Sejuta
Kapal Rakyat
Umar Hadi ;
Diplomat
RI
|
KOMPAS,
18 September 2014
PIET
Dimara, warga Pulau Owi, Kepulauan Padaido, Papua, perlu kapal untuk hidupnya
sehari-hari. Kadang kala dia harus mengantar keluarga atau tetangga yang
sakit ke puskesmas di Pulau Biak. Dari sekitar 200 keluarga di Pulau Owi,
hanya sekitar 20 keluarga yang punya kapal sendiri. Kapal itu sangat
sederhana, terbuat dari kayu, dengan mesin tempel 25 PK. Perjalanan ke kota
terdekat di ujung timur Pulau Biak dapat ditempuh dalam 30 menit. Itu pun
kalau laut sedang tenang. Kalau laut sedang bergolak, risikonya besar,
apalagi kapal tidak dilengkapi alat navigasi atau komunikasi.
Berapa jutakah rakyat
Indonesia yang butuh kapal, seperti Piet Dimara?
Kapal
dapat dilihat sebagai alat produksi yang melayani berbagai industri: tanker
melayani industri migas, kapal kargo untuk perdagangan, kapal pesiar, kapal
nelayan, dan seterusnya. Kapal-kapal itu membutuhkan pelabuhan-pelabuhan,
yang memerlukan kapal tunda, kapal keruk, dan kapal-kapal kerja lainnya.
Sungguh luar biasa besar potensi industri perkapalan Indonesia.
Kabar
baiknya, industri perkapalan nasional telah berkembang pesat dalam beberapa
tahun belakangan ini, terutama sejak pemberlakuan ”asas cabotage” pada tahun
2005. Jumlah kapal yang dimiliki perusahaan-perusahaan angkutan laut nasional
melonjak dua kali lipat, yaitu dari 6.041 unit (Maret 2005) menjadi 13.224
unit (Maret 2014).
Sekitar
250 galangan kapal di dalam negeri telah mendapat lebih banyak pekerjaan
untuk reparasi dan perawatan. Akan tetapi, mereka baru membuat hanya sekitar
10 persen dari pesanan kapal baru Indonesia. Lalu yang 90 persen lainnya?
Impor!
Di
dunia, pembuatan kapal baru sedang bergairah, didominasi oleh tiga negara:
Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan. Pada tahun 2013, dari 3.089 kapal besar
(di atas 100 GT) yang diproduksi dunia, 1.073 unit dibuat di Tiongkok, 540
unit di Jepang, dan 386 unit di Korea Selatan. Bahkan, diperkirakan akan
terjadi krisis kelebihan jumlah kapal dunia dalam waktu satu atau dua tahun
ke depan.
Berakar budaya tradisi
Indonesia
adalah pasar penjualan kapal yang luar biasa besar. Semakin berat tantangan
yang dihadapi galangan-galangan kapal dalam negeri. Sekarang saja sudah
sangat sulit bagi kapal produksi dalam negeri untuk bersaing dengan kapal
impor. Harganya saja sudah lebih mahal, antara lain karena kebijakan fiskal
yang lebih menguntungkan impor kapal utuh, baru, ataupun bekas. Untuk membuat
kapal di dalam negeri, sekitar 70 persen komponen masih harus diimpor.
Tantangan
besarnya adalah bagaimana menyeimbangkan antara keperluan untuk memenuhi
kebutuhan kapal nasional di satu sisi dan, di sisi lain, keperluan untuk
meningkatkan daya saing industri galangan kapal dalam negeri. Idealnya, dan
seharusnya, kedua sisi keperluan itu saling mendukung. Namun, realitasnya
masih dipenuhi tarik-menarik kepentingan sektoral di antara kita sendiri.
Industri
perkapalan bersifat global dan sangat kompetitif. Pasang surutnya sangat
bergantung pada pasang surut perekonomian dunia. Artinya, produk kapal yang
dibangun di dalam negeri harus berhadapan langsung dengan kompetitor dari
negara-negara lain. Kapal produk lokal harus berdaya saing global.
Oleh
karena itu, diperlukan kebijakan nasional yang terpadu di sektor perkapalan.
Mewujudkan poros maritim perlu didukung oleh kekuatan armada kapal kita.
Gagasan
poros maritim dan upaya membangun Indonesia sebagai negara dan kekuatan
maritim harus berakar pada budaya dan tradisi rakyat. Tengoklah contoh di
negeri-negeri maritim yang sudah lebih maju.
Di
Belanda, misalnya, umumnya sejak usia dini anak-anak sudah mulai belajar
berenang dan berlayar. Kapal adalah bagian integral dari kehidupan
sehari-hari rakyat hingga ke pelosok-pelosok pedesaan. Lalu lintas kapal di
sungai, danau, dan pesisir hampir sama ramainya dengan jalan raya. Pembuat
kapal (shipbuilder) adalah
pekerjaan yang membanggakan. Di beberapa kota, kehidupan warganya bertumpu
pada galangan kapal yang ada di kota itu.
Berjuta-juta
rakyat kita hidup di pulau-pulau kecil, wilayah pesisir, delta, pinggiran
danau, dan sepanjang sungai. Seperti Piet Dimara di Pulau Owi, mereka
mendambakan kapal yang terjangkau untuk dibeli dengan cicilan kredit ringan
dari bank, lebih aman dan nyaman, serta lebih andal. Kapal itu pun harus
lebih awet karena mudah dirawat, dengan suku cadang tersedia di mana-mana.
Kalau mobil dan sepeda motor bisa, kenapa kapal tidak bisa?
Ayo,
mari kita bangun sejuta kapal rakyat! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar