Bernegara
dengan Nurani
Anonim ;
Seorang
Pengawas Guru SD Bekasi.
|
KORAN
JAKARTA, 19 September 2014
Hiruk-pikuk
perpolitikan nasional sepertinya tiada akhir. Setelah pemilihan presiden
berlangsung aman dan damai, kini panggungnya pindah ke Senayan di mana
parlemen tengah merekayasa ketentuan hukum agar kelompok tertentu
diuntungkan.
Saya
bukan politikus juga bukan pengamat. Saya hanya seorang pengawas guru-guru
sekolah dasar, yang tidak memiliki kepentingan politik tertentu. Namun
melihat, mendengar, dan mencermati langkah-langkah sejumlah fraksi di parlemen
rasanya sebagai seorang guru saya perlu urun rembug.
Sebagaimana
banyak diberitakan, fraksi di DPR yang terkelompok dalam Koalisi Merah Putih
(KMP) terdiri dari Golkar, PPP, Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS coba
menggalang kekuatan untuk mengembalikan pilkada gubernur, bupati, dan wali
kota ke tangan DPRD. KMP akan banyak menguasai daerah karena di banyak daerah
mereka dominan.
Sebagai
pendidik yang biasa dan berkewajiban menanamkan nilai-nilai luhur kepada
siswa, saya hanya mau mengingatkan kepada para wakil rakyat agar melandaskan
diri pada politik yang bermartabat, bernurani, dan berdasarkan kepedulian
pada masyarakat. Sebab kalau awalnya sudah tidak baik, buahnya juga akan
buruk. Karena itu, sekali lagi sebagai rakyat biasa saya perlu menegaskan
bahwa politik bernegara pun harus mendengarkan suara hati, nurani. Bernegara
tidak boleh melanggar nilai-nilai yang disuarakan hati nurani.
Kalau
tujuan mengembalikan pilkada ke DPRD hanya sebagai balas-membalas kekalahan
dalam pilpres jelas itu keliru. Andai gerakan itu pada awalnya hanya didasari
sebagai sebuah cara untuk mencapai tujuan yang tidak baik, itu sama sekali
bertentangan dengan suara hati. Maka sekarang setiap anggota parlemen harus
merenungkan, apakah benar langkah yang diambil berdasarkan ketukan suara
hatinya?
Masih
ada waktu untuk merenung, sebelum RUU tersebut diparipurnakan pada 25
September nanti. Carilah waktu, dalam suasana hening, lepaskan hirukpikuk
keseharian sehingga bisa benarbenar mendengarkan suara hati. Jangan
berpolitik didasari emosi, apalagi bertujuan kejahatan itu jelas tidak pada
tempatnya. Semua anggota parlemen adalah kaum beragama, gunakanlah pendekatan
religius untuk memutuskan ketentuan hukum yang berkaitan dengan hajat hidup
orang banyak ini.
Langkah-langkah
religius tidak hanya dilaksanakan di dalam tempat-tempat ibadat atau ketika
bersembahyang, akan tetapi juga dan harus ketika bersentuhan dengan tugas.
Sebab agama yang hanya dipraktikkan di mesjid, gereja, atau wihara, itu
hanyalah lamis. Agama juga harus dipraktikkan justru di dalam kehidupan nyata
termasuk berkaitan dengan tugas-tugas. Melampaui Memang banyak yang berkata
politik itu kotor. Kesimpulan ini karena “boleh” menjalankan apa saja
termasuk praktik-praktik jahat, tidak bermoral, dan tak bernurani di dalam
politik.
Namun,
bagi bangsa Indonesia yang sering mengeklaim sebagai warga yang religius, hal
itu tidak boleh terjadi. Bagi bangsa (yang sering mengaku) religius politik
tidak boleh kotor, tidak bermoral, dan tidak bernurani. Sebaliknya, bagi kaum
religius, berpolitik sebagai bagian hidup harus bersih, bermoral, dan
bernurani. Jangan berani mengaku kaum beragama andai masih menjalankan
politik kotor, tidak bermoral, dan tidak bernurani. Dengan kata lain, Anda
baru boleh mengklaim sebagai kaum beragama andai mampu menja lankan praktik
politik secara bersih, bermoral, dan bernurani.
Politisi
harus mampu menjalankan hidup bernegara secara bertanggung jawab tidak kepada
ketua partai atau koalisi, tetapi kepada Tuhan sendiri. Jadi segala
tindakannya harus melampaui orang-orang biasa yang tidak paham politik. Kaum
politisi harus melampaui keuntungan-keuntungan pribadi, kelompok, partai atau
koalisi dalam menjalankan tugas sebagai wakil rakyat. Untuk sampai pada
pribadi yang mampu bertindak melampaui keuntungan- keuntungan pribadi,
kelompok, partai, atau koalisi dalam menjalankan tugas sebagai politisi jelas
bukan pekerjaan mudah karena diperlukan permenungan yang dalam, bahkan amat
dalam.
Pribadi
yang demikian adalah orang yang menjauhkan diri segala praktik politik hanya
demi keuntungan sendiri. Bahkan, dia sudah tidak menuju kepentingan diri
dalam bekerja. Orientasi kerja adalah demi orang lain yaitu rakyat. Inilah
pribadi yang altruis sejati, di mana seluruh karya dan hidupnya hanya untuk
kepentingan orang lain. Inilah pribadi yang merupakan buah dari sebuah
praktik hidup beragama yang baik dan benar. Pertanyaannya sekarang, adakah orang
seperti itu? Melihat praktik politik anggota dewan selama ini yang dipenuhi
tujuan-tujuan kepentingan diri sendiri, rasanya sulit menemukan pribadi yang
altruis sejati.
Namun
begitu, kalau mereka mau, masih bisa, setidaknya terkait dengan RUU Pilkada
tersebut. Jadi mereka masih bisa bekerja dengan mengutamakan kepentingan
rakyat, mendengarkan suara masyarakat, dan terutama memperhatikan ketukan
suara hati. Memang tidak mudah untuk mampu mendengarkan suara hati kalau
sudah terbiasa tertutup tindakan-tindakan merugikan rakyat seperti korupsi.
Untuk itu perlu dilatik.
Mendengarkan
suara hati juga harus dilatik, bahkan harus dilatih secara keras, tanpa usaha
sungguh-sungguh manusia tidak mungkin mampu mendengarkan nuraninya. Kini
tinggal malu atau mau yang menjadi pilihan hidupnya. Kalau malu mendengarkan
suara hati, ya jadinya hanya seperti sekarangsekarang ini: bernegara hanya
demi keuntungan pribadi, kelompok, partai, atau koalisi yang sifatnya sesaat.
Mereka
tertutup untuk rakyat. Sebaliknya, andai mereka mau mendengarkan suara hati
yang menjadi pilihannya, masih ada waktu untuk belajar mendengarkan dan mau
mendengarkan nurani. Inilah tantangan yang harus dijawab anggota parlemen.
Apa pun jawabannya akan menentukan siapa dia. Pilihan pada “malu” jelas
menggambarkan pribadi tidak altruis. Pilihan “mau” jelas bisa mengarah kepada
individu yang hidup altruistik. Tidak mudah memang mengingatkan orang yang
sudah begitu terbiasa tidak mementingkan rakyat.
Jelas
sulit menegur wakil yang telanjur biasa bekerja dengan orientasi
keuntungankeuntungan pribadi. Kalau akhirnya mayoritas anggota dewan memilih
“malu” sehingga mengetok keputusan mengembalikan pilkada ke DPRD dan
melupakan rakyat, sebagai rakyat yang tak berkuasa kita hanya bisa berdoa
dari jauh agar Tuhan mengampuni apa yang mereka putuskan karena sesungguhnya
mereka tidak mengetahui apa yang mereka lakukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar