Kamis, 18 September 2014

Budaya dalam Tafsir Kuasa

Budaya dalam Tafsir Kuasa

Indra Tranggono  ;   Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
KOMPAS, 18 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SALING menghidupi antara manusia dan kebudayaan sudah berlangsung sejak manusia menggunakan akal budinya dalam menjawab persoalan kehidupan.
Ketika negara hadir dan mengatur  kehidupan  warga, kebudayaan turut diambil alih. Negara pun memiliki tafsir sendiri atas kebudayaan.

Rezim Soekarno mengartikan kebudayaan sebagai wahana pembentukan karakter bangsa. Makna itu diseret dalam kepentingan politik: revolusi.

Soekarno punya cita-cita mulia: menghadirkan Indonesia sebagai negara besar dan kuat dengan tiga pilar utama: kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian dalam kebudayaan (Trisakti). Soekarno relatif berhasil membangun kedaulatan politik. Indonesia tidak didikte kekuatan asing. Sayangnya, belum semua konsep itu terwujud, pemerintahan Soekarno dihentikan di tengah jalan.

Rezim Soeharto hadir. Ia membuka jalan bagi kapitalisme. Baskara T Wardaya (2009) menyebut, rezim Soeharto menggeser paradigma rezim Soekarno yang populis menjadi elitis, anti modal asing menjadi pro modal asing, dan kehidupan berlanggam sipil menjadi militeristik.

Kebudayaan pun ditafsirkan secara berbeda. Ia tak lebih dari peranti untuk melegitimasi dan mengukuhkan kekuasaan Orde Baru. Seluruh potensi kebudayaan dijadikan amunisi menyukseskan program pembangunan.

Maka kebudayaan ditaklukkan dan dieksploitasi untuk membangun kepatuhan kolektif. Ketika orang atau kelompok berani menafsir kebudayaan secara lain, mereka dianggap melakukan kejahatan subversif. ”Digebuk” adalah ganjaran para pembangkang.

Menunggu revolusi mental

Pasca rezim Orde Baru, kebudayaan relatif bukan isu dominan. Rezim-rezim yang berkuasa tidak terlalu menghitung peran kebudayaan. Mereka lebih berkepentingan memperkuat pasar bebas. Dalam konteks ini, kebudayaan dihadirkan sebagai komoditas seperti barang konsumsi atau jasa kreatif. Kebudayaan disikapi sebagai bagian dari aset bangsa yang dituntut harus memberikan keuntungan finansial kepada negara. Industrialisme kultural pun hadir dengan wajah pariwisata. Kebudayaan direduksi jadi eksotisme.

Mau apa Jokowi-JK dengan kebudayaan? Mereka sangat bersemangat mengangkat isu Trisakti gagasan Bung Karno selama kampanye. Setelah memerintah, apakah Trisakti akan dijalankan secara konsisten?

Kita berharap ada bacaan yang visioner atas Trisakti, terutama pada konteks ”berkepribadian dalam kebudayaan” yang dikaitkan dengan ”revolusi mental”; dua frase yang bersenyawa.

Revolusi mental adalah perubahan mendasar atas mind-set, pandangan hidup dan jiwa yang melahirkan kesadaran etik dan etos. Kesadaran etik membawa bangsa pada perilaku yang memuliakan nilai, norma, moral dan hukum. Adapun kesadaran etos membawa bangsa pada semangat kerja keras untuk melahirkan berbagai kreativitas budaya, baik budaya ide (ilmu, pengetahuan), budaya ekspresi (seni dan non seni), maupun budaya material.

Dalam konteks bangsa, revolusi mental harus mengubah mentalitas permisif (serba boleh, termasuk boleh korupsi), instan, dan  konsumtif menjadi mentalitas yang punya ikatan etik-moral, berintegritas, berkomitmen, punya kecakapan teknis,  menghormati proses dan kultur kerja, dan menjadi bangsa produktif. Dengan demikian, revolusi mental melahirkan bangsa berkarakter.

Karakter (jelmaan kesadaran etik dan etos) adalah idiom yang lekat dengan kepribadian; suatu capaian mental yang lahir dari pengolahan jiwa melalui proses pendidikan dan pengalaman berolah kebudayaan yang memberikan asupan nilai-nilai ideal.

Untuk mewujudkan revolusi mental menuju bangsa yang berkepribadian (berkarakter) dibutuhkan pelembagaan kebudayaan. Pelembagaan terkait dengan dua hal pokok, yakni: (1) pranata (politik kebudayaan, regulasi, dan politik anggaran); serta (2) organisasi  (administratif dan manajemen). Ini berarti dibutuhkan kementerian khusus yang berkonsentrasi di bidang kebudayaan, tanpa harus terjebak pada pembirokrasian kebudayaan yang berakibat munculnya hegemoni kebudayaan tertentu.

Visi misi

Kementerian khusus kebudayaan membutuhkan visi dan misi memperkuat serta memperkaya nilai-nilai kebinekaan kebudayaan, terutama dalam memberi ruang luas bagi budaya-budaya etnik untuk bernapas dan hadir memberi makna peradaban bangsa. Di sini diperlukan politik kebudayaan yang tak hanya melindungi, tetapi juga menjadikan nilai-nilai budaya etnik sebagai arus utama bagi penguatan karakter bangsa.

Konsekuensinya dibutuhkan regulasi dan politik anggaran yang memadai. Saatnya negara tidak lagi abai dan pelit kepada kebudayaan bangsa karena kebudayaan adalah cakrawala nilai dan mata air inspirasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar