Kepemimpinan Mesianik
Tata Mustasya ;
Peneliti
Senior Pol-Tracking Institute;
Anggota Tim Perumus Visi Indonesia 2033
|
KOMPAS,
09 September 2014
AKHIR Oktober 2004—tak
lama setelah Susilo Bambang Yudhoyono dilantik menjadi presiden—saya menulis
artikel berjudul ”SBY, Mesianisme, dan Limitasi Perekonomian” di harian
Kompas. Saat itu, saya menjelaskan mengenai berlebihannya ekspektasi publik
terhadap Yudhoyono. Fenomena yang lazim disebut mesianisme —melihat pemimpin
sebagai juru selamat—ini akan mengakibatkan kekecewaan publik karena realitas
berlainan dengan harapan.
Bagaimana dengan Joko
Widodo yang telah diputuskan Komisi Pemilihan Umum dan diperkuat oleh putusan
Mahkamah Konstitusi memenangi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014?
Pemimpin mesianik
Secara anekdotal,
pemimpin mesianik dalam sistem demokratis memiliki beberapa karakteristik.
Pertama, dari sisi pemilih, tampak irasionalitas dalam bentuk harapan
berlebihan. Hal ini bahkan terjadi pada pemilih di Amerika Serikat yang
berpendidikan lebih tinggi. Keikutsertaan pertama Barack Obama di pilpres
pada tahun 2008 mengundang antusiasme tinggi dari konstituennya, karena
mereka berharap ”diselamatkan” dari stagnasi ekonomi.
Harapan berlebihan
terhadap pemimpin mesianik menyangkut dua hal: komitmen dan kompetensi.
Jokowi memang telah membuktikan diri sebagai pemimpin yang merakyat dan
terbuka pada tingkat kota dan provinsi. Akan tetapi, kita juga harus melihat
Jokowi secara obyektif sebagai ”manusia politik”. Dalam menjalankan
pemerintahan sebagai presiden, Jokowi harus bernegosiasi terus- menerus
dengan kekuatan politik pendukung.
Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan dan Partai Kebangkitan Bangsa—di antara partai politik
(parpol) pendukung Jokowi—merupakan parpol lama yang termasuk dalam kartel
politik (Ambardi, 2009). Penting dicatat bahwa kontestasi dan trade-off
kepentingan publik dengan kekuatan elite pendukung semakin menguat seiring
dengan lebih tingginya jabatan yang dipegang.
Publik juga mesti
obyektif dalam menaruh harapan terhadap kompetensi Jokowi secara manajerial
dan teknokratis. Banyak persoalan yang tak berada dalam ”ruang hampa”
sehingga tak sepenuhnya dapat dikendalikan pemerintah. Perluasan lapangan
kerja dan pembangunan pedesaan, misalnya, banyak ditentukan faktor lain,
seperti kewirausahaan sebagai penentu kemajuan perekonomian seperti
disampaikan Joseph Schumpeter dan kondisi perekonomian internasional.
Dari pengalaman
sebagai Gubernur DKI Jakarta selama dua tahun, Jokowi gagal mengatasi
kemacetan dan persoalan transportasi publik yang penyelesaiannya memerlukan
partisipasi sektor swasta dan masyarakat, tetapi berhasil dalam program
bantuan sosial yang sepenuhnya dilaksanakan pemerintah, seperti Kartu Jakarta
Sehat (KJS) dan Kartu Jakarta Pintar (KJP).
Karakteristik kedua
pemimpin mesianik adalah dia biasanya diposisikan sebagai antitesis pemimpin
sebelumnya. Presiden Abdurrahman Wahid yang juga memiliki karakter pemimpin
mesianik dilihat sebagai antitesis Orde Baru yang otoriter dan korup.
Yudhoyono yang memiliki citra militer-intelektual dipercaya jauh lebih baik
daripada Megawati Soekarnoputri dalam visi dan manajemen pemerintahan.
Persepsi terhadap
Jokowi, dia jauh lebih mampu menyelesaikan masalah secara konkret ketimbang
Yudhoyono. Hal ini akan menjadi persoalan, terutama, ketika Jokowi hendak
mengatasi beragam persoalan ekonomi yang ditentukan banyak hal, terutama
pasar. Dengan kekuatan politik tak lebih baik daripada Yudhoyono, Jokowi akan
sulit ”mengarahkan” pasar. Alih-alih melakukan perbaikan menyeluruh dengan
tahapan jelas, lebih mudah bagi Jokowi untuk menjalankan business as
usualdengan menonjolkan keberpihakan simbolis semata, seperti renovasi pasar
tradisional dan memperluas beragam program bantuan sosial.
Dilihat ”terpisah”
dari sistem, terutama pada periode awal menjabat, merupakan karakteristik
ketiga dari pemimpin mesianik. Kegagalan memperbaiki kebijakan lebih dianggap
sebagai kesalahan pengambil kebijakan lain atau sistem yang rusak. Hal ini
menguntungkan mereka karena pemimpin mesianik menjadi ”tak tersentuh”.
Yudhoyono, misalnya, secara konsisten memiliki popularitas jauh di atas
Partai Demokrat, Jusuf Kalla, dan Boediono.
Karakteristik terakhir
adalah pemimpin mesianik akan mengalami penurunan popularitas seiring
perjalanan waktu karena publik akhirnya merasa kecewa. Kecepatan dan besaran
penurunan popularitas akan berbeda tergantung dari kemampuan mengelola
harapan publik, terutama berkaitan dengan persoalan ekonomi, pendidikan, dan
kesehatan.
Kepemimpinan Jokowi
Agar tak terjebak
mesianisme, kita harus realistis menaruh harapan kepada Jokowi. Pertama,
fragmentasi kekuatan politik di mana terdapat beberapa parpol yang memperoleh
tujuh sampai dengan 20 persen suara dan tak adanya parpol yang dominan.
Kemungkinan pertama, Jokowi akan kesulitan membuat kebijakan yang efektif.
Di tingkat nasional,
dia harus terus bernegosiasi dengan beragam kepentingan di Dewan Perwakilan
Rakyat. Pada saat bersamaan Jokowi memerlukan dukungan dari kepala daerah
yang juga merupakan ”manusia politik”. Kemungkinan kedua, dia akan berdamai
dengan kartel politik dengan menyediakan konsesi ekonomi-politik.
Kedua, Jokowi akan
menghadapi godaan untuk terlalu fokus kepada quick wins berupa kebijakan
jangka pendek yang menyenangkan publik, seperti program bantuan sosial.
Persoalan jangka menengah dan panjang, seperti pengembangan energi
terbarukan, produksi pangan lokal, pembangunan desa, serta pusat-pusat
pertumbuhan baru di Indonesia, terlampau mewah untuk diurus dalam kontestasi
politik yang ketat saat ini. Hal serupa praktis dialami semua presiden pasca
reformasi.
Bagaimanapun, kita
tentu sangat berharap Jokowi dapat menunjukkan capaian lebih baik
dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya dalam memenuhi harapan
publik. Pembuktian pertama adalah kemampuan dalam membentuk kabinet kerja
yang sepenuhnya dia kendalikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar