Palestina
Achmad Fauzi ;
Aktivis Multikulturalisme
|
KORAN
TEMPO, 05 Juli 2014
Palestina mendapat dukungan untuk menjadi negara berdaulat dari calon
presiden (capres) Joko Widodo. Dukungan itu disampaikan ketika acara debat
capres bertajuk "Pertahanan dan
Politik Luar Negeri" yang digelar beberapa waktu lalu. Parlemen
Negara-negara Anggota Organisasi Kerja Sama Islam dalam konferensi ke-7 PUIC
di Palembang, dua tahun lalu, juga mengimbau agar negara dengan basis
masyarakat Islam mendukung Palestina merdeka. Perjuangan itu harus didukung
karena kemerdekaan yang diidamkan warga Palestina merupakan hak dasar yang
harus diperoleh setiap manusia.
Meskipun demikian, prospek perjuangan sebagai negara berdaulat yang
diupayakan sejak dulu menghadapi batu sandungan. Israel, misalnya, acap
melancarkan agresi politik global dengan melibatkan banyak negara. Mereka
memobilisasi organisasi politik serta media untuk menggalang opini publik.
Perang opini di media internasional pun bergulir panas. Amerika
Serikat, sebagai tumpuan utama dalam menyokong arogansi Israel,
berkemungkinan besar mempergunakan kekuatan politiknya di PBB. Karena itu,
harapan dunia internasional adalah pandangan umum dan sikap politik DK PBB
tidak boleh kalah posisi tawar dengan obsesi politik AS. DK PBB bertugas
memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Dengan demikian, dalam
menjalankan tugasnya, mereka tidak boleh terikat oleh kepentingan blok mana
pun, kecuali untuk terciptanya perdamaian dunia.
Jika ditilik akar historisnya, sejatinya konflik Israel dengan
Palestina hanyalah pertengkaran antarkeluarga. Konflik yang pada akarnya
merupakan perebutan teritori ini bisa dibilang sudah berumur tua, yaitu sejak
keduanya masih menjadi persekutuan tribal yang nomaden. Konflik itu mulai
meruncing tatkala kepentingan politik internasional Barat membonceng di
belakangnya. Israel yang merasa punya "sertifikat tanah dari Tuhan"
itu semakin mengukuhkan hak kepemilikannya secara Ilahi. Konflik berjalan
ratusan tahun dan menang-kalah silih berganti. Tapi, dalam perkembangan
kemudian, tidak dapat dimungkiri hal ini bereskalasi. Ketika kekuatan Barat
secara menyeluruh mengambil posisi di belakang Israel, negara-negara berbasis
Islam, baik dekat maupun jauh, bersimpati kepada Palestina. Bahkan, dampak
dari sikap memihak itu secara politik terasa sampai ke Indonesia.
Kini penerapan opsi perjuangan bersenjata tidak akan mampu mendongkrak
posisi tawar Palestina, sebagaimana diutarakan para penganjurnya. Justru,
perjuangan bersenjata dinilai sebagai bentuk pengabadian konflik dan
pembangkangan perdamaian. Dalam kalkulasi politik, tensi ketegangan yang
dibentuk oleh faksi perjuangan bersenjata justru membuyarkan konsentrasi
perundingan. Karena itu, faksi-faksi perjuangan yang terjadi di Palestina
selayaknya menyatukan tekad untuk bersama-sama meraih kedaulatan dengan cara
dialog. Dialog dan lobi politik internasional yang melibatkan semua pihak
merupakan pilihan elegan dan manusiawi. Tidak ada yang dimenangkan ataupun
dikalahkan dalam opsi perjuangan bersenjata. Semuanya akan diakhiri dengan
kehancuran bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar