Menakar
Keberuntungan
James Luhulima ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
05 Juli 2014
WALAUPUN masih tetap membahas tentang kedua calon presiden, kali ini
sama sekali tidak disinggung tentang berbagai survei yang memperkirakan siapa
calon yang akan keluar sebagai pemenang. Bukan karena hasil survei yang satu
dengan lainnya memberikan hasil bacaan yang berbeda-beda, atau bahkan kadang
bertolak belakang, tetapi kali ini yang ingin diukur, atau ditakar, adalah
tentang keberuntungan yang selama ini mengiringi perjalanan karier dari
tiap-tiap capres.
Prabowo Subianto lahir 17 Oktober 1951 di Jakarta dari pasangan Sumitro
Djojohadikusumo dan Dora Marie Sigar. Sumitro adalah menteri keuangan pada
masa Soekarno. Akhir tahun 1950-an, Sumitro dituduh terlibat dalam gerakan
separatis PRRI/Permesta. Ketika gerakan itu ditumpas oleh Soekarno, Sumitro
dan keluarga menyingkir ke luar negeri. Setelah 10 tahun tinggal di
pengasingan, 1967, Sumitro dipanggil Soeharto untuk kembali ke Tanah Air.
Dan, menjadi Menteri Perdagangan (1968-1973) dan Menteri Riset (1973-1978).
Prabowo ikut kembali bersama ayahnya ke Tanah Air setelah tamat dari
sekolah menengah atas (SMA), American School, London. Tahun 1970, Prabowo
masuk ke Akademi Militer Nasional di Magelang. Setelah lulus tahun 1974,
Prabowo bergabung dengan Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha), yang
kini bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Kariernya di Angkatan Darat (AD) melesat cepat setelah pada tahun 1983
ia menikah dengan putri Presiden Soeharto, Siti Hediati Hariyadi (Titiek).
Keberuntungan saat itu melingkupi perjalanan karier Prabowo di militer.
Tahun 1995, Prabowo ditunjuk menjadi Komandan Kopassus dengan pangkat
brigadir jenderal. Setahun kemudian, jabatan Komandan Kopassus dinaikkan
levelnya menjadi Komandan Jenderal Kopassus, dan pangkat Prabowo pun
dinaikkan menjadi mayor jenderal. Dua tahun kemudian, 1998, Prabowo ditunjuk
menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis AD (Kostrad) dengan pangkat
letnan jenderal.
Beberapa hari menjelang mundurnya Presiden Soeharto, Prabowo sempat
mengupayakan agar dirinya dapat diangkat menjadi Panglima ABRI (kini,
Panglima TNI). Tanggal 18 Mei 1998, ia menemui Nurcholish Madjid yang akan bertemu
dengan Menteri Negara Sekretaris Negara Saadillah Mursjid di Sekretariat
Negara. Kepada Nurcholish Madjid, Prabowo minta disampaikan kepada Wakil
Presiden BJ Habibie (yang disiapkan untuk mengganti Presiden Soeharto) untuk
menunjuk dia (Prabowo) menjadi Panglima ABRI.
Namun, tampaknya pada saat itu keberuntungan telah meninggalkan
Prabowo. Alih-alih menjadi Panglima ABRI, pada tahun 1998 itu ia kemudian
malah dinonaktifkan dari militer karena tersangkut kasus penculikan aktivis
prodemokrasi. Prabowo lalu meninggalkan Indonesia dan menetap di Jordania. Ia
menerima tawaran dari sahabatnya, Pangeran Abdullah, untuk tinggal di sana.
Atas izin Presiden Abdurrahman Wahid tahun 2000, Prabowo kembali ke
Tanah Air. Tahun 2008, ia dan beberapa kawan mendirikan Partai Gerakan
Indonesia Raya (Gerindra) dan ikut dalam Pemilihan Umum Legislatif (Pileg)
2009. Pada tahun 2009 itu keberuntungan kembali melingkupi Prabowo. Sebagai
partai baru, Gerindra berhasil menempati urutan kedelapan dari sembilan
partai yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Prabowo kemudian dipilih menjadi calon wakil presiden (cawapres)
mendampingi capres Megawati Soekarnoputri dari PDI-P dalam Pemilihan Umum
Presiden (Pilpres) 2009. Sayangnya, keberuntungan Prabowo tidak cukup untuk
memenangkan dirinya sebagai wapres. Tahun 2014, Gerindra berhasil meraih
tempat di urutan ketiga dalam Pileg 2014, dengan perolehan suara 11,81
persen.
Melawan
Jokowi
Prabowo kembali mencoba keberuntungannya. Namun, kali ini sebagai
capres dalam Pilpres 2014. Ia akan berhadapan dengan capres dari PDI-P, Joko
Widodo, yang akrab dipanggil Jokowi. Jokowi yang lahir 21 Juni 1961 di
Surakarta, Jawa Tengah, adalah warga negara biasa. Tidak terlalu banyak yang
bisa ditulis tentang masa kecilnya. Namanya mulai mencuat ke permukaan ketika
Jokowi yang menjadi pengusaha mebel itu terpilih menjadi Wali Kota Surakarta
(Solo) tahun 2005. Kinerjanya yang baik selama menjadi Wali Kota Solo
(2005-2010) membuatnya terpilih kembali untuk periode yang kedua (2010-2015).
Keberuntungan mulai melingkupi Jokowi sejak ia terpilih menjadi Wali
Kota Solo. Prestasinya sebagai Wali Kota Solo tak hanya diapresiasi oleh
warga Solo, tetapi juga pada tataran yang lebih luas. Lulusan Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada ini, pada tahun 2012, tiga tahun sebelum
tugasnya berakhir, mulai digadang-gadang untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), ia maju sebagai calon
gubernur (cagub) DKI Jakarta. Banyak yang meremehkan keberuntungannya. Bahkan,
Gubernur DKI saat itu, Fauzi Bowo, dengan yakin mengatakan, ia akan menang
satu putaran. Jokowi memang fenomenal, sangat sulit untuk menjelaskan mengapa
orang menyukai dirinya dan mau memilihnya sebagai Gubernur DKI.
Langkahnya sulit dihentikan. Putaran pertama, diikuti enam cagub,
termasuk Gubernur Fauzi Bowo, ia meraih urutan teratas dengan 42,60 persen.
Fauzi Bowo di urutan kedua dengan 34,05 persen. Karena Jakarta, sebagai Ibu
Kota, mempersyaratkan kemenangan di atas 50 persen, maka Jokowi dan Fauzi
Bowo maju ke putaran kedua. Jokowi meraih suara 53,82 persen.
Kini, keberuntungan Jokowi akan diuji kembali. Dapatkah ia menang dalam
Pilpres 9 Juli mendatang? Tidak dapat dimungkiri bahwa baik Prabowo maupun
Jokowi adalah orang-orang yang kehidupannya dilingkupi keberuntungan.
Pertanyaannya cukupkah keberuntungan itu menjadikan salah satu di antara
mereka sebagai orang nomor satu di Indonesia. Kita tunggu.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar