Presiden
Jokowi akan Menaikkan Harga BBM
Umar
Juoro ; Ekonom Senior
di Center for Information and Development Studies dan
Habibie Center
|
REPUBLIKA,
08 September 2014
Presiden
terpilih Jokowi berencana akan menaikkan harga BBM sekitar akhir Oktober.
Sebelumnya, ia meminta Presiden SBY untuk menaikkan harga BBM untuk
mengurangi beban APBN dan berbagi tanggung jawab untuk membuat keputusan yang
tidak populer ini. Banyak pengamat dan media juga meminta hal yang sama.
Namun, Presiden SBY tidak bersedia karena pada masa akhir pemerintahannya, ia
tidak mau memberikan beban kepada masyarakat.
Dengan
alokasi anggaran sekitar Rp 291 triliun dengan kuota 46 juta kiloliter untuk
subsidi BBM sangat membebani anggaran. Tanpa mengurangi subsidi BBM ini,
praktis pemerintahan Jokowi tidak mempunyai ruang yang memadai untuk
mengalokasikan anggaran untuk program prioritas, khususnya pembangunan
infrastruktur dan sosial.
Permasalahan
mengapa setiap pemerintahan sangat enggan menaikkan harga BBM karena akibat
yang ditimbulkannya sangat besar. Sudah pasti harga kebutuhan pokok akan
terimbas naik yang membuat tingginya inflasi, bergantung pada seberapa besar
kenaikan harga BBM.
Jika
pemerintahan Jokowi menaikkan harga BBM sebesar Rp 2.000 per liter, akan
memberikan ruang fiskal untuk realokasi anggaran sekitar Rp 92 triliun.
Dampak inflasinya tambahan sekitar satu hingga 1,5 persen. Tinggal yang harus
diperhitungkan adalah dampak sosial-politiknya.
Dengan
dukungan DPR sekitar 35 persen dari jumlah kursi, memang belum cukup kuat
untuk mendukung kebijakan menaikkan harga BBM yang biasanya mendapatkan
reaksi keras secara sosial-politik. Sekalipun demikian, menaikkan harga BBM
merupakan kewenangan penuh pemerintah eksekutif, tidak perlu mendapatkan
pengesahan dari DPR.
Menaikkan
harga BBM pada Oktober tahun ini adalah waktu yang cukup baik, mengingat
inflasi yang relatif rendah, sekitar 4,5 persen, dan kepercayaan terhadap
presiden terpilih Jokowi masih tinggi. Dengan kenaikan harga BBM, BI juga
akan meningkatkan suku bunga kebijakan BI Rate, kemungkinan tambahan sekitar
0,5 persen untuk mengendalikan inflasi.
Memang
akibat selanjutnya adalah konsumsi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi semakin
tertekan. Namun, kemungkinan investasi baru akan meningkat sebagai tanggapan
positif dari kebijakan ekonomi yang rasional.
Jika
pemerintah baru menunggu sampai tahun depan, keadaan akan semakin sulit.
Bukan saja kemungkinan konsumsi BBM akan melampaui kuota, melainkan juga
kemungkinan Bank Sentral AS (The Fed)
akan menaikkan suku bunga yang akan diikuti oleh BI dengan menaikkan BI Rate.
Ekonomi menjadi lebih tertekan dibandingkan dengan jika harga BBM dinaikkan
tahun ini.
Jadi,
pilihannya adalah lebih baik menaikkan harga BBM tahun ini daripada menunggu
sampai masalah menjadi lebih besar, dan konsekuensinya harga BBM harus
dinaikkan lebih tinggi dalam keadaan ekonomi yang lebih buruk.
Pola
subsidi BBM juga harus diubah. Sebaiknya ditetapkan rumus subsidi BBM yang
pernah ditetapkan pada masa pemerintahan Megawati. Subsidi BBM dibuat tetap
dan harga menjadi lebih mengikuti harga di pasar dunia. Hanya jika terjadi
kenaikan harga minyak dunia yang sangat tinggi, rumus subsidi BBM tidak
diberlakukan. Jika harga kembali normal, rumus subsidi BBM ditetapkan
kembali.
Subsidi
untuk rakyat miskin lebih baik diberikan secara langsung sebagaimana yang
didukung banyak pihak. Mereka akan lebih merasakan subsidi langsung tersebut
dan tidak salah sasaran ke mereka yang lebih mampu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar