Prospek
Politik Kandidat Presiden
Ridho Imawan Hanafi ;
Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate
|
SUARA
MERDEKA, 04 Juli 2014
"Berkaitan
dengan faktor figur, persoalan citra kandidat akan banyak menyedot perhatian
calon pemilih"
PASANGAN Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prabowo-Hatta) dan Joko
Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) kini masih menjalani hari-hari terakhir masa
kampanye Pilpres 2014. Kedua pasangan saling memperebutkan simpati calon
pemilih, dengan harapan pada 9 Juli 2014 calon pemilih memberikan suaranya
kepada mereka. Saat temperatur persaingan kian menanjak, bagaimana prospek
politik kedua pasangan dalam upaya meraih simpati pemilih? Prospek kedua
pasangan setidak-tidaknya akan banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Pertama; figur. Salah satu keuntungan pilpres kali ini dengan hanya
diikuti dua pasangan adalah calon pemilih bisa lebih jauh mendalami sosok
masing-masing kandidat, baik capres maupun cawapresnya. Dengan sedikit
pilihan itu, calon pemilih bisa lebih mudah menjatuhkan pilihan mana di
antara dua pasangan yang paling layak dipilih. Pada faktor figur, persoalan
citra kandidat (candidate personality)
sepertinya akan banyak menyedot perhatian calon pemilih. Candidate personality terkait dengan sifat-sifat personal yang
dinilai sebagai sebuah karakter yang melekat pada figur. Dari apa calon
pemilih akan mendapatkan gambaran karakter itu?
Gambaran itu bisa didapat melalui rekam jejak kepemimpinan, tampilan
keseharian kandidat dalam menyapa publik, komunikasi politik saat menjalani
debat formal, dan polesan perwajahan dalam iklan di media massa. Yang perlu
diperhatikan oleh setiap pasangan adalah bagaimana mereka mengemas citra
kandidat sehingga bisa menarik perhatian calon pemilih. Biasanya, penonjolan
pada aspek tertentu dari citra kandidat akan dilakukan manakala pada deretan
citra kandidat terdapat sebuah aspek yang dianggap bisa menggerus daya
ketertarikan pemilih. Hanya saja, upaya seperti itu juga harus siap
berhadapan dengan pemilih yang jenisnya pemilih rasional yang seringkali
lebih cenderung melihat pada hal-hal yang lebih autentik dari kandidat.
Kedua; mesin parpol.
Prabowo-Hatta didukung Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, Partai Golkar,
dan PBB. Adapun Jokowi-JK didukung PDIP, Partai Nasdem, PKB, Partai Hanura,
dan PKPI. Dalam pemilihan presiden kali ini, yang lebih mengemuka adalah
sebuah persaingan figur daripada persaingan parpol. Konsekuensinya, dukungan
yang melimpah dari parpol belum bisa menjamin adanya korelasi positif dengan
tingkatan perolehan suara. Belum lagi di antara parpol pendukung koalisi
tersebut terlihat ada yang tidak solid benar dalam mengarahkan dukungannya
kepada capresnya. Dengan kata lain, meskipun partai secara formal telah menjatuhkan
pilihannya pada pasangan capres pada kenyataannya masih terdapat upaya balik
badan dari sebagian internal partai untuk mengalihkan dukungannya pada capres
lain. Padahal, untuk menjamin bahwa mesin parpol dapat bekerja maksimal
membantu memenangi persaingan, yakni salah satunya bisa dicapai jika mereka
solid dan juga split-ticket voting yang minimalis. Tidak hanya itu, pasangan
capres perlu melihat faktor adanya kader atau pemimpin parpol yang dilihat
publik bermasalah karena hal tersebut bisa menambah gerusan simpati pemilih.
Lubang Kelemahan Ketiga; basis jaringan sukarelawan. Kemunculan sukarelawan
tidak bisa dimungkiri telah ikut menambah amunisi politik bagi setiap
pasangan capres. Kehadiran sukarelawan ini sangat dibutuhkan, tidak saja
untuk memperkuat basis dukungan, tapi juga bisa dikatakan sebagai komunitas
yang bisa mengantisipasi terhadap tidak masifnya peran partai politik.
Dengan kata lain, sukarelawan ini bisa menambal lubang kelemahan ketika
mesin partai yang diharapkan bisa bergerak maksimal di tengah jalan ternyata
mengalami kemacetan politik. Berkait faktor sukarelawan, yang perlu dilihat
adalah apakah mereka merupakan kategori sukarelawan yang bersifat otonom,
yang didorong oleh kesadaran politik sendiri untuk mendukun, atau sukarelawan
yang termobilisasi, yakni mereka yang digerakkan orang lain, bukan atas dasar
kesadaran penuh. Semakin banyak sukarelawan yang bersedia memberikan dukungan
kepada pasangan capres terutama mereka yang bergerak atas kesadaran sendiri,
akan bisa menambah peluang perolehan dukungan suara. Keempat; strategi
kampanye. Pasangan capres harus beradu tajam dalam strategi kampanye. Dengan
rentang waktu yang tersisa, kedua pasangan capres perlu memperhitungkan
pemetaan wilayah atau komunitas tujuan yang hendak disasar demi efektivitas
pesan dan efek yang dicapai (obtained effect). Selain itu, kedua pasangan
juga perlu mengantisipasi munculnya beragam kampanye hitam yang pada pilpres
kali ini sangat masif. Keterlambatan antisipasi terhadap kampanye hitam bukan
tidak mungkin akan menimbulkan penyusutan simpati. Kampanye semestinya lebih
diarahkan pada upaya pemaparan orientasi kepemimpinan kandidat ketika mereka
nanti memimpin. Pada kampanye hitam, meskipun publik juga memiliki daya
resistensi terhadap halseperti itu, sejatinya telah merusak substansi
demokrasi. Mereka yang melakukan kampanye jenis itu tidak melihat pilpres
sebagai arena kompetisi wajar dalam sebuah sistem demokrasi, namun lebih
sebagai ajang meraih kekuasaan sambil meminggirkan nilai-nilai mulia dalam demokrasi
itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar