Tantangan
Nasionalisme Bertuhan
R William Liddle ;
Profesor
Emeritus, Ohio State University, Columbus, Ohio, AS
|
KOMPAS,
20 September 2014
DALAM
masalah kebebasan beragama, sejauh mana kita bisa harapkan kebijakan
yang lebih baik dari pemerintahan Presiden Joko Widodo ketimbang
pendahulunya?
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sudah
lama dituding membiarkan para Islamis garis keras bertindak sewenang-wenang.
Menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, ”kekerasan terhadap kelompok
minoritas beda keyakinan masih terus berulang beberapa tahun terakhir.
Rekomendasi ditujukan langsung kepada Presiden SBY dalam kasus Ahmadiyah di
Mataram dan Syiah di Sampang, tetapi pelaksanaan rekomendasi itu tidak
kunjung dilakukan”.
Perihal presiden terpilih Jokowi,
ekspektasi masyarakat sudah tinggi sekali. Alasannya, selaku Gubernur DKI
Jakarta, dia sudah membuktikan, misalnya dalam kasus Lurah Susan, bahwa dia
berani mengambil dan melaksanakan keputusan sulit yang menyangkut minoritas
agama. Lagi pula, koalisi partai yang sedang dibangunnya hampir tak mungkin
merangkum Partai Keadilan Sejahtera yang konon merupakan sumber utama
keengganan Presiden SBY bertindak.
Kendala
budaya politik
Ekspektasi saya sendiri tidak setinggi itu,
atau setidaknya bercampur dengan keprihatinan. Sebab, ada kemungkinan lain,
yaitu bahwa perilaku SBY dibentuk oleh suatu kendala budaya politik.
Alih-alih merupakan hasil perhitungan politik sadar, ketidaktegasan SBY mungkin
lebih tepat dimengerti selaku reaksi semi-otomatis kepada sebuah konsensus
nasional tentang peran agama dalam politik. Jangan-jangan presiden terpilih
Jokowi akan merasa terbelenggu pula oleh budaya politik tersebut.
Keprihatinan saya berasal dari analisis
Jeremy Menchik, Indonesianis muda di Universitas Boston, yang menerbitkan
sebuah artikel, ”Productive
Intolerance: Godly Nationalism in Indonesia (Intoleransi Produktif: Nasionalisme Bertuhan di Indonesia)”,
dalam jurnal Comparative Studies in Society
and History, Juli 2014.
Istilah nasionalisme bertuhan diciptakan
Menchik untuk menjelaskan kenapa sekte Ahmadiyah, minoritas kecil dan
terpinggirkan, semakin sering diserang oleh kelompok-kelompok militan.
Penjelasan sarjana lain, bahwa yang bertanggung jawab adalah kaum Islamis
radikal belaka, tidak memuaskan Menchik. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa kaum
Ahmadiyah diserang karena mereka berada di luar sebuah konsensus umum tentang
hubungan yang wajar antara agama dan negara.
Hubungan itu dirincikannya sebagai ideologi nasionalisme bertuhan.
Menurut Menchik, nasionalisme bertuhan
mengandung tiga unsur pokok. Pertama, teisme, kewajiban semua warga negara
untuk menganut salah satu dari enam agama yang sah. Hal itu berarti bahwa
nasionalisme bertuhan berbeda dengan nasionalisme religius, seperti terdapat
di Israel atau beberapa negara Muslim, tempat hanya satu agama dianggap sah.
Namun, warga negara Indonesia tidak diperbolehkan menjadi ateis.
Kedua, bagi setiap agama sah, negara berhak
menentukan keyakinan dan ibadah mana yang ortodoks atau patut diterima
sebagai bagian resmi dari agama tersebut. Ketiga, penentuan itu dilakukannya
bersama-sama dengan organisasi-organisasi yang mewakili agama masing-masing,
seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam kasus Islam. Hal itu berarti
bahwa keyakinan dan ibadah Ahmadiyah (juga Syiah dan banyak sekte lain)
dianggap heterodoks, di luar Islam dan dengan sendirinya di luar perlindungan
negara. Koersi dibenarkan dalam bentuk pelaksanaan hukum oleh polisi, jaksa,
dan hakim, tetapi tentu tidak dalam bentuk tindakan liar oleh kelompok
masyarakat di luar negara.
Nasionalisme
bertuhan
Akar ideologi nasionalisme bertuhan dan
perlawanan kepada Ahmadiyah dirunut sampai zaman penjajahan. Pada 1928,
Muhammadiyah melarang penyebaran ajaran Ahmadiyah atas dasar sekte itu
mengakui seorang nabi setelah Nabi Muhammad. Persatuan Islam (Persis) dan NU
lekas menyusul. Menurut Menchik, hampir tidak ada yang disetujui tiga
organisasi besar tersebut selain kesepakatannya bahwa Ahmadiyah berada di
luar Islam!
Argumen Menchik yang paling meyakinkan
adalah penjelasannya tentang ”Sukarno’s blasphemy law”, Penetapan Presiden No
1/1965 tentang penodaan agama, yang berhasil ”mengkristalisasikan pelembagaan
nasionalisme bertuhan”. Hal itu terbukti pada 2010 ketika petisi Aliansi
Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang menentang
undang-undang tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Peran Soekarno penting sebab, selain
menjabat presiden, dia melengkapi konsensus nasional sebagai wakil suara kaum
abangan dan sekuler, sekitar separuh dari konstelasi politik zaman itu.
Aliran itu diwarisi kini oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, pemenang
Pemilu 2014, dan presiden terpilih Jokowi.
Di situlah terletak keprihatinan saya tentang masa depan kebebasan
beragama di Indonesia.
Menchik berpendirian lain. Bagi dia,
nasionalisme bertuhan merupakan suatu ”intoleransi produktif”. Maksudnya,
bangsa Indonesia telah menciptakan solusi orisinal atas masalah pertikaian
agama yang masih mewabah di mana-mana. Solusi itu ”modern dan plural,” meski
tidak sekuler atau liberal, dan patut dituruti oleh bangsa lain.
Tentu saya senang kalau ada prestasi
Indonesia yang bisa dimanfaatkan bangsa lain. Namun, ongkosnya mungkin
terlalu besar. Sebuah hak yang begitu asasi, hak setiap orang untuk
merumuskan sendiri hubungannya dengan alam semesta, diabaikan begitu saja
oleh Menchik dengan alasan politik praktis.
Alhasil, bagi saya, argumen bahwa
Undang-Undang Dasar 1945 menjamin setiap warga bebas beragama tetap lebih
kuat meski tidak diterima oleh Mahkamah Konstitusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar