Teror
bagi Kebebasan Pers
Iswandi Syahputra ;
Dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 04 Juli 2014
Sekelompok orang yang mengatasnamakan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) Yogyakarta menyegel kantor biro stasiun televisi TVOne di
Yogyakarta, Rabu (02/ 7).
Aksi penyegelan tersebut dilakukan sebagai reaksi atas siaran di TVOne
yang menyebutkan PDI Perjuangan berisi orang-orang dari Partai Komunis
Indonesia (PKI). Setelah melakukan penyegelan, massa kemudian melakukan orasi
dan menuntut TVOne untuk mengklarifikasi segera pemberitaan mereka yang
menurut mereka telah melecehkan dan PDI Perjuangan. Siapa saja tentu berhak
menyampaikan pendapat, sekalipun pendapat tersebut menolak pendapat pihak
lain.
Namun, menyampaikan pendapat yang disertai dengan kekerasan dan ancaman
karena suatu pemberitaan media massa dapat disebut sebagai teror bagi kebebasan
pers. Tindakan penyegelan disertai dengan aksi vandalisme menggunakan kata
yang tidak senonoh dimaksudkan untuk menciptakan kondisi rasa takut yang
nyata. Teror seperti ini ingin menciptakan perasaan terancam yang luar biasa
akan bahaya yang mungkin saja terjadi jika ancaman yang disampaikan tidak
dipenuhi.
Cara teror seperti ini biasanya diambil bukan karena diplomasi damai
mengalami jalan buntu atau tidak tersedianya mekanisme hukum. Teror seperti
ini cenderung didorong oleh sikap panik, bingung, dan lepasnya kontrol diri
karena tidak kuat menahan suatu tudingan yang tidak bisa dibantah dengan
kemampuan akal sehat. Pada akhirnya kumpulan sikap panik, bingung, dan
lepasnya kontrol tersebut meledak karena adanya perasaan yang sama dalam
suatu grup.
Hukum
Pers
Teror tersebut sebenarnya tidak perlu terjadi jika elite politik di PDI
Perjuangan memahami mekanisme hukum, terutama hukum pers dan penyiaran. Dalam
Undang- Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, setiap orang atau pihak
diberikan hak jawab. Hak jawab adalah hak yang dimiliki seseorang atau
sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap
pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Selain itu, dapat juga digunakan hak koreksi. Hak koreksi merupakan hak
setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang
diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Hak
tersebut diberikan kepada setiap orang atau pihak sebagai control and balance
terhadap kebebasan pers yang dilindungi oleh undang-undang. Kemerdekaan pers
tersebut dijamin bahkan sebagai hak asasi manusia. Untuk menjamin kemerdekaan
pers tersebut, pers diberi hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan
gagasan dan informasi.
Pers juga berperan mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi
yang tepat dan akurat. Tepat dan akurat itu dapat berupa informasi yang
didasarkan pada pendapat umum yang sudah ada dan tersedia sebelumnya, bukan
informasi yang bersifat mengarang, ilusi, atau bohong. Terkait berita di TVOne
yang menyebutkan PDI Perjuangan berisi orang-orang dari PKI sebenarnya sudah
dimuat terlebih dahulu di sejumlah media, terutama media online.
Terlepas benar atau tidaknya muatan informasi tersebut, dalam
perspektif Undang-Undang Pers, TVOne telah berperan mengembangkan pendapat
umum berdasarkan informasi yang tepat dan akurat. Hanya, TVOne kurang
hati-hati menyampaikan suatu informasi yang secara sosial masih dianggap
sensitif oleh kelompok tertentu. Informasinya belum tentu benar, tapi juga
tidak salah diberitakan karena sebelumnya banyak pihak melalui media online
mensinyalir kebangkitan PKI. Bilamana pihak yang dirugikan oleh pemberitaan
pers tidak menggunakan hak jawab atau hak koreksi yang diberikan undang-undang
kepadanya maka dapat menempuh jalan lain.
Pihak yang dirugikan dapat melaporkan pemberitaan tersebut kepada
kepolisian sebagai sebuah tindakan yang tidak menyenangkan atau pencemaran
nama baik partai. Kedua jalur tersebut merupakan pilihan elegan yang
disediakan oleh peraturan. Dengan mengambil hak jawab, hak koreksi atau
melaporkan pada kepolisian terhadap pemberitaan tersebut PDI Perjuangan telah
memberikan pendidikan politik yang sehat, bukan saja kepada publik, melainkan
juga kepada media yang bersangkutan.
Pilihan ini jauh lebih terhormat daripada melakukan penyegelan dan aksi
vandalisme. Dari peristiwa ini dapat dinilai masih ada elite politik yang
tidak ramah dengan kehidupan pers, tidak terbiasa dikritik dan lebih memilih
jalan pintas menggunakan teror dalam menyelesaikan masalah. Jika pada pers
yang dikenal sebagai pilar keempat demokrasi, teror disertai vandalisme dapat
terjadi secara terbuka, tentu hal ini mungkin terjadi pada rakyat kecil yang
tidak berdaya.
Tiga
Kerugian Politik
Peristiwa penyegelan dan aksi vandalisme terhadap TVOne bukan hal
pertama ini terjadi. Sebelumnya, tahun lalu pernah terjadi pada stasiun TVRI
Gorontalo. Saat itu massa yang tidak puas dengan pemberitaan TVRI mendatangi
kantor stasiun TVRI Gorontalo dan menerobos masuk ke dalam studio yang sedang
melangsungkan acara talkshow. Peristiwa tersebut bahkan disertai dengan
kekerasan fisik terhadap sejumlah jurnalis dan pekerja media. Pemberitaan
politik memang lebih dapat memicu kekerasan dan teror terhadap media dari
pada pemberitaan lainnya.
Hal ini terjadi karena politik menjadi titik temu antara kekuasaan,
bisnis, harapan, dan mungkin saja kehormatan dan martabat sebuah partai.
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri sendiri melalui pernyataan
resminya mengajak seluruh kader menjaga martabat partai dengan cara
mengedepankan penegakan hukum. Pernyataan tersebut memang belum terlambat
namun sebaiknya disampaikan sebelum peristiwa penyegelan dan aksi vandalisme
terhadap TVOne terjadi.
Patut disyukuri pernyataan tersebut keluar sehingga dapat mencegah aksi
serupa yang bisa dapat terjadi lebih parah. Jika tetap aksi penyegelan,
vandalisme, penyerbuan atau pendudukan stasiun TVOne yang dipilih
menyelesaikan masalah ini, setidaknya PDI Perjuangan akan mendapat tiga
kerugian. Pertama, aksi penyegelan dan vandalisme tersebut menegaskan bahwa
PDI Perjuangan disusupi oleh PKI seperti yang diberitakan oleh TVOne .
Jika berita TVOne tersebut keliru, seharusnya PDI Perjuangan menggunakan
hak jawab, hak koreksi, atau jalur hukum lainnya. Kedua, aksi penyegelan dan
vandalisme tersebut cermin dari sikap panik elite PDI Perjuangan. Menjelang
pemilihan presiden, tentu saja kepanikan ini bisa dieksploitasi oleh pihak
lawan. Jika ini dikelola dengan baik, tidak mustahil perolehan suara pasangan
Jokowi-JK yang diusung PDI Perjuangan akan merosot. Ketiga, aksi penyegelan
dan vandalisme dapat menjadikan Jokowi-JK musuh demokrasi dan kebebasan pers.
Kerugian ketiga ini lebih berdimensi jangka panjang karena dicatat oleh
sejarah. Agaknya tiga konteks ini yang mendorong Ketua Umum PDI Perjuangan
Megawati Soekarnoputri mengeluarkan pernyataan resminya terkait aksi
penyegelan dan vandalisme tersebut. Dalam pernyataannya, Megawati selalu
merujuk pada terciptanya demokrasi yang berkeadaban. Mengajak semua elemen memperjuangkan
pemilu yang jurdil, demokratis, aman, dan damai.
Semoga saja setelah pernyataan resmi Megawati tersebut tidak ada lagi
aksi serupa sehingga pers tidak merasa diteror dan pemilu presiden berjalan
dengan sehat dan jauh dari jalan yang sesat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar