Ahok,
Kutu Loncat atau Kutu Kopret
|
KEPUTUSAN
Ahok –panggilan Wagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama– keluar dari Partai
Gerindra lantaran tidak setuju dengan RUU pilkada yang dimotori partainya
mendapat respons beragam. Sudah barang tentu dari pihak yang tidak setuju
dengan RUU itu, Ahok dianggap sebagai ”pahlawan” yang berani melawan arus
kebijakan partainya sendiri demi rakyat banyak. Di dunia maya, Ahok diberi
semangat ”lebih baik berkhianat kepada partai demi kepentingan rakyat banyak
ketimbang berkhianat kepada rakyat demi kepentingan partai”.
Respons
yang paling seru berasal dari orang kedua di Partai Gerindra, Fadli Zon. Tak
tanggung-tanggung, dia menyamakan Ahok dengan kutu loncat. Dan Ahok dengan
gentlemen mengatakan bahwa dirinya memang kutu loncat.
Ahok
merasa dirinya tidak tercemar atau dirugikan dengan labeling kutu loncat.
Sebab, memang faktanya Ahok beberapa kali pindah partai. Sebelum bergabung
dengan Gerindra, Ahok pernah berumah di Partai Golkar. Namun, bukan itu
alasan yang substantif. Alasan paling mendasar adalah Ahok yakin dengan suara
arus bawah yang masih menganggap bahwa pilihan langsung merupakan konsep
demokrasi yang didukung rakyat. Jadi, wajar saja Ahok ”berani” mengambil
sikap tersebut. Sebagai politikus, Ahok sudah punya kalkulasi untung ruginya.
Mengikuti arah angin berembus merupakan filosofi yang dianjurkan kepada
politisi.
Dalam
sistem multipartai seperti di Indonesia, taat buta (apa pun yang
diperintahkan partai harus diikuti) sama dengan mati konyol. Banyak partai
yang bisa menjadi alternatif tempat berlabuh ketika individu merasa bahwa
arah perjuangan partai sudah keluar dari cita-cita, bahkan ideologi partai.
Kepatuhan politikus bukan kepada partai, melainkan kepada rakyat. Ketika
partai sudah sedemikian mengalami kontaminasi moral (banyak kadernya yang
terlibat korupsi, mengajarkan balas dendam, bahkan menghukum rakyat yang
tidak memilihnya dengan membuat kegemparan yang tidak perlu), justru lebih
baik politikus keluar dari ”rumah”-nya. Sebab, bila tidak segera keluar, dia
akan menjadi korban pembusukan orientasi hingga menjadi insan politik yang
tidak berdaya lagi memperjuangkan kebenaran. Dalam konteks itulah kemudian
perilaku Ahok mendapat sanjungan dari banyak pihak.
Toh,
kenyataannya, sebelum Ahok berpindah partai, banyak contoh figur yang pindah
partai karena alasan sudah tidak cocok lagi dengan partainya ternyata justru
berhasil menjadi model membangun partai. Sebut saja, misalnya, Jenderal (pur)
Wiranto yang hengkang dari Partai Golkar kemudian mendirikan Partai Hati
Nurani Rakyat (Hanura). Surya Paloh, juga dari Partai Golkar, mendirikan Partai
Nasional Demokrat (Nasdem) dan Prabowo Subianto dari Golkar mendirikan Partai
Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Andai Partai Golkar mempunyai sistem yang
mampu mengakomodasi figur-figur tersebut, tentu fragmentasinya tidak
sedemikian masif. Belum lagi kalau kita mau mendata di daerah, akan ditemukan
banyak kampiun politisi yang berpindah partai ternyata mampu membesarkan
”rumah politik”-nya yang baru. Mampu mengalahkan penghuni lama (asli) yang
sudah jauh lebih lama bersimbah keringat membesarkan partai.
Bersinerginya
anggota baru dari luar dengan anggota lama dapat digambarkan seperti
bergabungnya kaum muhajirin yang hijrah bersama Nabi Muhammad SAW ke Madinah,
kemudian disambut dengan tangan terbuka oleh kaum ansar yang sudah lebih dulu
bermukim di sana. Tentu sinergi itu terjadi karena adanya kepemimpinan
Rasulullah yang tegas, adil, serta mengayomi. Dalam bahasa nasihat Balarama
(Baladewa) terhadap Duryudana, kemenangan dalam perang tidak ditentukan oleh
kekuatan pasukan, tetapi ditentukan oleh panglima yang mengarahkan pasukan
tersebut. Wiranto, Surya Paloh, serta Prabowo merupakan contoh betapa figur
panglima menentukan eksistensi pasukannya. Partai-partai yang mereka pimpin
dapat eksis (setidaknya lolos electoral
threshold) salah satunya karena sentuhan ”tangan dingin” masing-masing.
Maka, bila Ahok termasuk politisi yang memiliki jiwa panglima, karir
politiknya tidak akan pudar hanya karena berpindah partai. Partainya boleh
ganti, tapi idealismenya memperjuangkan hak-hak rakyat harus terus berkobar.
Seorang
teman berseloroh bahwa Ahok itu kutu loncat yang tergolong kutu kupret. Bah,
apa pula ini? Dalam literatur disebutkan, kutu loncat adalah serangga yang
merupakan anggota suku Psyllidae yang konon mempunyai 71 marga. Salah satunya
adalah kutu kupret. Istilah itu sering dipakai Tukul ”Empat Mata” Arwana
untuk melecehkan atau mengolok-olok penonton –yang konotasinya negatif atau
buruk. Padahal, kutu yang dikenal sebagai kutu malaysia itu, selain sangat
cepat berkembang biak, ternyata mempunyai khasiat menyembuhkan penyakit
diabetes dan tekanan darah tinggi, menjaga stamina tubuh, serta lainnya.
Mungkin
Ahok termasuk kutu kupret yang perannya bagi partai asal dianggap
pengkhianat, tetapi bagi rakyat dapat menjadi penyembuh. Lain waktu, bila
Tukul Arwana mengundang Ahok dalam acaranya, Bukan Empat Mata, silakan panggil Ahok dengan sebutan Si Kutu Kupret. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar