Minggu, 06 Juli 2014

Visi Misi soal Hutan dan Lingkungan

                        Visi Misi soal Hutan dan Lingkungan

Transtoto Handadhari  ;   Rimbawan Senior;
Ketua Umum Yayasan Green Network Indonesia
KOMPAS,  05 Juli 2014
                                                


DEBAT capres-cawapres masih belum menyentuh peran dan fungsi kehutanan sebagai ”inti lingkungan hidup”. Padahal, perannya sangat besar dalam melindungi pembangunan dan kesejahteraan.

Tuntutan para konservasionis dan pengelola sumber daya hutan tak mengada-ada. Seluas 72 persen dari daratan Indonesia kawasan hutan negara yang berperan sangat strategis dalam setiap aspek kehidupan negara. 

Eksistensi sebatang pohon saja memberikan manfaat sangat berarti bagi lingkungan. Hutan sebagai sebuah komunitas berbagai unsur yang berinteraktif membuahkan dukungan yang vital bagi sistem kehidupan manusia dan seluruh biota kehidupan. Pengelolaan yang benar terhadap kekayaan sumber daya hutan (SDH) akan sangat mampu menyejahterakan masyarakat dan menjamin berjalannya pembangunan yang lestari lingkungan. Begitu pula sebaliknya.

 Pembangunan ekonomi, penyejahteraan rakyat, sampai masalah keamanan negara dan politik luar negeri tidak bisa dilepaskan dari upaya keberhasilan pengelolaan hutan dan kehutanan. Konsep pengelolaan hutan yang benar akan menjamin pelestarian biodiversitas dan lingkungan hidup, penghindaran bencana alam, peningkatan produktivitas lahan, serta kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

Kemiskinan di daerah sekitar hutan terjadi akibat terpotongnya akses SDH bagi rakyat. Kemiskinan rakyat sesungguhnya bukan terkait luasnya lahan konsesi pengusahaan olah lahan yang konon akan dibatasi, melainkan lebih pada keadilan dalam memanfaatkan dan mendistribusikan hasil- hasilnya. Pembatasan luas lahan usaha di kehutanan (ataupun perkebunan) bukan jalan keluar menyejahterakan rakyat. Justru bisa terjadi sebaliknya apabila pemerintah tak mampu mengatur teknik pemanfaatan ataupun mengendalikannya.

Persoalan tata ruang wilayah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten, berkontribusi besar terhadap terjadinya bencana alam dan lingkungan. Hutan yang selayaknya jadi benteng pertama pengendalian bencana lingkungan dan sebagai benteng terakhir pelestarian plasma nutfah akan ikut terpotong-potong pengelolaannya ketika tata ruang ditetapkan dengan tidak benar.

Kebijakan politik tata ruang wilayah seharusnya dikoordinasikan secara internasional. Dalam skala ASEAN saja, apa yang dilakukan Indonesia tidak tampak sejalan dengan kebijakan negara lain, bahkan dengan negara-negara yang berbatasan langsung seperti Malaysia. Masing- masing terkesan berjalan sendiri-sendiri sesuai selera kebijakan politik pembangunannya.

Dalam hal pemeranan fungsi ekonomi SDH, Indonesia yang pada awal pemerintahan Soeharto (menjelang 1970-an) modal pembangunannya didukung sebagian terbesar oleh ”emas hijau” kekayaan hutan, kini nyaris tak lagi dapat mengandalkan diri dari kekayaan hutan tropis yang terluas ketiga di dunia. Berbagai persoalan mendera pengusahaan hutan, mulai dari deforestasi yang sangat besar dan kebakaran hutan berulang-ulang, gencarnya gugatan LSM asing, tuduhan penyumbang pemanasan global, hingga ”perintah” moratorium hutan tak lain merupakan serangan kompetitor luar negeri.

Di dalam negeri, konflik land tenure dan konflik sosial yang berkepanjangan akibat berbagai tuntutan keadilan pemanfaatan SDH yang mengabaikan kebutuhan hidup masyarakat marjinal, tuntutan eksistensi masyarakat hukum adat  dan kebijakan politik, berujung pada munculnya hambatan yang dialami para pengusaha yang memanfaatkan hutan. Ketidaktegasan pemerintah dalam politik kehutanan sangat merugikan jalannya pembangunan dan pemerataan kesejahteraan di negeri ini.

Contoh menarik, pengelolaan hutan Jawa yang berumur ratusan tahun. Hutan Jawa yang hanya 2,4 juta hektar itu mampu mendukung kehidupan sekitar 24 juta jiwa secara langsung, menghasilkan tumbuhan tanaman pangan bernilai lebih dari Rp 3 triliun per tahun, dan manfaat lingkungan lainnya. Atau, cerita lain dari Negara Bagian British Columbia di Kanada yang dengan hutannya seluas 90-an juta hektare mampu memakmurkan negaranya dari hasil hutan dan produk olahannya. Bayangkan dengan hutan daratan sekitar 130 juta hektar, tentu menjadi tantangan bagi para politikus dan pengelola negara untuk mampu memanfaatkannya dengan baik.

Dunia sedang menunggu hasil pilihan rakyat Indonesia 9 Juli 2014. Di ujung keriuhan politik ini rakyat berharap diperolehnya sebuah ketenteraman dan kesejahteraan hidup yang—antara lain didukung oleh gemerlapnya kekayaan sumber daya alam, hutan dan lingkungan, yang sementara ini ungkapan kebijakan pengelolaannya masih terabaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar