Haji
dan Migrasi Status Sosial
Muhammad Kholid Asyadulloh ;
Mahasiswa
Pascasarjana
UIN Sunan Ampel Surabaya, Aktivis Muhammadiyah
|
KORAN
SINDO, 10 September 2014
Mulai
pekan pertama September ini ribuan jamaah secara bergelombang menuju Tanah
Suci untuk menunaikan ibadah haji. Berbeda dengan rukun Islam lain yang bisa
dilakukan tanpa bekal luar biasa, haji adalah kewajiban yang hanya
diperuntukkan bagi seorang muslim yang mampu (istithaistithaah) mengadakan perjalanan ke Baitullah (QS. Ali Imron/3: 97).
Kriteria
ini oleh para ulama diterjemahkan sebagai kemampuan untuk mendapatkan
perbekalan, sarana transportasi, sehat jasmani-rohani, serta aman dalam
perjalanan. Pada masa lalu muslim Indonesia yang ingin melaksanakan ibadah
haji memang menghadapi tantangan yang berat. Konon, untuk bisa menginjakkan
kaki di Mekkah dibutuhkan waktu dua hingga enam bulan dengan kapal layar
sehingga mengharuskan pelakunya untuk punya bekal yang lebih dari cukup.
Tidak
kalah pentingnya, sekembali dari haji, mereka biasanya menjadi pelopor untuk
memajukan aspek keagamaan-sosial di kampung halamannya. Tata cara dan efek
haji yang memadukan banyak aspek itu membuat masyarakat memberikan
penghormatan tersendiri bagi mereka yang telah menunaikannya. Sebutan “haji”
dan “hajah” dengan segala variannya memang memiliki konotasi strata sosial
lebih tinggi dibandingkan sekadar menyebut “pak” atau nama saja.
Perlakuan
berbeda terhadap mereka juga berlaku dalam berbagai struktur kehidupan
sosial: pergaulan sehari-hari, undangan, transaksi jual beli, pengantar
pengantin, dan lainlain. Tak urung, ibadah haji menjadi peristiwa keagamaan
yang memiliki dampak yang bermuatan sosial yaitu ketinggian status sosial. Awalnya
ibadah haji yang dilakukan seseorang memang dapat meningkatkan status
sosialnya secara alamiah atau lebih tepatnya sebagai efek samping saja.
Penghargaan masyarakat ini terkait ketidakmudahan untuk mencapai Mekkah serta
peran progresivitasnya sebagai tokoh panutan setelah kembali ke Tanah Air.
Perlakuan
terhadap jamaah haji, dalam beberapa kasus, memang bisa mendorong pembiasan
motivasi berhaji. Dalam penelitian Musyarrofah (2010), dengan mengambil
sampel di Bangkalan, Jawa Timur, ternyata ada sebagian masyarakat yang
menunaikan haji karena dilandasi pengharapan untuk memperoleh efek-efek
sosial dalam kehidupannya. Meski bukan satu-satunya, tidak sedikit masyarakat
yang sebelumnya hanya memiliki niat tipis untuk berhaji lantas mengeras
karena faktor migrasi status sosial ini. Motivasi sosial memang bukan sesuatu
yang baru dalam sejarah perjalanan umat Islam Indonesia.
DalamcatatanMitsuo
Nakamura (1977), akhir abad ke-19, haji merupakan cara termudah bagi kalangan
kelas menengah urban pribumi untuk naik kelas. Gelar haji di depan nama
setelah kembali ke Tanah Air merupakan cara untuk memperoleh persamaan dengan
aristokrat Jawa dan priyayi. Dua kelas yang selain menikmati banyak
keistimewaan dari pemerintah kolonial Belanda juga mendapat penghormatan dan
perlakuan yang lebih anggun dari masyarakat pribumi.
Ditambah
lagi dengan berbagai mitologi di seputar ibadah ini, semakin kuatlah animo
umat Islam Indonesia untuk berlomba-lomba melaksanakannya. Meski tidak ada
sumber teksnya yang otentik dari Alquran maupun Hadits, berbagai tempat di
Mekkah banyak diyakini umat Islam Indonesia sebagai pintu untuk melihat dunia
pascakehidupan (akhirat), entah itu sakralitas Kakbah, Multazam, Hajar Aswad,
Padang Arafah, tugu tempat melempar Jumrah, Jabal Rahmat, serta tempattempat
lain yang dilintasi dalam haji.
Bias
sosial niatan haji ini juga bisa terjadi dengan kebanyakan tradisi prosesi
“pemberangkatan” hingga “kepulangan” yang luar biasa. Dalam beberapa kasus,
tidak jarang biaya yang dikeluarkan untuk menggelar acara sampingan ini
melebihi ongkos naik haji. Jika seseorang telah mendapat sedikit kepastian
berangkat, biasanya langsung mengadakan tasyakuran dengan mengundang tetangga
dan seluruh kerabat famili. Ketika berangkat, mereka juga diantar oleh
tetangga dan kerabatnya secara berbondong-bondong dengan mobil, sepeda motor,
dan berbagai atribut kemeriahan lain.
Upacara
ini ternyata tidak hanya berhenti sampai ketika jamaah sudah berangkat.
Ketika ditinggal sang empu, di rumahnya diadakan pembacaan ayat-ayat suci
Alquran secara sukarela tiap hari dengan jamuan yang ditanggung oleh tuan
rumah. Setelah jamaah pulang ke Tanah Air pun diadakan acara penjemputan jauh
yang lebih meriah dibandingkan pemberangkatan. Ketika sampai rumah,
masyarakat berbondong-bondong mengunjungi untuk meminta doa darinya sebelum
akhirnya ditutup dengan tasyakuran lebih besar dibandingkan saat
pemberangkatan.
Ragam
janji sosial sepertinya turut menggoda sebagian umat Islam untuk sesegera
mungkin berangkat ke Mekkah. Kemudian lahirlah lingkaran setan: haji yang
membawa peningkatan status sosial dan berhaji untuk meningkatkan status
sosial. Ironisnya, bagi beberapa orang, berkunjung ke Mekkah ternyata juga
dijadikan bungkus atas ketidakberesan moralitas. Sudah tak terhitung lagi
berapa elite yang terlibat dalam skandal selalu berlindung di Kakbah yang
lagi-lagi dibungkus dengan alasan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Perlu
ada perenungan terhadap motivasi atau niat berhaji sehingga ia membedakannya
dengan wisatawan yang berlibur ke Tanah Suci di bulan haji. Meluruskan niat
merupakan hal utama yang harus dilakukan para jamaah haji untuk mencapai
status mabrur. Lazimnya sebuah ibadah kepada Tuhan, selain mengetahui dan
menguasai tata caranya, masalah niat juga memang harus menjadi perhatian
utama. Haji itu harus diniati semata-mata karena Allah, tidak boleh ada
sedikit pun niat dan kepentingan selain karena-Nya.
Sebagaimana
yang pernah diungkap Nabi Muhammad SAW, prasyarat diterima atau tidak suatu
amal bergantung pada niatnya. Jika sedari awal niatnya sudah salah, bukan tidak
mungkin seluruh aktivitas haji yang dikerjakannya tidak akan mendapatkan
apa-apa selain kelelahan. Haji harus diniatkan secara tulus dari lubuk hati
yang paling dalam (azam) untuk
menyempurnakan keimanan, bukan gengsi atau alasan ini dan itu. Allahu aAllahu alam bi al-Shawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar