Visi
Misi soal Hutan dan Lingkungan
Transtoto Handadhari ;
Rimbawan Senior;
Ketua Umum Yayasan Green Network Indonesia
|
KOMPAS,
05 Juli 2014
DEBAT capres-cawapres masih belum menyentuh peran dan fungsi kehutanan
sebagai ”inti lingkungan hidup”. Padahal, perannya sangat besar dalam
melindungi pembangunan dan kesejahteraan.
Tuntutan para konservasionis dan pengelola sumber daya hutan tak
mengada-ada. Seluas 72 persen dari daratan Indonesia kawasan hutan negara
yang berperan sangat strategis dalam setiap aspek kehidupan negara.
Eksistensi sebatang pohon saja memberikan manfaat sangat berarti bagi
lingkungan. Hutan sebagai sebuah komunitas berbagai unsur yang berinteraktif
membuahkan dukungan yang vital bagi sistem kehidupan manusia dan seluruh
biota kehidupan. Pengelolaan yang benar terhadap kekayaan sumber daya hutan
(SDH) akan sangat mampu menyejahterakan masyarakat dan menjamin berjalannya
pembangunan yang lestari lingkungan. Begitu pula sebaliknya.
Pembangunan ekonomi,
penyejahteraan rakyat, sampai masalah keamanan negara dan politik luar negeri
tidak bisa dilepaskan dari upaya keberhasilan pengelolaan hutan dan
kehutanan. Konsep pengelolaan hutan yang benar akan menjamin pelestarian
biodiversitas dan lingkungan hidup, penghindaran bencana alam, peningkatan
produktivitas lahan, serta kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
Kemiskinan di daerah sekitar hutan terjadi akibat terpotongnya akses
SDH bagi rakyat. Kemiskinan rakyat sesungguhnya bukan terkait luasnya lahan
konsesi pengusahaan olah lahan yang konon akan dibatasi, melainkan lebih pada
keadilan dalam memanfaatkan dan mendistribusikan hasil- hasilnya. Pembatasan
luas lahan usaha di kehutanan (ataupun perkebunan) bukan jalan keluar
menyejahterakan rakyat. Justru bisa terjadi sebaliknya apabila pemerintah tak
mampu mengatur teknik pemanfaatan ataupun mengendalikannya.
Persoalan tata ruang wilayah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten,
berkontribusi besar terhadap terjadinya bencana alam dan lingkungan. Hutan
yang selayaknya jadi benteng pertama pengendalian bencana lingkungan dan
sebagai benteng terakhir pelestarian plasma nutfah akan ikut terpotong-potong
pengelolaannya ketika tata ruang ditetapkan dengan tidak benar.
Kebijakan politik tata ruang wilayah seharusnya dikoordinasikan secara
internasional. Dalam skala ASEAN saja, apa yang dilakukan Indonesia tidak
tampak sejalan dengan kebijakan negara lain, bahkan dengan negara-negara yang
berbatasan langsung seperti Malaysia. Masing- masing terkesan berjalan
sendiri-sendiri sesuai selera kebijakan politik pembangunannya.
Dalam hal pemeranan fungsi ekonomi SDH, Indonesia yang pada awal
pemerintahan Soeharto (menjelang 1970-an) modal pembangunannya didukung
sebagian terbesar oleh ”emas hijau” kekayaan hutan, kini nyaris tak lagi
dapat mengandalkan diri dari kekayaan hutan tropis yang terluas ketiga di
dunia. Berbagai persoalan mendera pengusahaan hutan, mulai dari deforestasi
yang sangat besar dan kebakaran hutan berulang-ulang, gencarnya gugatan LSM
asing, tuduhan penyumbang pemanasan global, hingga ”perintah” moratorium
hutan tak lain merupakan serangan kompetitor luar negeri.
Di dalam negeri, konflik land tenure dan konflik sosial yang
berkepanjangan akibat berbagai tuntutan keadilan pemanfaatan SDH yang
mengabaikan kebutuhan hidup masyarakat marjinal, tuntutan eksistensi
masyarakat hukum adat dan kebijakan
politik, berujung pada munculnya hambatan yang dialami para pengusaha yang memanfaatkan
hutan. Ketidaktegasan pemerintah dalam politik kehutanan sangat merugikan
jalannya pembangunan dan pemerataan kesejahteraan di negeri ini.
Contoh menarik, pengelolaan hutan Jawa yang berumur ratusan tahun.
Hutan Jawa yang hanya 2,4 juta hektar itu mampu mendukung kehidupan sekitar 24
juta jiwa secara langsung, menghasilkan tumbuhan tanaman pangan bernilai
lebih dari Rp 3 triliun per tahun, dan manfaat lingkungan lainnya. Atau,
cerita lain dari Negara Bagian British Columbia di Kanada yang dengan
hutannya seluas 90-an juta hektare mampu memakmurkan negaranya dari hasil
hutan dan produk olahannya. Bayangkan dengan hutan daratan sekitar 130 juta
hektar, tentu menjadi tantangan bagi para politikus dan pengelola negara
untuk mampu memanfaatkannya dengan baik.
Dunia sedang menunggu hasil pilihan rakyat Indonesia 9 Juli 2014. Di
ujung keriuhan politik ini rakyat berharap diperolehnya sebuah ketenteraman
dan kesejahteraan hidup yang—antara lain didukung oleh gemerlapnya kekayaan
sumber daya alam, hutan dan lingkungan, yang sementara ini ungkapan kebijakan
pengelolaannya masih terabaikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar