Senin, 07 Juli 2014

Prospek Politik Kandidat Presiden

                            Prospek Politik Kandidat Presiden

Ridho Imawan Hanafi  ;   Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate
SUARA MERDEKA,  04 Juli 2014

                                                                                                                       


"Berkaitan dengan faktor figur, persoalan citra kandidat akan banyak menyedot perhatian calon pemilih"

PASANGAN Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prabowo-Hatta) dan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) kini masih menjalani hari-hari terakhir masa kampanye Pilpres 2014. Kedua pasangan saling memperebutkan simpati calon pemilih, dengan harapan pada 9 Juli 2014 calon pemilih memberikan suaranya kepada mereka. Saat temperatur persaingan kian menanjak, bagaimana prospek politik kedua pasangan dalam upaya meraih simpati pemilih? Prospek kedua pasangan setidak-tidaknya akan banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Pertama; figur. Salah satu keuntungan pilpres kali ini dengan hanya diikuti dua pasangan adalah calon pemilih bisa lebih jauh mendalami sosok masing-masing kandidat, baik capres maupun cawapresnya. Dengan sedikit pilihan itu, calon pemilih bisa lebih mudah menjatuhkan pilihan mana di antara dua pasangan yang paling layak dipilih. Pada faktor figur, persoalan citra kandidat (candidate personality) sepertinya akan banyak menyedot perhatian calon pemilih. Candidate personality terkait dengan sifat-sifat personal yang dinilai sebagai sebuah karakter yang melekat pada figur. Dari apa calon pemilih akan mendapatkan gambaran karakter itu?

Gambaran itu bisa didapat melalui rekam jejak kepemimpinan, tampilan keseharian kandidat dalam menyapa publik, komunikasi politik saat menjalani debat formal, dan polesan perwajahan dalam iklan di media massa. Yang perlu diperhatikan oleh setiap pasangan adalah bagaimana mereka mengemas citra kandidat sehingga bisa menarik perhatian calon pemilih. Biasanya, penonjolan pada aspek tertentu dari citra kandidat akan dilakukan manakala pada deretan citra kandidat terdapat sebuah aspek yang dianggap bisa menggerus daya ketertarikan pemilih. Hanya saja, upaya seperti itu juga harus siap berhadapan dengan pemilih yang jenisnya pemilih rasional yang seringkali lebih cenderung melihat pada hal-hal yang lebih autentik dari kandidat. Kedua; mesin parpol.

Prabowo-Hatta didukung Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, Partai Golkar, dan PBB. Adapun Jokowi-JK didukung PDIP, Partai Nasdem, PKB, Partai Hanura, dan PKPI. Dalam pemilihan presiden kali ini, yang lebih mengemuka adalah sebuah persaingan figur daripada persaingan parpol. Konsekuensinya, dukungan yang melimpah dari parpol belum bisa menjamin adanya korelasi positif dengan tingkatan perolehan suara. Belum lagi di antara parpol pendukung koalisi tersebut terlihat ada yang tidak solid benar dalam mengarahkan dukungannya kepada capresnya. Dengan kata lain, meskipun partai secara formal telah menjatuhkan pilihannya pada pasangan capres pada kenyataannya masih terdapat upaya balik badan dari sebagian internal partai untuk mengalihkan dukungannya pada capres lain. Padahal, untuk menjamin bahwa mesin parpol dapat bekerja maksimal membantu memenangi persaingan, yakni salah satunya bisa dicapai jika mereka solid dan juga split-ticket voting yang minimalis. Tidak hanya itu, pasangan capres perlu melihat faktor adanya kader atau pemimpin parpol yang dilihat publik bermasalah karena hal tersebut bisa menambah gerusan simpati pemilih. Lubang Kelemahan Ketiga; basis jaringan sukarelawan. Kemunculan sukarelawan tidak bisa dimungkiri telah ikut menambah amunisi politik bagi setiap pasangan capres. Kehadiran sukarelawan ini sangat dibutuhkan, tidak saja untuk memperkuat basis dukungan, tapi juga bisa dikatakan sebagai komunitas yang bisa mengantisipasi terhadap tidak masifnya peran partai politik.

Dengan kata lain, sukarelawan ini bisa menambal lubang kelemahan ketika mesin partai yang diharapkan bisa bergerak maksimal di tengah jalan ternyata mengalami kemacetan politik. Berkait faktor sukarelawan, yang perlu dilihat adalah apakah mereka merupakan kategori sukarelawan yang bersifat otonom, yang didorong oleh kesadaran politik sendiri untuk mendukun, atau sukarelawan yang termobilisasi, yakni mereka yang digerakkan orang lain, bukan atas dasar kesadaran penuh. Semakin banyak sukarelawan yang bersedia memberikan dukungan kepada pasangan capres terutama mereka yang bergerak atas kesadaran sendiri, akan bisa menambah peluang perolehan dukungan suara. Keempat; strategi kampanye. Pasangan capres harus beradu tajam dalam strategi kampanye. Dengan rentang waktu yang tersisa, kedua pasangan capres perlu memperhitungkan pemetaan wilayah atau komunitas tujuan yang hendak disasar demi efektivitas pesan dan efek yang dicapai (obtained effect). Selain itu, kedua pasangan juga perlu mengantisipasi munculnya beragam kampanye hitam yang pada pilpres kali ini sangat masif. Keterlambatan antisipasi terhadap kampanye hitam bukan tidak mungkin akan menimbulkan penyusutan simpati. Kampanye semestinya lebih diarahkan pada upaya pemaparan orientasi kepemimpinan kandidat ketika mereka nanti memimpin. Pada kampanye hitam, meskipun publik juga memiliki daya resistensi terhadap halseperti itu, sejatinya telah merusak substansi demokrasi. Mereka yang melakukan kampanye jenis itu tidak melihat pilpres sebagai arena kompetisi wajar dalam sebuah sistem demokrasi, namun lebih sebagai ajang meraih kekuasaan sambil meminggirkan nilai-nilai mulia dalam demokrasi itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar