Menteri
dan Partai Politik
Miftah Thoha ; Guru
Besar (ret) Ilmu Administrasi Publik UGM
|
KOMPAS,
08 September 2014
MENTERI
merupakan jabatan yang sering diimpikan banyak orang. Lebih-lebih zaman
sekarang ketika banyak partai dibentuk. Melalui partai politik, apalagi
menjadi ketua partai, orang akan berpikir ”siapa tahu bisa menjadi menteri
nanti”. Maka, ramai-ramai orang membentuk partai politik. Tak hanya menteri
yang ingin digapai, kalau mungkin presiden sekalian. Benarkah jabatan menteri bisa dicapai melalui parpol?
Zaman
Bung Karno dan Bung Hatta dulu, orang bisa jadi menteri karena selain
profesional, berilmu, juga berpartai politik. Kadang-kadang ada juga orang
yang tak berpartai politik tetapi berilmu luas. Ketika Bung Hatta
meninggalkan Bung Karno, maka—pada zaman Bung Karno sendirian ini—yang bisa
jadi menteri ada yang dari tentara. Tampaknya Bung Hatta punya pandangan
bahwa yang bisa jadi menteri adalah orang berpartai politik tetapi berilmu
luas, ahli di bidangnya. Jadi, bukan amatiran: asal jadi ketua partai lalu
mencalonkan diri jadi calon menteri bahkan calon presiden. Atau, dengan
mengikuti keinginan UUD 1945 (asli), seorang menteri haruslah mengetahui
seluk-beluk pekerjaan kementerian yang dipimpinnya.
Menteri zaman
demokrasi liberal
Landasan
berilmu bagi pemimpin atau orang parpol amat penting karena mereka bisa
dimungkinkan jadi pemimpin rakyat dan negara, baik sebagai menteri apalagi
presiden. Berilmu berarti punya kedalaman pengetahuan dan keahlian mengenai
bidang pekerjaan yang bakal dilaksanakan dalam kementerian yang dipimpinnya.
Itu sebabnya, ketika Bung Hatta masih memperkuat dwitunggal, hasil maklumat
yang ia keluarkan sebagai wakil presiden dan perdana menteri dikenal istilah
zakenkabinet. Pada kabinet zaken ini setiap kementerian negara dipimpin
menteri yang ahli dan tahu seluk-beluk bidang kementerian pimpinannya dan
menonjol sifat kenegarawanannya.
Oleh
karena mementingkan keahlian dan kenegarawanan ini, adakalanya orang yang
ahli tetapi tak masuk parpol tertentu bisa diminta duduk dalam kabinet dan
memimpin kementerian negara. Orang tak berpartai tetapi ahli dan berilmu luas
serta memiliki sifat kenegarawanan adalah Djuanda, Sultan Hamengku Buwono IX,
Bahder Djohan, dan Moh Yamin. Mereka berulang kali diminta menjadi menteri.
Ketika
pemerintahan dikelola secara demokrasi liberalistik, peran parpol memang amat
besar saat itu. Karena itu, di dalam pemerintahan eksekutif ataupun
legislatif, orang-orang sipil dari parpol ini berkiprah sangat menentukan.
Semua menteri orang sipil yang berasal dari parpol. Sebenarnya kalau saat itu
prinsip demokrasi dijalankan secara baik seperti keinginan Bung Hatta, dan
Bung Karno tak keburu nafsu tampil
berkuasa serta membungkam beda pendapat dan paham dengannya, barangkali
pelajaran pemerintahan demokratis yang sipilian bisa diwariskan kepada
generasi berikutnya.
Sayang,
Bung Karno berselisih paham dengan Bung Hatta dan kemudian Bung Karno
menangkapi lawan-lawan politiknya yang berbeda paham dengannya. Maka,
jalannya demokrasi kita telah menyimpang jauh dari ajaran demokrasi dan
masyarakat sipil. Bung Hatta dengan kebesaran jiwa rela meninggalkan
pemerintahan dari suatu negara yang dicintainya dan hubungan pribadinya dengan
Bung Karno tak pernah berubah sampai ia berpulang.
Mulailah
Bung Karno mengundang tentara bisa bersamanya memimpin pemerintahan dan
negara. Pemerintahan Bung Karno semakin otoriter, lawan-lawan politiknya
dipenjarakan, dan tentara jadi alat kekuasaan yang menakutkan rakyat sipil.
Cara-cara Bung Karno memerintah ini kelak ditiru pemerintahan Orde Baru yang
penuh dengan rekayasa politik. Mulailah tentara memimpin kementerian, punya
hak istimewa tanpa dipilih, punya jatah wakil di DPR dan MPR. Tak hanya di
pemerintahan pusat tentara ikut memerintah, tetapi sampai ke tingkat
pemerintahan daerah di bawah sekalipun.
Orang-orang
sipil dari parpol pelan-pelan mulai terpinggirkan. Tokoh-tokohnya banyak yang
masuk penjara, tak sempat lagi mendidik kader dan mewariskan tatanan sistem
demokrasi yang sipilian. Perbedaan pendapat, ideologi, dan politik mulai
dijadikan pemisah yang dalam di antara kita. Parpol reputasinya mulai menurun
dan dijauhi rakyat. Lebih parah lagi, pada pemerintahan Orde Baru, reputasi
parpol dibuat amat tercela. Situasi seperti ini tak menguntungkan bagi
lahirnya pemerintahan sipil yang kelak dikenal dengan istilah
pemerintahan madani.
Zaman
Orde Baru ini zaman malaise bagi parpol. Pada zaman ini jabatan menteri
dicapai melalui tentara golongan politik yang tidak mau disebut parpol meski
bermain politik. Salah satunya bisa melalui konglomerat dan orang-orang dekat
istana. Parpol yang jumlahnya hanya dua gelintir itu tak punya harapan kapan
bisa dipasang sebagai menteri yang bergelimang glamor anggaran melimpah.
Pada
mulanya memang atas kebaikan penguasa, ada menteri yang berasal dari parpol.
Setelah itu tak ada harapan bagi parpol yang dua itu ikut di dalamnya. Dua
parpol selama pemerintahan Orde Baru berada di pinggiran, tak bisa bermain apa-apa
kecuali menunggu kucuran anggaran sebagai belas kasihan penguasa untuk biaya
menjalankan partai. Biaya belas kasihan itu akan ditambah kalau waktu
pemilihan umum tiba. Maka, semua anak bangsa ini cita-citanya ingin jadi
tentara supaya bisa masuk lapangan kerja di pemerintahan dan jadi menteri
atau presiden. Kalau tidak jadi tentara, ya, jadi pengusaha yang bisa
dekat-dekat istana agar bisa menjadi menteri.
Amat tercela
Pada
zaman Orde Baru reputasi parpol dibuat amat tercela. Dengan parpol, rakyat terpecah belah jadi keping-keping anak
bangsa yang membahayakan persatuan. Dengan parpol, bangsa ini tak sempat
membenahi diri membangun negara. Dengan parpol, kesejahteraan rakyat tidak
sempat diratakan dan keadilan tak pernah diwujudkan. Pendeknya, parpol tak
berjasa bagi bangsa ini. Tamatlah riwayat parpol saat itu. Peran mereka
diganti dengan kerja keras berslogan kekaryaan. Pembangunan negara dan bangsa
ini bisa dilakukan dengan karya yang besar melalui Golongan Karya. Tampillah
kelompok bukan parpol tetapi ikut bermain politik dengan menggelar pemilu
lima tahun sekali dan rekayasa untuk selalu menang.
Maka,
setiap lima tahun, yang bisa jadi menteri bukan lagi dari parpol, melainkan
dari golongan kekaryaan. Mereka yang tergolong mengutamakan kekaryaan itu
profesional, berilmu luas, ahli, zaken, dan tahu seluk-beluk pekerjaan
kementeriannya. Mereka dikenal sebagai teknokrat.
Di
negara demokrasi yang telah maju seperti Jerman, AS, Jepang, dan Australia,
yang bisa diangkat jadi menteri terindikasi jadi anggota, fungsionaris,
pendukung, kader, dan simpatisan parpol. Maka, parpol merupakan kendaraan
tumpangan orang yang mau bepergian menuju kabinet atau pejabat politik
seperti menteri, gubernur, ataupun wali kota. Mereka yang dari parpol itu
ternyata kompetensi individualnya dalam bidang tertentu amat menakjubkan.
Orang dari parpol yang kompeten dan berilmu luas memang layak jadi menteri
atau presiden atau perdana menteri.
Di Inggris, menteri adalah anggota kabinet
dan semua menteri itu harus anggota parlemen. Jika ada seseorang yang
diperlukan menduduki jabatan menteri bukan anggota parlemen, dia harus
disetujui atau memenangi suara ketika dipilih anggota parlemen. Jadi, seorang
menteri dalam kabinet di Kerajaan Inggris harus dari parpol. Ia harus pula berbobot,
kompeten, dan berkualitas memahami fungsi serta tugas departemen yang bakal
ia pimpin. Demikian pula yang terjadi di Australia.
Jerman
dengan tegas mengatakan bahwa negaranya yang demokratis dan berdasarkan hukum
tak bisa berjalan tanpa parpol. Parpol melalui pemilihan langsung memilih
wakilnya di lembaga perwakilan dan memilih kepala negaranya. Menteri diangkat
berasal dari wakil parpol yang berkoalisi membentuk pemerintahan. Dengan
sendirinya, karena tingkat kemajuan pendidikan di negaranya, maka selain dari
parpol, kompetensi individu calon menteri amat menentukan.
Ketua atau kader
partai
Berdasarkan
pengalaman selama ini, ada baiknya keinginan Bung Hatta dalam membangun
pemerintahan sipil yang demokratis bisa digunakan menentukan kriteria pengangkatan
seorang menteri di dalam kabinet presidensial. Pertanyaannya sekarang,
menteri berasal dari ketua partai atau kader partai? Seorang menteri
merupakan jabatan politik dan dipilih presiden dari kelompok parpol
koalisinya, atau diangkat presiden berasal dari orang bukan anggota partai.
Hal itu merupakan hak prerogatif presiden. Dasar pemilihannya adalah
kompetensi, keahlian, berakhlak mulia, dan berilmu pengetahuan luas. Bukan
semata-mata karena ketua atau pemimpin parpol atau kader parpol.
Begitu
seseorang sudah menduduki jabatan menteri, orang tersebut berbakti untuk
negara, bukan untuk partainya lagi. Menteri merupakan jabatan politik yang
negarawan, bukan pejabat negara yang
loyal kepada partai politik. Identitas berpolitik dan jadi pendukung,
simpatisan, anggota, serta fungsionaris parpol tak bisa dihindarinya. Namun,
begitu memangku jabatan menteri, orang parpol yang jadi pejabat negara harus
mengakhiri kekaderan parpolnya.
Menteri
bekerja untuk negara dan rakyat secara
keseluruhan, bukan untuk parpolnya lagi. Urusan parpol ditinggalkan dulu.
Selesai jabatan menteri, ia boleh kembali ke partai. Inilah perilaku dan
sikap negarawan yang high politic.
Ini bisa dicapai untuk mendewasakan pemerintahan yang demokratis.
Keahlian,
basis ilmu pengetahuan yang luas, kompetensi, profesional, dan berakhlak
mulia merupakan bekal yang dimiliki negarawan calon menteri. Ini terlihat
dari penampilan dan riwayat hidupnya. Keterlibatan rakyat memberikan
penilaian calon menteri sangat penting. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar