Teka-teki
Laut Tiongkok Selatan
Arif Havas Oegroseno ;
Alumnus Harvard Law School 92;
Presiden Konferensi Konvensi Hukum Laut PBB Ke-20
|
KOMPAS,
05 Juli 2014
KLAIM tumpang tindih di Laut Tiongkok Selatan bukan masalah baru,
tetapi sering membingungkan karena kompleksitas masalahnya. Ada yang
berpandangan bahwa ini adalah rebutan sumur minyak atau soal batas laut atau
ekspansi wilayah. Inti pokok masalah
ini adalah perebutan kepemilikan pulau-pulau, batuan, karang, dan beting
pasir di tengah laut di gugusan pulau-pulau Spratley dan Paracel.
Di Spratley terdapat 140 bentukan alamiah dengan jumlah pulau kecil
kurang dari 40 dan sisanya adalah batuan, karang, dan pasir yang sebagian ada
yang berada di bawah permukaan air. Brunei, Tiongkok, Filipina, Malaysia, dan
Vietnam mengklaim kepemilikan atas pulau-pulau Spratley. Sementara di Paracel
terdapat 35 bentukan alamiah dengan pulau-pulau sangat kecil, batuan, karang,
dan onggokan pasir. Tiongkok dan Vietnam mengklaim semuanya, sementara
Brunei, Filipina, dan Malaysia tidak mengklaim, tanpa alasan yang jelas.
Posisi
Indonesia kuat
Dari yurisprudensi sengketa perebutan pulau di seluruh dunia, tak ada
kasus di mana pihak yang bersengketa lebih dari dua dan tidak ada yang obyek
sengketanya berjumlah ratusan dengan bentuk sangat beragam.
Ini adalah inti permasalahannya, sengketa kedaulatan antarlima negara
memperebutkan 175 bentukan alamiah dari pulau hingga beting. Angka 175 pun
masih dipersengketakan karena ada yang berpandangan jumlah obyeknya mencapai
650.
Dari ratusan obyek sengketa kedaulatan tersebut, tak ada satu pun yang
terkait dengan Sebetul, Sekatung, dan Senua, pulau-pulau terluar Indonesia di
Natuna yang memiliki titik-titik dasar dan garis pangkal negara kepulauan
yang telah didaftarkan ke Sekjen PBB dan tak pernah diprotes satu negara mana
pun. Bahkan, jarak antara Pulau Sekatung dan Pulau Spratley yang sekarang
diduduki Vietnam dan berlokasi di titik paling bawah gugusan Spratley Islands
lebih dari 400 mil laut (720 km), dua kali lipat jarak ZEE suatu negara.
Jarak antara Pulau Sekatung dan Pulau Woody di Paracel bahkan lebih jauh
lagi, yaitu 1.500 mil laut (2.700 km).
Sengketa kedaulatan dan klaim tumpang tindih ini sama sekali tak
menyentuh status kepemilikan pulau atau wilayah kedaulatan Indonesia.
Pandangan beberapa pengamat geopolitik asing bahwa Indonesia adalah salah
satu negara pengklaim atau claimant Laut Tiongkok Selatan adalah suatu
pandangan yang salah.
Semua pulau Indonesia dan wilayah kedaulatan Indonesia tidak ada yang
menjadi bagian dari sengketa Spratley dan Paracel. Sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945, Deklarasi Djuanda 1957, dan berlakunya UNCLOS 1982, Indonesia juga
tidak pernah berpikir menjadi claimant ratusan obyek di tengah lautan yang
berjarak hingga 1.500 mil laut dari salah satu pulau terluarnya.
Bagaimana dengan peta sembilan titik yang diterbitkan Tiongkok? Peta
ini bukan satu-satunya peta klaim yang ada di sekitar Indonesia. Paling tidak
ada tiga peta, yaitu peta Tiongkok, peta Malaysia 1979, dan peta Perjanjian
Paris 1898 yang ditolak Indonesia karena bertentangan dengan hukum
internasional dan Konvensi Hukum Laut 1982.
Posisi hukum internasional terhadap peta klaim suatu negara sangat
jelas, yaitu menolak peta sepihak dalam klaim kedaulatan. Dalam yurisprudensi
Burkina Faso vs Mali, Mahkamah Internasional menyatakan keberadaan suatu peta
saja bukan merupakan bukti hak wilayah suatu negara. Dalam kasus arbitrase
Eritrea vs Yemen, hakim menyatakan peta klaim wilayah dengan tanda
titik-titik milik Eritrea tidak dapat diterima.
Sementara itu, dalam keputusan kasus Pedra Branca, Mahkamah
Internasional bahkan tidak menggubris peta Malaysia 1979 yang mencantumkan
pulau Pedra Branca sebagai milik Malaysia. Mahkamah bahkan memutuskan pulau
Pedra Branca milik Singapura.
Sementara posisi Filipina dalam perundingan perbatasan maritim dengan
Indonesia yang awalnya terhambat garis berbentuk kotak dari peta Perjanjian
Paris 1898 telah berubah sejak Filipina mengubah klaim wilayah maritimnya
sesuai Konvensi Hukum Laut 1982. Artinya, garis peta dari perjanjian yang
berusia lebih dari 100 tahun pun harus disesuaikan dengan hukum internasional
yang berlaku saat ini. Hal ini telah membuka jalan bagi penandatanganan batas
maritim RI-Filipina pada Mei 2014.
Jelas bahwa posisi Indonesia sangat kuat. Indonesia bukan negara
claimant, titik-titik dasar dan garis pangkal negara kepulauan, termasuk di
pulau-pulau di Natuna, telah didaftarkan ke Sekjen PBB tanpa protes negara
mana pun. Selain itu, penolakan Peradilan Internasional terhadap peta-peta
klaim sepihak menjadi dasar kuat dalam hukum positif internasional dan juga
praktik negara. Terlebih lagi, hukum
delimitasi batas maritim telah mengakui alokasi hak berdaulat Indonesia
dengan Vietnam dan Malaysia di landas kontinen di Laut Tiongkok Selatan.
Perjanjian dengan Malaysia bahkan sudah berusia 45 tahun dan juga tak pernah
diprotes negara mana pun.
Kepentingan
Indonesia
Meskipun tidak terlibat dalam sengketa kedaulatan ini, Indonesia berkepentingan
dalam menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan karena tanpa stabilitas
politik dan keamanan, perdagangan regional dan internasional di Asia Tenggara
dan Asia Timur akan terpengaruh secara negatif. Jalur navigasi ekspor dan impor akan sangat
terganggu. Bahkan, kini pelaporan akan insiden perampokan di kapal yang
berlayar di Laut Tiongkok Selatan semakin terlihat.
Perlunya menjaga stabilitas dan mengelola sengketa secara damai menjadi
salah satu kepentingan utama Indonesia di kawasan, dan inilah yang mendorong
Indonesia menjadi inisiator sekaligus fasilitator 2nd track diplomacy melalui workshop
pengelolaan konflik Laut Tiongkok Selatan sejak tahun 1990. Pertemuan ini
kemudian juga dilengkapi dengan pertemuan 1st
track diplomacy yang menghasilkan ASEAN
Declaration of Conduct on South China (DoC) Sea pada 2002. DoC ini tengah
digarap untuk menjadi suatu Code of
Conduct yang tentunya mengikat secara hukum.
Hukum internasional telah mengakui Indonesia sebagai negara kepulauan
dengan lokasi titik-titik dasar dan garis pangkal lurus negara kepulauan di
pulau terluar yang akurat. Kita tak perlu khawatir. Peningkatan kekuatan laut
dan udara Indonesia memang diperlukan sepadan dengan kondisinya sebagai
negara kepulauan terbesar yang mengontrol perairan seluas 6 juta kilometer
persegi di posisi silang strategis dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar