Visi
Pendidikan Calon Presiden
Darmaningtyas ;
Pengamat Pendidikan
|
KORAN
TEMPO, 05 Juli 2014
Debat calon wakil presiden (cawapres) Hatta Rajasa dan Jusuf Kalla pada
29 Juni lalu memberi kesan bahwa visi Prabowo Subianto-Hatta Rajasa seakan
lebih baik bila dibanding visi Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Hal itu
lantaran cara penyampaian Hatta Rajasa lebih terstruktur dan terukur
dibanding JK yang terkesan retorik. Namun, bila membaca visi-misi kedua
calon, sesungguhnya tidak demikian. Boleh jadi visi-misi Jokowi jauh lebih
realistis dan implementatif, sekaligus menjawab persoalan di lapangan.
Berikut ini kutipan visi-misi kedua capres dalam bidang pendidikan yang
berguna bagi mereka yang belum sempat menonton langsung. Pertama, visi-misi
Prabowo-Hatta, antara lain: realokasi dan peningkatan efesiensi penggunaan
anggaran; wajib belajar 12 tahun; menghapus pajak buku pelajaran;
menghentikan penggantian buku pelajaran setiap tahun; mengembangkan
pendidikan jarak jauh; pengiriman tunjangan profesi guru langsung ke rekening
guru, merekrut 800.000 guru selama lima tahun; menaikkan tunjangan profesi guru
menjadi rata-rata Rp 4 juta per bulan; merevisi kurikulum nasional; dan
mewajibkan kembali kurikulum matematika dan bahasa Inggris untuk sekolah
dasar serta pendidikan antikorupsi.
Kedua, visi-misi Jokowi-JK adalah wajib belajar 12 tahun; menata kembali
kurikulum pendidikan nasional; memperjuangkan agar biaya pendidikan
terjangkau bagi seluruh warga negara; menghentikan model penyeragaman dalam
sistem pendidikan nasional (termasuk ujian nasional); melakukan perekrutan
dan distribusi tenaga pengajar (guru) yang berkualitas secara merata; dan
memberikan jaminan hidup yang memadai para guru yang ditugaskan di daerah
terpencil, dengan pemberian tunjangan fungsional yang memadai dan asuransi
yang menjamin.
Visi-misi kedua capres tersebut ada yang beririsan, seperti program
wajib belajar 12 tahun, penataan kurikulum, serta perekrutan dan peningkatan
kesejahteraan guru.
Bila kita melihat statistik dan persoalan pendidikan di lapangan, visi
Jokowi tentang guru lebih realistik. Janji Prabowo-Hatta untuk mengangkat
800.000 guru mustahil terealisasi. Mengapa? Problem dasar kita bukan
kekurangan guru, melainkan distribusi yang tidak merata. Jumlah guru saat ini
2,9 juta dengan murid 40-an juta. Rasio guru dengan murid adalah 1:13,7.
Rasio ini amat ideal, karena menurut UNESCO, rasio guru-murid yang ideal itu
adalah 1:20. Jadi kita bukan kekurangan guru, melainkan kelebihan guru. Oleh
karena itu, solusinya bukan mengangkat guru baru-kecuali mengganti yang
pensiun-melainkan distribusi guru ke seluruh negeri agar merata. Mereka juga
harus diberi insentif dan tunjangan tertentu, seperti visi Jokowi.
Janji Prabowo-Hatta yang akan memberikan tunjangan profesional Rp 4
juta sebulan juga mustahil, karena melanggar UU Guru dan Dosen. Hal ini tidak
realistis. Pasal 16 ayat (2) UU Guru dan Dosen menyebutkan bahwa tunjangan
profesi guru tersebut setara dengan satu kali gaji pokok guru pegawai negeri.
Gaji pokok guru pegawai negeri tidak mencapai Rp 4 juta. Artinya, janji Rp 4
juta itu tidak punya dasar yang jelas. Itu pun tidak realistis, karena
tunjangan profesional sebesar gaji pokok saja belum mampu terbayar semua.
Belum ada 50 persen dari 2,9 juta guru yang menerima tunjangan profesional
karena keterbatasan dana. Dengan menambah besaran tunjangan guru, berarti
semakin sedikit jumlah guru yang dapat menerimanya. Adapun pembayaran
tunjangan profesional langsung ke rekening guru telah dilaksanakan pada masa
awal pemberian tunjangan profesional dulu, dan sekarang diterapkan lagi,
sehingga tidak perlu menunggu presiden baru. Janji menambah 800 ribu guru dan
tunjangan guru Rp 4 juta per bulan justru bisa menjadi beban APBN yang sangat
besar dan membuat negara bangkrut. Tapi, mendistribusikan guru ke
daerah-daerah dengan pemberian insentif, selain jauh lebih efisien, juga
menjawab persoalan dasar pendidikan nasional, yaitu masalah kesenjangan
kualitas antara kota Jawa-luar Jawa dan kota-desa.
Janji pelaksanaan wajib belajar 12 tahun oleh kedua capres tidak sulit
untuk dilaksanakan, asalkan mau. Kebutuhan dana tambahan sebesar Rp 40 triliun
akan dapat diwujudkan dengan mengalihkan sebagian subsidi untuk BBM ke sektor
pendidikan. Kenaikan harga BBM tidak akan menimbulkan protes, asalkan layanan
pendidikan sampai SMTA gratis dan kesehatan ataupun transportasi terjangkau.
Adapun mengenai penataan kurikulum yang dijanjikan oleh kedua capres,
masih mungkin dilakukan, mengingat sekarang implementasi Kurikulum 2013 masih
dalam taraf permulaan dan masih banyak kendala, sehingga belum tentu semua
sekolah siap. Pemenang pilpres 9 Juli mendatang dapat langsung menyerukan
kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menunda implementasi
Kurikulum 2013 sambil menunggu perbaikan dokumen, sesuai dengan visi-misi
pemenang, terutama penekanan pada aspek muatan lokal dan nasionalisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar