Senin, 07 Juli 2014

Visi Politik Luar Negeri


                                            Visi Politik Luar Negeri

Chusnan Maghribi  ;   Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
SUARA MERDEKA,  04 Juli 2014
                                                            


DALAM debat calon presiden (capres) dengan tema ’’Politik Internasional dan Ketahanan Nasional’’ (22/6/14), dua capres, yaitu Prabowo Subijanto dan Joko Widodo (Jokowi) sama-sama menegaskan pada intinya hendak menjalankan politik luar negeri bebas aktif guna memenuhi kepentingan nasional, bila mendapat mandat dari rakyat untuk memimpin republik ini. Mana yang lebih objektif dan paking realistis visi politik luar negeri dua capres tersebut?

Andai pertanyaan ini saya tujukan kepada dua kubu yang bertarung, pastilah masing-masing mengklaim visi politik luar negerinya yang lebih objektif dan paling realistis. Namun, apabila yang menjawab adalah pihak luar yang relatif independen, mengerti dan memahami (ilmu) hubungan internasional, niscaya jawabannya, selain mendasarkan pada pertimbangan realitas kekinian, baik dalam konteks politik domestik maupun politik internasional, juga mengaitkan dengan pertimbangan keilmuan. Berdasarkan realitas politik dalam negeri dan global kontemporer, dua capres samasama mengungkapkan visi politik luar negeri yang objektif dan realistis. Baik Prabowo maupun Jokowi sama-sama menyatakan ingin bekerja maksimal untuk pencapaian kepentingan nasional, semisal meningkatkan volume dan nilai ekspor serta arus masuk investasi asing di Indonesia.

Selain itu, berjanji serius menangani masalah wilayah-wilayah perbatasan dengan negara-negara tetangga dan siap memegang komitmen melindungi seluruh TKI di luar negeri. Termasuk, memperkuat pertahanan dan ketahanan nasional supaya sanggup mengantisipasi dan mengatasi ancaman yang datang dari luar dan dalam negeri. Kedua capres mencoba meyakinkan kepada publik bahwa siap menangani semua masalah itu serius apabiladiberi mandat oleh rakyat untuk memimpin negeri ini lima tahun ke depan. Namun, dalam penyampaian pendapat mengenai isu per isu, terutama dalam sesi tanya jawab, baik antara moderator dan dua capres, maupun antardua capres, cukup jelas pengungkapan atau penyampaian pendapat Prabowo Subijanto terlihat lebih ilmiah. Tekankan Kesetaraan Misal, pendapatnya tentang penting dan perlunya menjalankan prinsip good neighbors policy dalam menjalin hubungan dengan seluruh negara tetangga dan ’’seribu kawan terlalu sedikit dan satu musuh terlampau banyak’’ membuktikan pengungkapan pendapatnya, selain didukung fakta empiris juga referensi ilmiah. 

Kedua konsep tersebut terdapat dalam kajian ilmu hubungan internasional. Pendapat tersebut juga memberi pesan bahwa tim pakar hubungan internasional capres nomor urut 1 tersebut diisi oleh kalangan ahli yang cukup memahami (ilmu) hubungan internasional. Memberi pesan pula kepada seluruh negara bangsa di dunia, andai Prabowo memenangi pilpres 9 Juli mendatang, negara-negara luar tak perlu merisaukan kebijakan luar negerinya karena nanti jelas dan tegas akan menekankan perdamaian, kemanusiaan, persahabatan, kemitraan dan kesetaraan.
Pemerintahan Prabowo tak akan menjalankan kebijakan (politik) luar negeri antagonistik. Pesan singkatnya adalah dalam debat pada 22 Juni lalu Prabowo cukup menguasai topik berkait visi hubungan internasional. Bekal penguasaan ilmu maupun isu-isu mutakhir hubungan internasionalnya cukup memadai. 

Sebaliknya, jawaban Jokowi atas pertanyaan Prabowo mengenai peran Indonesia di World Trade Organization (WTO) ataupun dalam penyelesaian konflik tertorial di perairan Laut Tiongkok Selatan yang melibatkan Tiongkok, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam, bisa dianggap tidak cukup memuaskan kalangan yang mengerti dan memahami ilmu hubungan internasional. Jadi, simpulan akhirnya visi politik luar negeri Prabowo terlihat lebih objektif dan realistis ketimbang visi politik luar negerinya Jokowi. Masalahnya bagi Prabowo tentu, apakah visinya yang lebih objektif dan paling realistis itu bisa berlanjut dengan implementasi nyata lantaran dia menang? Kita harus menunggunya semasa ia menjalankan mandat yang diterimanya dari rakyat. Lain halnya bila harus terhenti karena kalah dalam pilpres. Kita tunggu saja hasil akhir pilpres 9 Juli mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar