Senin, 07 Juli 2014

Visi Pendidikan Calon Presiden

                                Visi Pendidikan Calon Presiden

Darmaningtyas  ;   Pengamat Pendidikan
KORAN TEMPO,  05 Juli 2014
                                                


Debat calon wakil presiden (cawapres) Hatta Rajasa dan Jusuf Kalla pada 29 Juni lalu memberi kesan bahwa visi Prabowo Subianto-Hatta Rajasa seakan lebih baik bila dibanding visi Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Hal itu lantaran cara penyampaian Hatta Rajasa lebih terstruktur dan terukur dibanding JK yang terkesan retorik. Namun, bila membaca visi-misi kedua calon, sesungguhnya tidak demikian. Boleh jadi visi-misi Jokowi jauh lebih realistis dan implementatif, sekaligus menjawab persoalan di lapangan.

Berikut ini kutipan visi-misi kedua capres dalam bidang pendidikan yang berguna bagi mereka yang belum sempat menonton langsung. Pertama, visi-misi Prabowo-Hatta, antara lain: realokasi dan peningkatan efesiensi penggunaan anggaran; wajib belajar 12 tahun; menghapus pajak buku pelajaran; menghentikan penggantian buku pelajaran setiap tahun; mengembangkan pendidikan jarak jauh; pengiriman tunjangan profesi guru langsung ke rekening guru, merekrut 800.000 guru selama lima tahun; menaikkan tunjangan profesi guru menjadi rata-rata Rp 4 juta per bulan; merevisi kurikulum nasional; dan mewajibkan kembali kurikulum matematika dan bahasa Inggris untuk sekolah dasar serta pendidikan antikorupsi.

Kedua, visi-misi Jokowi-JK adalah wajib belajar 12 tahun; menata kembali kurikulum pendidikan nasional; memperjuangkan agar biaya pendidikan terjangkau bagi seluruh warga negara; menghentikan model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional (termasuk ujian nasional); melakukan perekrutan dan distribusi tenaga pengajar (guru) yang berkualitas secara merata; dan memberikan jaminan hidup yang memadai para guru yang ditugaskan di daerah terpencil, dengan pemberian tunjangan fungsional yang memadai dan asuransi yang menjamin.

Visi-misi kedua capres tersebut ada yang beririsan, seperti program wajib belajar 12 tahun, penataan kurikulum, serta perekrutan dan peningkatan kesejahteraan guru.

Bila kita melihat statistik dan persoalan pendidikan di lapangan, visi Jokowi tentang guru lebih realistik. Janji Prabowo-Hatta untuk mengangkat 800.000 guru mustahil terealisasi. Mengapa? Problem dasar kita bukan kekurangan guru, melainkan distribusi yang tidak merata. Jumlah guru saat ini 2,9 juta dengan murid 40-an juta. Rasio guru dengan murid adalah 1:13,7. Rasio ini amat ideal, karena menurut UNESCO, rasio guru-murid yang ideal itu adalah 1:20. Jadi kita bukan kekurangan guru, melainkan kelebihan guru. Oleh karena itu, solusinya bukan mengangkat guru baru-kecuali mengganti yang pensiun-melainkan distribusi guru ke seluruh negeri agar merata. Mereka juga harus diberi insentif dan tunjangan tertentu, seperti visi Jokowi.

Janji Prabowo-Hatta yang akan memberikan tunjangan profesional Rp 4 juta sebulan juga mustahil, karena melanggar UU Guru dan Dosen. Hal ini tidak realistis. Pasal 16 ayat (2) UU Guru dan Dosen menyebutkan bahwa tunjangan profesi guru tersebut setara dengan satu kali gaji pokok guru pegawai negeri. Gaji pokok guru pegawai negeri tidak mencapai Rp 4 juta. Artinya, janji Rp 4 juta itu tidak punya dasar yang jelas. Itu pun tidak realistis, karena tunjangan profesional sebesar gaji pokok saja belum mampu terbayar semua. Belum ada 50 persen dari 2,9 juta guru yang menerima tunjangan profesional karena keterbatasan dana. Dengan menambah besaran tunjangan guru, berarti semakin sedikit jumlah guru yang dapat menerimanya. Adapun pembayaran tunjangan profesional langsung ke rekening guru telah dilaksanakan pada masa awal pemberian tunjangan profesional dulu, dan sekarang diterapkan lagi, sehingga tidak perlu menunggu presiden baru. Janji menambah 800 ribu guru dan tunjangan guru Rp 4 juta per bulan justru bisa menjadi beban APBN yang sangat besar dan membuat negara bangkrut. Tapi, mendistribusikan guru ke daerah-daerah dengan pemberian insentif, selain jauh lebih efisien, juga menjawab persoalan dasar pendidikan nasional, yaitu masalah kesenjangan kualitas antara kota Jawa-luar Jawa dan kota-desa.

Janji pelaksanaan wajib belajar 12 tahun oleh kedua capres tidak sulit untuk dilaksanakan, asalkan mau. Kebutuhan dana tambahan sebesar Rp 40 triliun akan dapat diwujudkan dengan mengalihkan sebagian subsidi untuk BBM ke sektor pendidikan. Kenaikan harga BBM tidak akan menimbulkan protes, asalkan layanan pendidikan sampai SMTA gratis dan kesehatan ataupun transportasi terjangkau.

Adapun mengenai penataan kurikulum yang dijanjikan oleh kedua capres, masih mungkin dilakukan, mengingat sekarang implementasi Kurikulum 2013 masih dalam taraf permulaan dan masih banyak kendala, sehingga belum tentu semua sekolah siap. Pemenang pilpres 9 Juli mendatang dapat langsung menyerukan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menunda implementasi Kurikulum 2013 sambil menunggu perbaikan dokumen, sesuai dengan visi-misi pemenang, terutama penekanan pada aspek muatan lokal dan nasionalisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar