Ancaman
Politik SARA
Fajar Riza Ul Haq ;
Direktur Eksekutif MAARIF Institute for Culture and
Humanity
|
KORAN
SINDO, 04 Juli 2014
Politik SARA dalam Pilpres 2014 membayangi politik pluralisme yang
selama ini menjadi modalitas utama melewati transisi demokrasi pasca-Orde
Baru.
Kasus terbaru adalah tuduhan komunisme terhadap salah satu partai yang
dilontarkan satu media tv nasional. Politik SARA merujuk pada upaya-upaya
propaganda, penyesatan opini, dan penggiringan pilihan politik atas dasar
sentimen etnis, agama, dan ideologi tanpa fakta, menegasikan faktor
integritas, kapabilitas, dan penilaian kinerja. Dalam konteks ini, isu SARA
seringkali menjadi amunisi destruktif dalam kampanye-kampanye hitam seperti
yang masif terjadi sekarang ini jelang hajatan pilpres.
Politik SARA lebih mengeksploitasi perbedaan agama dan etnis bahkan
ideologis, agak berbeda dengan orientasi politik aliran yang menekankan
afiliasi identitas keberagamaan (santri vs abangan) dalam menentukan pilihan
politik. Kemenangan pasangan SBYJK (60,62%) atas Megawati-Hasyim Muzadi
(39,38%) pada putaran kedua Pilpres 2004 telah dipahami sebagai manifestasi
senja kala politik aliran.
Koalisi gerbong nasionalis dan santri kala itu berhasil diatasi sosok
SBY-JK yang akar ideologisnya mungkin kurang mengakar dibandingkan
Mega-Hasyim. Tesis ini teruji pada ajang Pilpres 2009. Gerbong politik Mega-Prabowo
dan Jusuf Kalla-Wiranto tidak mampu mengimbangi magnet politik SBY-Boediono
yang meraup suara 60% lebih. Fenomena politik ini menandakan berkurangnya
signifikansi faktor sosiologis dalam menentukan perilaku pemilih sebagaimana
ditemukan Mujani dkk (2012).
Membesarnya ekspresi keberagaman pilihan politik di kalangan masyarakat
muslim tersebut sangat positif bagi perkembangan politik pluralisme dan
demokrasi di Indonesia. Gejala ini berkorelasi positif dengan perkembangan
politik di tingkat lokal sebagaimana ditunjukkan Nakamura (2012) saat
memotret perubahan pilihan politik di Kotagede pada Pemilu 2009. Namun,
penurunan peran politik aliran tidak otomatis menumpulkan sentimen politik
berbasis agama dan etnis dalam mentalitas politik masyarakat Indonesia.
Defisit
Demokrasi?
Kontestasi Pilpres 2014 pun tidak luput dari ketegangan politik SARA,
bahkan dengan tingkat penetrasi isu-isu ideologis yang lebih masif. Kutub
pertarungan politik pilpres itu adalah Koalisi Merah Putih yang mengusung
Prabowo-Hatta dan koalisi pimpinan PDIP yang mencalonkan Jokowi-Jusuf Kalla.
Namun, pada kenyataannya, Prabowo versus Jokowi merupakan episentrum
dari logika politik yang diperhadapkan dalam lanskap pertarungan kedua kutub
politik tersebut. Tidak ada pilihan ketiga sebagai alternatif dalam
konstalasi pilpres kali ini membuat jual-beli kampanye hitam sangat keras
hingga membabi-buta. Dalam konteks ini, isu SARA begitu rentan dan mudah
ditelan mentah-mentah masyarakat. Ini tidak hanya mengemuka di kalangan
menengah ke bawah yang rata-rata tinggal di pedesaan, namun juga kelompok terdidik
di perkotaan.
Salah satu bentuk kampanye hitam yang terus menerus diproduksi melalui
pelbagai media adalah sentimen SARA yang mengerdilkan semangat kebebasan
politik, kesetaraan hak politik, dan prinsip kebinekaan. Amuk politik SARA
ini patut mendapat perhatian serius. Misalnya kasus kecerobohan Wimar
Witoelar yang menampilkan logo Muhammadiyah di laman Facebook-nya sebagai
aksi penolakan terhadap salah satu capres sangat berpotensi dijadikan
pembenaran oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mereproduksi
isu-isu SARA.
Selain itu, isu-isu miring terkait SARA yang dijadikan bahan negative campaign juga menciptakan
pertarungan yang tidak sehat dan merusak kerukunan yang sudah susah payah
dibangun di masyarakat. Salah satu tantangan kita adalah bagaimana agar
ketegangan antaraktor politik dalam kontestasi kekuasaan-demokratik mampu
memperkuat sistem dan kultur demokrasi.
Bukan sebaliknya, membuat kita menderita defisit demokrasi; tergerusnya
nilai-nilai kewargaan (civic virtues)
sehingga terjangkiti perilaku politik tidak beradab. Ini pekerjaan rumah
pascapilpres saat biasanya masyarakat dicampakkan (kembali) oleh elite-elite
politik dan para pengikut kepentingannya. Pada satu sisi partisipasi
kelompok-kelompok masyarakat sipil dalam proses demokrasi pasca-Soeharto
telah menyelamatkan negeri ini dari kemungkinan defisit demokrasi sebagaimana
disinggung ekonom Harvard, Eric Chaney (2012), ketika mempelajari demokrasi
di negara- negara Timur Tengah.
Sejarah dominasi struktur negara terhadap perkembangan masyarakatnya
membuat demokrasi sulit berkembang. Di sinilah Indonesia sangat beruntung
karena demokrasinya ditopang oleh politik pluralisme yang sangat fundamental.
Pada sisi lain, paradoks demokrasi membuka pintu luas bagi munculnya
kelompok-kelompok masyarakat yang tidak tunduk pada nilai-nilai keadaban.
Kampanye hitam mengeksploitasi sentimen SARA dengan mudah diekspresikan di
ruangruang publik, bahkan sudah pada tahap menyiarkan kebencian dan
diskriminasi.
Fenomena ini dapat mengancam nilai-nilai keadaban publik dan kritisisme
dalam budaya demokrasi yang sedang kita tumbuhkan. Pembiaran apalagi pembenaran
perilaku politik semacam ini oleh institusi negara dan lembaga- lembaga
otoritas sosial-keagamaan akan mengancam eksistensi politik pluralisme kita.
Perlu kesadaran dan langkah bersama guna memerangi segala bentuk ekspresi
yang menihilkan nilai-nilai kebinekaan sebagai semangat bernegara. Pers harus
menyampaikan berita berdasarkan fakta, bukan opini warung kopi.
Media sosial seyogianya menjadi penyeimbang dan kontrol terhadap
informasi sumir yang beredar. Pengaruh serangan politik SARA terhadap
fluktuasi elektabilitas capres-cawapres mungkin masih diperdebatkan, namun
perilaku politik ini akan punya dampak politik jangka panjang yang tidak bisa
dipandang sebelah mata dalam waktu 5-10 tahun ke depan. Proses demokrasi
seyogianya mengokohkan nilai-nilai pluralisme-demokratik, bukan sebaliknya.
Mari kita ciptakan pilpres bermartabat! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar