Senin, 08 September 2014

Sabtu

Sabtu

Arswendo Atmowiloto  ;   Budayawan
KORAN JAKARTA, 06 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Hari Sabtu? Tentu saja saya mengenal. Saya pernah bersamanya lebih dari 3.000 kali. Dan saya tahu dari berbagai cerita tentangnya. Bahkan, dia ini termasuk dipersiapkan keberadaannya sejak sehari sebelumnya. Ingat lagu dan juga film Thank God It’s Friday di akhir tahun 1978. Film dan lirik tentang anak-anak muda yang mendapatkan kebebasan dari kerja berat, atau belajar, pergi ke disko. Jumat malam menjadi istimewa, juga sebagai “persiapan” menyambut Sabtu. Yang memang sudah melegenda sebelumnya.

Namanya banyak dikaitkan dengan judul serial yang masih bergema sampai sekarang ini di negeri asalnya sana, Saturday Night Live, atau juga dalam film Saturday Night Fever. Yang ini melambungkan nama John Travolta, yang memerankan tokoh Tony Moreno. Sedemikian bekennya, sehingga gaya jambulnya – juga pakaian kembali ke era ’70-an, mewabah kembali. Termasuk grup band Bee Gees yang seakan hidup lagi. (Sekarang diingat karena Presiden Yudhoyono menyukai dan menyanyikan salah satu lagunya Don’t Forget to Remember ).

Dalam banyak hal, Sabtu memang diistimewakan. Dialah satu-satunya yang bisa bergandengan mesra dengan Minggu. Bahkan, ungkapan Sabtu sebagai malam Minggu menunjukkan keakrabannya. Sekaligus menandai ada suasana santai, libur, menyenangkan, riang ria. Sabtu disukai karena suasana santai, yang menyertai. Sedemikian difavoritkan sehingga hari-hari pertunangan, pernikahan, biasanya memilih hari Sabtu–atau Minggu. Bahkan, kalaupun ulang tahun jatuh di hari lain, kalau diundur jatuhnya juga ke hari Sabtu.

Pada beberapa tempat rekreasi, atau tempat kebugaran, atau hotel, atau rumah makan, ada jadual khusus untuk hari Sabtu. Juga tarif yang berlaku. Dan kadang keistimewaan ditandai dengan harga yang lebih tinggi. Contoh yang sederhana, semisal tempat penyewaan ban untuk berenang di pinggir pantai. Pantainya sama, ban juga sama, tarif sewanya bisa berbeda pada hari Sabtu. Padahal, justru di hari itu lebih berebutan.

Mungkin yang tidak menyukai Sabtu hanya para jomblo. Ini hanya asumsi saja karena Sabtu, terutama malam, paling tak enak kalau dilakoni sendirian. Bukan karena apa, melainkan karena dianggap tabu, dianggap pamali, dianggap tidak normal kalau lajang tetap membujang di hari Sabtu.

Dan sesungguhnya, lebih dari semua itu, Sabtu mudah dikombinasikan dengan yang lain. Dan kelihatannya cocok, sesuai dengan sendirinya. Misalnya dikombinasikan dengan sinar bulan, woaow jadi romantis. Bahkan kalau dibarengi hujan pun tak menjadi penghalang dalam arti sebenarnya. Tanggal muda atau tanggal tua tak menghalangi keinginan untuk menikmati hari Sabtu. Yang secara natural usianya menjadi lebih panjang dibandingkan hari-hari yang lain. Sabtu malam biasa disebut “malam yang panjang” karena setelah lewat jam 00.00 pun masuk layak diucapkan Sabtu malam.

Maka kalau anak-anak sekolah di Jakarta menolak masuk sekolah di hari Sabtu, bisa dibenarkan. Belajar di kelas pada hari Sabtu pastilah tidak nyaman. Dibandingkan misalnya saja berada di mal, melihati pakaian baru, atau di salon memanjakan kuku atau ujung alis. Atau bahkan minum teh, atau kopi, atau jus, lebih pas di hari Sabtu, apalagi beramai-ramai. Enak gitu ngobrolnya. Bandingkan dengan hari Senin misalnya. Satu hal lagi, kalau misalnya kita berada di dalam kemacetan pun bisa dimaklumi kalau terjadi hari Sabtu.”Ya ini kan Sabtu….”

Apa boleh buat. Memang dari sononya Sabtu memiliki privilese khusus, mempunyai DNA yang disukai. Maka kalau hari Sabtu kalian masih marah-marah, menyalahkan ini itu, mungkin ada yang salah padamu. Nikmati saja, sebisanya, dan nanti awet muda. Saya juga sudah lama kompromi dengan Sabtu, termasuk menyukainya, karena di hari inilah rubrik ini dijenakkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar