Sabtu
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 06 September 2014
Hari
Sabtu? Tentu saja saya mengenal. Saya pernah bersamanya lebih dari 3.000
kali. Dan saya tahu dari berbagai cerita tentangnya. Bahkan, dia ini termasuk
dipersiapkan keberadaannya sejak sehari sebelumnya. Ingat lagu dan juga film
Thank God It’s Friday di akhir tahun 1978. Film dan lirik tentang anak-anak
muda yang mendapatkan kebebasan dari kerja berat, atau belajar, pergi ke
disko. Jumat malam menjadi istimewa, juga sebagai “persiapan” menyambut
Sabtu. Yang memang sudah melegenda sebelumnya.
Namanya
banyak dikaitkan dengan judul serial yang masih bergema sampai sekarang ini
di negeri asalnya sana, Saturday Night Live, atau juga dalam film Saturday
Night Fever. Yang ini melambungkan nama John Travolta, yang memerankan tokoh
Tony Moreno. Sedemikian bekennya, sehingga gaya jambulnya – juga pakaian
kembali ke era ’70-an, mewabah kembali. Termasuk grup band Bee Gees yang
seakan hidup lagi. (Sekarang diingat karena Presiden Yudhoyono menyukai dan
menyanyikan salah satu lagunya Don’t Forget to Remember ).
Dalam
banyak hal, Sabtu memang diistimewakan. Dialah satu-satunya yang bisa
bergandengan mesra dengan Minggu. Bahkan, ungkapan Sabtu sebagai malam Minggu
menunjukkan keakrabannya. Sekaligus menandai ada suasana santai, libur,
menyenangkan, riang ria. Sabtu disukai karena suasana santai, yang menyertai.
Sedemikian difavoritkan sehingga hari-hari pertunangan, pernikahan, biasanya
memilih hari Sabtu–atau Minggu. Bahkan, kalaupun ulang tahun jatuh di hari
lain, kalau diundur jatuhnya juga ke hari Sabtu.
Pada
beberapa tempat rekreasi, atau tempat kebugaran, atau hotel, atau rumah
makan, ada jadual khusus untuk hari Sabtu. Juga tarif yang berlaku. Dan
kadang keistimewaan ditandai dengan harga yang lebih tinggi. Contoh yang
sederhana, semisal tempat penyewaan ban untuk berenang di pinggir pantai.
Pantainya sama, ban juga sama, tarif sewanya bisa berbeda pada hari Sabtu.
Padahal, justru di hari itu lebih berebutan.
Mungkin
yang tidak menyukai Sabtu hanya para jomblo. Ini hanya asumsi saja karena
Sabtu, terutama malam, paling tak enak kalau dilakoni sendirian. Bukan karena
apa, melainkan karena dianggap tabu, dianggap pamali, dianggap tidak normal
kalau lajang tetap membujang di hari Sabtu.
Dan
sesungguhnya, lebih dari semua itu, Sabtu mudah dikombinasikan dengan yang
lain. Dan kelihatannya cocok, sesuai dengan sendirinya. Misalnya
dikombinasikan dengan sinar bulan, woaow jadi romantis. Bahkan kalau
dibarengi hujan pun tak menjadi penghalang dalam arti sebenarnya. Tanggal
muda atau tanggal tua tak menghalangi keinginan untuk menikmati hari Sabtu.
Yang secara natural usianya menjadi lebih panjang dibandingkan hari-hari yang
lain. Sabtu malam biasa disebut “malam yang panjang” karena setelah lewat jam
00.00 pun masuk layak diucapkan Sabtu malam.
Maka
kalau anak-anak sekolah di Jakarta menolak masuk sekolah di hari Sabtu, bisa
dibenarkan. Belajar di kelas pada hari Sabtu pastilah tidak nyaman. Dibandingkan
misalnya saja berada di mal, melihati pakaian baru, atau di salon memanjakan
kuku atau ujung alis. Atau bahkan minum teh, atau kopi, atau jus, lebih pas
di hari Sabtu, apalagi beramai-ramai. Enak gitu ngobrolnya. Bandingkan dengan
hari Senin misalnya. Satu hal lagi, kalau misalnya kita berada di dalam
kemacetan pun bisa dimaklumi kalau terjadi hari Sabtu.”Ya ini kan Sabtu….”
Apa
boleh buat. Memang dari sononya Sabtu memiliki privilese khusus, mempunyai
DNA yang disukai. Maka kalau hari Sabtu kalian masih marah-marah, menyalahkan
ini itu, mungkin ada yang salah padamu. Nikmati saja, sebisanya, dan nanti
awet muda. Saya juga sudah lama kompromi dengan Sabtu, termasuk menyukainya,
karena di hari inilah rubrik ini dijenakkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar