Selasa, 09 September 2014

Presiden Jokowi akan Menaikkan Harga BBM

Presiden Jokowi akan Menaikkan Harga BBM

Umar Juoro  ;   Ekonom Senior
di Center for Information and Development Studies dan Habibie Center
REPUBLIKA, 08 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Presiden terpilih Jokowi berencana akan menaikkan harga BBM sekitar akhir Oktober. Sebelumnya, ia meminta Presiden SBY untuk menaikkan harga BBM untuk mengurangi beban APBN dan berbagi tanggung jawab untuk membuat keputusan yang tidak populer ini. Banyak pengamat dan media juga meminta hal yang sama. Namun, Presiden SBY tidak bersedia karena pada masa akhir pemerintahannya, ia tidak mau memberikan beban kepada masyarakat.

Dengan alokasi anggaran sekitar Rp 291 triliun dengan kuota 46 juta kiloliter untuk subsidi BBM sangat membebani anggaran. Tanpa mengurangi subsidi BBM ini, praktis pemerintahan Jokowi tidak mempunyai ruang yang memadai untuk mengalokasikan anggaran untuk program prioritas, khususnya pembangunan infrastruktur dan sosial.

Permasalahan mengapa setiap pemerintahan sangat enggan menaikkan harga BBM karena akibat yang ditimbulkannya sangat besar. Sudah pasti harga kebutuhan pokok akan terimbas naik yang membuat tingginya inflasi, bergantung pada seberapa besar kenaikan harga BBM.

Jika pemerintahan Jokowi menaikkan harga BBM sebesar Rp 2.000 per liter, akan memberikan ruang fiskal untuk realokasi anggaran sekitar Rp 92 triliun. Dampak inflasinya tambahan sekitar satu hingga 1,5 persen. Tinggal yang harus diperhitungkan adalah dampak sosial-politiknya.

Dengan dukungan DPR sekitar 35 persen dari jumlah kursi, memang belum cukup kuat untuk mendukung kebijakan menaikkan harga BBM yang biasanya mendapatkan reaksi keras secara sosial-politik. Sekalipun demikian, menaikkan harga BBM merupakan kewenangan penuh pemerintah eksekutif, tidak perlu mendapatkan pengesahan dari DPR.

Menaikkan harga BBM pada Oktober tahun ini adalah waktu yang cukup baik, mengingat inflasi yang relatif rendah, sekitar 4,5 persen, dan kepercayaan terhadap presiden terpilih Jokowi masih tinggi. Dengan kenaikan harga BBM, BI juga akan meningkatkan suku bunga kebijakan BI Rate, kemungkinan tambahan sekitar 0,5 persen untuk mengendalikan inflasi.

Memang akibat selanjutnya adalah konsumsi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi semakin tertekan. Namun, kemungkinan investasi baru akan meningkat sebagai tanggapan positif dari kebijakan ekonomi yang rasional.

Jika pemerintah baru menunggu sampai tahun depan, keadaan akan semakin sulit. Bukan saja kemungkinan konsumsi BBM akan melampaui kuota, melainkan juga kemungkinan Bank Sentral AS (The Fed) akan menaikkan suku bunga yang akan diikuti oleh BI dengan menaikkan BI Rate. Ekonomi menjadi lebih tertekan dibandingkan dengan jika harga BBM dinaikkan tahun ini.

Jadi, pilihannya adalah lebih baik menaikkan harga BBM tahun ini daripada menunggu sampai masalah menjadi lebih besar, dan konsekuensinya harga BBM harus dinaikkan lebih tinggi dalam keadaan ekonomi yang lebih buruk.

Pola subsidi BBM juga harus diubah. Sebaiknya ditetapkan rumus subsidi BBM yang pernah ditetapkan pada masa pemerintahan Megawati. Subsidi BBM dibuat tetap dan harga menjadi lebih mengikuti harga di pasar dunia. Hanya jika terjadi kenaikan harga minyak dunia yang sangat tinggi, rumus subsidi BBM tidak diberlakukan. Jika harga kembali normal, rumus subsidi BBM ditetapkan kembali.

Subsidi untuk rakyat miskin lebih baik diberikan secara langsung sebagaimana yang didukung banyak pihak. Mereka akan lebih merasakan subsidi langsung tersebut dan tidak salah sasaran ke mereka yang lebih mampu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar