Minggu, 06 Juli 2014

Teka-teki Laut Tiongkok Selatan

                                Teka-teki Laut Tiongkok Selatan

Arif Havas Oegroseno  ;   Alumnus Harvard Law School 92;
Presiden Konferensi Konvensi Hukum Laut PBB Ke-20
KOMPAS,  05 Juli 2014
                                                


KLAIM tumpang tindih di Laut Tiongkok Selatan bukan masalah baru, tetapi sering membingungkan karena kompleksitas masalahnya. Ada yang berpandangan bahwa ini adalah rebutan sumur minyak atau soal batas laut atau ekspansi wilayah.  Inti pokok masalah ini adalah perebutan kepemilikan pulau-pulau, batuan, karang, dan beting pasir di tengah laut di gugusan pulau-pulau Spratley dan Paracel.

Di Spratley terdapat 140 bentukan alamiah dengan jumlah pulau kecil kurang dari 40 dan sisanya adalah batuan, karang, dan pasir yang sebagian ada yang berada di bawah permukaan air. Brunei, Tiongkok, Filipina, Malaysia, dan Vietnam mengklaim kepemilikan atas pulau-pulau Spratley. Sementara di Paracel terdapat 35 bentukan alamiah dengan pulau-pulau sangat kecil, batuan, karang, dan onggokan pasir. Tiongkok dan Vietnam mengklaim semuanya, sementara Brunei, Filipina, dan Malaysia tidak mengklaim, tanpa alasan yang jelas.

Posisi Indonesia kuat

Dari yurisprudensi sengketa perebutan pulau di seluruh dunia, tak ada kasus di mana pihak yang bersengketa lebih dari dua dan tidak ada yang obyek sengketanya berjumlah ratusan dengan bentuk sangat beragam.

Ini adalah inti permasalahannya, sengketa kedaulatan antarlima negara memperebutkan 175 bentukan alamiah dari pulau hingga beting. Angka 175 pun masih dipersengketakan karena ada yang berpandangan jumlah obyeknya mencapai 650.

Dari ratusan obyek sengketa kedaulatan tersebut, tak ada satu pun yang terkait dengan Sebetul, Sekatung, dan Senua, pulau-pulau terluar Indonesia di Natuna yang memiliki titik-titik dasar dan garis pangkal negara kepulauan yang telah didaftarkan ke Sekjen PBB dan tak pernah diprotes satu negara mana pun. Bahkan, jarak antara Pulau Sekatung dan Pulau Spratley yang sekarang diduduki Vietnam dan berlokasi di titik paling bawah gugusan Spratley Islands lebih dari 400 mil laut (720 km), dua kali lipat jarak ZEE suatu negara. Jarak antara Pulau Sekatung dan Pulau Woody di Paracel bahkan lebih jauh lagi, yaitu 1.500 mil laut (2.700 km).

Sengketa kedaulatan dan klaim tumpang tindih ini sama sekali tak menyentuh status kepemilikan pulau atau wilayah kedaulatan Indonesia. Pandangan beberapa pengamat geopolitik asing bahwa Indonesia adalah salah satu negara pengklaim atau claimant Laut Tiongkok Selatan adalah suatu pandangan yang salah.

Semua pulau Indonesia dan wilayah kedaulatan Indonesia tidak ada yang menjadi bagian dari sengketa Spratley dan Paracel.  Sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Deklarasi Djuanda 1957, dan berlakunya UNCLOS 1982, Indonesia juga tidak pernah berpikir menjadi claimant ratusan obyek di tengah lautan yang berjarak hingga 1.500 mil laut dari salah satu pulau terluarnya.

Bagaimana dengan peta sembilan titik yang diterbitkan Tiongkok? Peta ini bukan satu-satunya peta klaim yang ada di sekitar Indonesia. Paling tidak ada tiga peta, yaitu peta Tiongkok, peta Malaysia 1979, dan peta Perjanjian Paris 1898 yang ditolak Indonesia karena bertentangan dengan hukum internasional dan Konvensi Hukum Laut 1982.

Posisi hukum internasional terhadap peta klaim suatu negara sangat jelas, yaitu menolak peta sepihak dalam klaim kedaulatan. Dalam yurisprudensi Burkina Faso vs Mali, Mahkamah Internasional menyatakan keberadaan suatu peta saja bukan merupakan bukti hak wilayah suatu negara. Dalam kasus arbitrase Eritrea vs Yemen, hakim menyatakan peta klaim wilayah dengan tanda titik-titik milik Eritrea tidak dapat diterima.

Sementara itu, dalam keputusan kasus Pedra Branca, Mahkamah Internasional bahkan tidak menggubris peta Malaysia 1979 yang mencantumkan pulau Pedra Branca sebagai milik Malaysia. Mahkamah bahkan memutuskan pulau Pedra Branca milik Singapura.

Sementara posisi Filipina dalam perundingan perbatasan maritim dengan Indonesia yang awalnya terhambat garis berbentuk kotak dari peta Perjanjian Paris 1898 telah berubah sejak Filipina mengubah klaim wilayah maritimnya sesuai Konvensi Hukum Laut 1982. Artinya, garis peta dari perjanjian yang berusia lebih dari 100 tahun pun harus disesuaikan dengan hukum internasional yang berlaku saat ini. Hal ini telah membuka jalan bagi penandatanganan batas maritim RI-Filipina pada Mei 2014.

Jelas bahwa posisi Indonesia sangat kuat. Indonesia bukan negara claimant, titik-titik dasar dan garis pangkal negara kepulauan, termasuk di pulau-pulau di Natuna, telah didaftarkan ke Sekjen PBB tanpa protes negara mana pun. Selain itu, penolakan Peradilan Internasional terhadap peta-peta klaim sepihak menjadi dasar kuat dalam hukum positif internasional dan juga praktik negara.  Terlebih lagi, hukum delimitasi batas maritim telah mengakui alokasi hak berdaulat Indonesia dengan Vietnam dan Malaysia di landas kontinen di Laut Tiongkok Selatan. Perjanjian dengan Malaysia bahkan sudah berusia 45 tahun dan juga tak pernah diprotes negara mana pun.

Kepentingan Indonesia

Meskipun tidak terlibat dalam sengketa kedaulatan ini, Indonesia berkepentingan dalam menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan karena tanpa stabilitas politik dan keamanan, perdagangan regional dan internasional di Asia Tenggara dan Asia Timur akan terpengaruh secara negatif.  Jalur navigasi ekspor dan impor akan sangat terganggu. Bahkan, kini pelaporan akan insiden perampokan di kapal yang berlayar di Laut Tiongkok Selatan semakin terlihat.

Perlunya menjaga stabilitas dan mengelola sengketa secara damai menjadi salah satu kepentingan utama Indonesia di kawasan, dan inilah yang mendorong Indonesia menjadi inisiator sekaligus fasilitator 2nd track diplomacy melalui workshop pengelolaan konflik Laut Tiongkok Selatan sejak tahun 1990. Pertemuan ini kemudian juga dilengkapi dengan pertemuan 1st track diplomacy yang menghasilkan ASEAN Declaration of Conduct on South China (DoC) Sea pada 2002. DoC ini tengah digarap untuk menjadi suatu Code of Conduct yang tentunya mengikat secara hukum.

Hukum internasional telah mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan dengan lokasi titik-titik dasar dan garis pangkal lurus negara kepulauan di pulau terluar yang akurat. Kita tak perlu khawatir. Peningkatan kekuatan laut dan udara Indonesia memang diperlukan sepadan dengan kondisinya sebagai negara kepulauan terbesar yang mengontrol perairan seluas 6 juta kilometer persegi di posisi silang strategis dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar