden merasa anggota DPRD provinsi
juga tidak memperjuangkan aspirasi rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar