Kamis, 18 September 2014

Ahok, Kutu Loncat atau Kutu Kopret

Ahok, Kutu Loncat atau Kutu Kopret

Redi Panuju  ;   Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jatim
JAWA POS, 17 September 2014

                                      
                                                      

KEPUTUSAN Ahok –panggilan Wagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama– keluar dari Partai Gerindra lantaran tidak setuju dengan RUU pilkada yang dimotori partainya mendapat respons beragam. Sudah barang tentu dari pihak yang tidak setuju dengan RUU itu, Ahok dianggap sebagai ”pahlawan” yang berani melawan arus kebijakan partainya sendiri demi rakyat banyak. Di dunia maya, Ahok diberi semangat ”lebih baik berkhianat kepada partai demi kepentingan rakyat banyak ketimbang berkhianat kepada rakyat demi kepentingan partai”.

Respons yang paling seru berasal dari orang kedua di Partai Gerindra, Fadli Zon. Tak tanggung-tanggung, dia menyamakan Ahok dengan kutu loncat. Dan Ahok dengan gentlemen mengatakan bahwa dirinya memang kutu loncat.

Ahok merasa dirinya tidak tercemar atau dirugikan dengan labeling kutu loncat. Sebab, memang faktanya Ahok beberapa kali pindah partai. Sebelum bergabung dengan Gerindra, Ahok pernah berumah di Partai Golkar. Namun, bukan itu alasan yang substantif. Alasan paling mendasar adalah Ahok yakin dengan suara arus bawah yang masih menganggap bahwa pilihan langsung merupakan konsep demokrasi yang didukung rakyat. Jadi, wajar saja Ahok ”berani” mengambil sikap tersebut. Sebagai politikus, Ahok sudah punya kalkulasi untung ruginya. Mengikuti arah angin berembus merupakan filosofi yang dianjurkan kepada politisi.

Dalam sistem multipartai seperti di Indonesia, taat buta (apa pun yang diperintahkan partai harus diikuti) sama dengan mati konyol. Banyak partai yang bisa menjadi alternatif tempat berlabuh ketika individu merasa bahwa arah perjuangan partai sudah keluar dari cita-cita, bahkan ideologi partai. Kepatuhan politikus bukan kepada partai, melainkan kepada rakyat. Ketika partai sudah sedemikian mengalami kontaminasi moral (banyak kadernya yang terlibat korupsi, mengajarkan balas dendam, bahkan menghukum rakyat yang tidak memilihnya dengan membuat kegemparan yang tidak perlu), justru lebih baik politikus keluar dari ”rumah”-nya. Sebab, bila tidak segera keluar, dia akan menjadi korban pembusukan orientasi hingga menjadi insan politik yang tidak berdaya lagi memperjuangkan kebenaran. Dalam konteks itulah kemudian perilaku Ahok mendapat sanjungan dari banyak pihak.

Toh, kenyataannya, sebelum Ahok berpindah partai, banyak contoh figur yang pindah partai karena alasan sudah tidak cocok lagi dengan partainya ternyata justru berhasil menjadi model membangun partai. Sebut saja, misalnya, Jenderal (pur) Wiranto yang hengkang dari Partai Golkar kemudian mendirikan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Surya Paloh, juga dari Partai Golkar, mendirikan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Prabowo Subianto dari Golkar mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Andai Partai Golkar mempunyai sistem yang mampu mengakomodasi figur-figur tersebut, tentu fragmentasinya tidak sedemikian masif. Belum lagi kalau kita mau mendata di daerah, akan ditemukan banyak kampiun politisi yang berpindah partai ternyata mampu membesarkan ”rumah politik”-nya yang baru. Mampu mengalahkan penghuni lama (asli) yang sudah jauh lebih lama bersimbah keringat membesarkan partai.

Bersinerginya anggota baru dari luar dengan anggota lama dapat digambarkan seperti bergabungnya kaum muhajirin yang hijrah bersama Nabi Muhammad SAW ke Madinah, kemudian disambut dengan tangan terbuka oleh kaum ansar yang sudah lebih dulu bermukim di sana. Tentu sinergi itu terjadi karena adanya kepemimpinan Rasulullah yang tegas, adil, serta mengayomi. Dalam bahasa nasihat Balarama (Baladewa) terhadap Duryudana, kemenangan dalam perang tidak ditentukan oleh kekuatan pasukan, tetapi ditentukan oleh panglima yang mengarahkan pasukan tersebut. Wiranto, Surya Paloh, serta Prabowo merupakan contoh betapa figur panglima menentukan eksistensi pasukannya. Partai-partai yang mereka pimpin dapat eksis (setidaknya lolos electoral threshold) salah satunya karena sentuhan ”tangan dingin” masing-masing. Maka, bila Ahok termasuk politisi yang memiliki jiwa panglima, karir politiknya tidak akan pudar hanya karena berpindah partai. Partainya boleh ganti, tapi idealismenya memperjuangkan hak-hak rakyat harus terus berkobar.

Seorang teman berseloroh bahwa Ahok itu kutu loncat yang tergolong kutu kupret. Bah, apa pula ini? Dalam literatur disebutkan, kutu loncat adalah serangga yang merupakan anggota suku Psyllidae yang konon mempunyai 71 marga. Salah satunya adalah kutu kupret. Istilah itu sering dipakai Tukul ”Empat Mata” Arwana untuk melecehkan atau mengolok-olok penonton –yang konotasinya negatif atau buruk. Padahal, kutu yang dikenal sebagai kutu malaysia itu, selain sangat cepat berkembang biak, ternyata mempunyai khasiat menyembuhkan penyakit diabetes dan tekanan darah tinggi, menjaga stamina tubuh, serta lainnya.

Mungkin Ahok termasuk kutu kupret yang perannya bagi partai asal dianggap pengkhianat, tetapi bagi rakyat dapat menjadi penyembuh. Lain waktu, bila Tukul Arwana mengundang Ahok dalam acaranya, Bukan Empat Mata, silakan panggil Ahok dengan sebutan Si Kutu Kupret. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar