Kamis, 11 September 2014

Kepemimpinan Mesianik

Kepemimpinan Mesianik

Tata Mustasya  ;   Peneliti Senior Pol-Tracking Institute;
Anggota Tim Perumus Visi Indonesia 2033
KOMPAS, 09 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

AKHIR Oktober 2004—tak lama setelah Susilo Bambang Yudhoyono dilantik menjadi presiden—saya menulis artikel berjudul ”SBY, Mesianisme, dan Limitasi Perekonomian” di harian Kompas. Saat itu, saya menjelaskan mengenai berlebihannya ekspektasi publik terhadap Yudhoyono. Fenomena yang lazim disebut mesianisme —melihat pemimpin sebagai juru selamat—ini akan mengakibatkan kekecewaan publik karena realitas berlainan dengan harapan.
Bagaimana dengan Joko Widodo yang telah diputuskan Komisi Pemilihan Umum dan diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi memenangi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014?

Pemimpin mesianik

Secara anekdotal, pemimpin mesianik dalam sistem demokratis memiliki beberapa karakteristik. Pertama, dari sisi pemilih, tampak irasionalitas dalam bentuk harapan berlebihan. Hal ini bahkan terjadi pada pemilih di Amerika Serikat yang berpendidikan lebih tinggi. Keikutsertaan pertama Barack Obama di pilpres pada tahun 2008 mengundang antusiasme tinggi dari konstituennya, karena mereka berharap ”diselamatkan” dari stagnasi ekonomi.

Harapan berlebihan terhadap pemimpin mesianik menyangkut dua hal: komitmen dan kompetensi. Jokowi memang telah membuktikan diri sebagai pemimpin yang merakyat dan terbuka pada tingkat kota dan provinsi. Akan tetapi, kita juga harus melihat Jokowi secara obyektif sebagai ”manusia politik”. Dalam menjalankan pemerintahan sebagai presiden, Jokowi harus bernegosiasi terus- menerus dengan kekuatan politik pendukung.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Kebangkitan Bangsa—di antara partai politik (parpol) pendukung Jokowi—merupakan parpol lama yang termasuk dalam kartel politik (Ambardi, 2009). Penting dicatat bahwa kontestasi dan trade-off kepentingan publik dengan kekuatan elite pendukung semakin menguat seiring dengan lebih tingginya jabatan yang dipegang.

Publik juga mesti obyektif dalam menaruh harapan terhadap kompetensi Jokowi secara manajerial dan teknokratis. Banyak persoalan yang tak berada dalam ”ruang hampa” sehingga tak sepenuhnya dapat dikendalikan pemerintah. Perluasan lapangan kerja dan pembangunan pedesaan, misalnya, banyak ditentukan faktor lain, seperti kewirausahaan sebagai penentu kemajuan perekonomian seperti disampaikan Joseph Schumpeter dan kondisi perekonomian internasional.

Dari pengalaman sebagai Gubernur DKI Jakarta selama dua tahun, Jokowi gagal mengatasi kemacetan dan persoalan transportasi publik yang penyelesaiannya memerlukan partisipasi sektor swasta dan masyarakat, tetapi berhasil dalam program bantuan sosial yang sepenuhnya dilaksanakan pemerintah, seperti Kartu Jakarta Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP).

Karakteristik kedua pemimpin mesianik adalah dia biasanya diposisikan sebagai antitesis pemimpin sebelumnya. Presiden Abdurrahman Wahid yang juga memiliki karakter pemimpin mesianik dilihat sebagai antitesis Orde Baru yang otoriter dan korup. Yudhoyono yang memiliki citra militer-intelektual dipercaya jauh lebih baik daripada Megawati Soekarnoputri dalam visi dan manajemen pemerintahan.

Persepsi terhadap Jokowi, dia jauh lebih mampu menyelesaikan masalah secara konkret ketimbang Yudhoyono. Hal ini akan menjadi persoalan, terutama, ketika Jokowi hendak mengatasi beragam persoalan ekonomi yang ditentukan banyak hal, terutama pasar. Dengan kekuatan politik tak lebih baik daripada Yudhoyono, Jokowi akan sulit ”mengarahkan” pasar. Alih-alih melakukan perbaikan menyeluruh dengan tahapan jelas, lebih mudah bagi Jokowi untuk menjalankan business as usualdengan menonjolkan keberpihakan simbolis semata, seperti renovasi pasar tradisional dan memperluas beragam program bantuan sosial.

Dilihat ”terpisah” dari sistem, terutama pada periode awal menjabat, merupakan karakteristik ketiga dari pemimpin mesianik. Kegagalan memperbaiki kebijakan lebih dianggap sebagai kesalahan pengambil kebijakan lain atau sistem yang rusak. Hal ini menguntungkan mereka karena pemimpin mesianik menjadi ”tak tersentuh”. Yudhoyono, misalnya, secara konsisten memiliki popularitas jauh di atas Partai Demokrat, Jusuf Kalla, dan Boediono.

Karakteristik terakhir adalah pemimpin mesianik akan mengalami penurunan popularitas seiring perjalanan waktu karena publik akhirnya merasa kecewa. Kecepatan dan besaran penurunan popularitas akan berbeda tergantung dari kemampuan mengelola harapan publik, terutama berkaitan dengan persoalan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.

Kepemimpinan Jokowi

Agar tak terjebak mesianisme, kita harus realistis menaruh harapan kepada Jokowi. Pertama, fragmentasi kekuatan politik di mana terdapat beberapa parpol yang memperoleh tujuh sampai dengan 20 persen suara dan tak adanya parpol yang dominan. Kemungkinan pertama, Jokowi akan kesulitan membuat kebijakan yang efektif.

Di tingkat nasional, dia harus terus bernegosiasi dengan beragam kepentingan di Dewan Perwakilan Rakyat. Pada saat bersamaan Jokowi memerlukan dukungan dari kepala daerah yang juga merupakan ”manusia politik”. Kemungkinan kedua, dia akan berdamai dengan kartel politik dengan menyediakan konsesi ekonomi-politik.

Kedua, Jokowi akan menghadapi godaan untuk terlalu fokus kepada quick wins berupa kebijakan jangka pendek yang menyenangkan publik, seperti program bantuan sosial. Persoalan jangka menengah dan panjang, seperti pengembangan energi terbarukan, produksi pangan lokal, pembangunan desa, serta pusat-pusat pertumbuhan baru di Indonesia, terlampau mewah untuk diurus dalam kontestasi politik yang ketat saat ini. Hal serupa praktis dialami semua presiden pasca reformasi.

Bagaimanapun, kita tentu sangat berharap Jokowi dapat menunjukkan capaian lebih baik dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya dalam memenuhi harapan publik. Pembuktian pertama adalah kemampuan dalam membentuk kabinet kerja yang sepenuhnya dia kendalikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar