Miskin
vs Sejahtera
Ali Khomsan ;
Guru
Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB
|
KORAN
SINDO, 20 September 2014
Apakah Indonesia termasuk negara miskin
atau negara sejahtera? Ini bisa dinilai dari GNP per kapita, persentase
penduduk miskin, angka melek huruf, prevalensi gizi kurang, dan sebagainya.
Secara kualitatif, kemiskinan di negara kita teramati dengan baik ketika kita
melihat masyarakat berebut daging korban saat Idul Adha, antre menunggu zakat
yang dibagikan orang kaya menjelang Lebaran, atau berdesakan kala pembagian
Raskin/BLSM.
Kalau jumlah orang miskin di Indonesia
“hanya” sekitar 28 juta dan pembagian Raskin ditujukan kepada hampir 80 juta
penduduk kita, muncul pertanyaan: berapa sebenarnya jumlah orang miskin di
negeri yang subur makmur gemah ribah loh jinawi ini? Jawaban yang pasti
adalah orang miskin di sekitar kita banyak. Sebab itu, pekerjaan rumah (PR)
untuk mewujudkan bangsa yang sejahtera bukan pekerjaan mudah. Ada beberapa
bangsa di dunia yang termasuk tua dalam usia, namun tetap belum dikatakan
sejahtera hingga saat ini. Mesir dan India adalah bangsa tua. Ribuan tahun
lalu dua bangsa ini telah melahirkan peradaban yang lebih maju dibandingkan
bangsa-bangsa lain.
Namun, dalam perjalanan waktu hingga
memasuki abad milenium, dua bangsa ini masih bergelut dengan persoalan
bagaimana mengentaskan bangsanya dari keterpurukan. Sementara ada bangsabangsa
yang dapat dikatakan muda dalam usia, tetapi kini menjadi panglima ekonomi
dalam percaturan hubungan antar bangsa. Kanada, Australia, atau Selandia Baru
adalah negara-negara maju. Pembangunan di negara-negara tersebut baru diawali
150 tahun lalu. Amerika Serikat adalah negara melting pot yang kini berusia sekitar 200 tahun dibangun oleh
bangsabangsa aneka ras yang tentu saja awalnya memiliki beragam budaya.
Kini ras-ras di Amerika bersatu padu
mewujudkan the American Dream, menjadi bangsa yang disegani dan rakyatnya
hidup sejahtera. Negara-negara tersebut dengan kemampuan iptek, budaya, dan
karakter bangsanya mampu menjadikan dirinya menjadi negara maju. Rakyat
miskin di negara tersebut masih ada, namun jumlahnya relatif sedikit dan
orang-orang miskin di negeri maju ini mendapat tunjangan kesejahteraan untuk
menopang kebutuhan hidup minimalnya. Bangsa Indonesia baru merdeka 68 tahun.
Kalau ada yang menyebutkan kita belum
sejahtera, tidak apa-apa. Kita bangga menjadi negara bahari, negara agraris,
negara subur dengan kekayaan alam yang luar biasa termasuk sumber daya
pertambangan yang tersebar di berbagai pulau. Namun, apakah sebutan-sebutan
tersebut menjadikan kita lebih mudah untuk menjelma menjadi bangsa yang
makmur? Ternyata, aset alam yang kita miliki tidak berkorelasi dengan
kesejahteraan rakyatnya. Jumlah petani atau nelayan miskin masih sangat
banyak. Mereka turun-temurun terklasifikasi sebagai gurem yang tetap harus
bekerja keras bermandikan lumpur dan tertimpa terik matahari di laut lepas,
sekadar untuk bertahan hidup memenuhi kebutuhan biologisnya yang paling
mendasar yaitu pangan.
Jepang adalah contoh konkret negara maju
meski miskin sumber daya alam. Sekitar 80% daratannya bergunung-gunung, tidak
dapat untuk menopang pertanian atau peternakannya. Lahan pertanian di Jepang
berkurang 20% selama 45 tahun. Selain itu, pemanfaatannya juga menurun secara
signifikan. Namun, kita tidak pernah melihat orang Jepang antre beras dalam
operasi pasar. Negara Matahari Terbit ini seolah tenang-tenang saja meski
ketersediaan pangan hasil produksi dalam negeri senantiasa kurang cukup untuk
memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Jepang adalah negara dengan penduduk
lebih dari 100 juta.
Kesembadaan pangannya hanya sekitar 40%
berdasarkan basis kalori dan untuk biji-bijian sekitar28%.
Kesembadaanbiji-bijian ini jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia (85%),
India (91%), dan Bangladesh (97%). Jepang mengimpor bahanbahan mentah dari
berbagai negara dan kemudian menyulapnya melalui iptek canggih menjadi barang
jadi. Ekspor barang jadi made in Japanmembanjiri pasar dunia dan mendatangkan
devisa untuk kemakmuran bangsanya. Jepang laksana negara industri terapung
yang besar sekali. Padahal, pada 1945 negeri ini porak-poranda akibat kalah
dalam Perang Dunia II. Swiss adalah negeri kecil yang daratannya hanya 11%
yang bisa ditanami. Namun, dari Swiss inilah kita bisa merasakan cokelat yang
paling lezat.
Industri cokelat, susu, dan perbankan di
Swiss pantas untuk disebut berkelas dunia. Lalu, apa yang kurang dari negeri
kita tercinta? SDM (Sumber daya manusia) berlimpah, upah tenaga kerja sama
murahnya dengan China yang kini menjadi kekuatan ekonomi dunia, alamnya hijau
subur, dan lautnya biru membentang luas. Ternyata Indonesia dinilai masih kalah
dibandingkan negara-negara tetangga. Thailand dan Vietnam menjadi eksportir
penting produk- produk serealia dan hortikultura. Singapura, Filipina, dan
Malaysia menawarkan kualitas pendidikan yang lebih bermutu dan menjaring
lulusan-lulusan SMA (sekolah menengah atas) kita.
Kita sampai kini masih sibuk bersilat lidah
tentang bagaimana memberikan perlindungan jutaan TKI (tenaga kerja Indonesia)
yang mencari nafkah di negeri jiran. Kecerdasan orang-orang Indonesia tentu
tidak kalah dibandingkan orang-orang di negara maju. Kita mempunyai tokoh
sekaliber Habibie. Banyak mahasiswa-mahasiswa kita di luar negeri berprestasi
baik dalam pencapaian akademisnya, bahkan memunculkan kekhawatiran terjadi
brain drain. Mungkin ada yang berpandangan orang Indonesia kurang disiplin,
tidak menghargai waktu, atau malas.
Ternyata, ketika mereka menjadi karyawan
yang bekerja di sektor industri di negara maju, mereka menjelma menjadi SDM
yang sangat dapat diandalkan. Jadi, tidak sejahteranya suatu negara
sebenarnya ditentukan oleh karakter budaya, pendidikan, dan sikap hidup yang
ditunjukkan warganya yang mungkin telah berurat-berakar puluhan tahun.
Karakter bangsa-bangsa yang maju adalah: beretika, jujur, bertanggung jawab,
taat aturan dan hukum, cinta pada pekerjaan, mau bekerja keras, dan disiplin
menghargai waktu. Kalau birokrasi kita diisi oleh orang-orang yang tidak
cinta pada pekerjaan, pegawai-pegawai yang tidak disiplin, tidak jujur, dan
hanya berorientasi proyek untuk mendapatkan keuntungan yang tidak legal,
serta cenderung melanggar aturan, jangan pernah berharap untuk menjadi bangsa
yang sejahtera.
Mau berubah atau masih ingin miskin?
Mengentaskan kemiskinan bukan persoalan mudah. Berbagai program telah
dilaksanakan seperti PNPM Mandiri, Bantuan Langsung Sementara Masyarakat
(BLSM), subsidi Raskin, BPJS, Kartu Pintar, dan sebagainya. Kemiskinan memang
bukan melulu persoalan kita akan memberi ikan atau kail. Rantai kemiskinan
akan terputus apabila rakyat Indonesia mampu mengakses pendidikan dengan
baik. Pendidikan akan membekali masyarakat untuk menjadi SDM yang kreatif dan
mandiri. Sebab itu, wajib belajar tidak cukup hanya sembilan tahun, tetapi
harus ditingkatkan menjadi 12 tahun. Jangan ada lagi perbedaan akses
pendidikan antara rakyat yang tinggal di wilayah timur dan barat Indonesia.
Pendidikan untuk semua harus menjadi tekad pemerintah baru mewujudkan bangsa
yang lebih sejahtera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar