Minggu, 06 Juli 2014

Ancaman Politik SARA

                                            Ancaman Politik SARA

Fajar Riza Ul Haq  ;   Direktur Eksekutif MAARIF Institute for Culture and Humanity
KORAN SINDO,  04 Juli 2014
                                                


Politik SARA dalam Pilpres 2014 membayangi politik pluralisme yang selama ini menjadi modalitas utama melewati transisi demokrasi pasca-Orde Baru.

Kasus terbaru adalah tuduhan komunisme terhadap salah satu partai yang dilontarkan satu media tv nasional. Politik SARA merujuk pada upaya-upaya propaganda, penyesatan opini, dan penggiringan pilihan politik atas dasar sentimen etnis, agama, dan ideologi tanpa fakta, menegasikan faktor integritas, kapabilitas, dan penilaian kinerja. Dalam konteks ini, isu SARA seringkali menjadi amunisi destruktif dalam kampanye-kampanye hitam seperti yang masif terjadi sekarang ini jelang hajatan pilpres.

Politik SARA lebih mengeksploitasi perbedaan agama dan etnis bahkan ideologis, agak berbeda dengan orientasi politik aliran yang menekankan afiliasi identitas keberagamaan (santri vs abangan) dalam menentukan pilihan politik. Kemenangan pasangan SBYJK (60,62%) atas Megawati-Hasyim Muzadi (39,38%) pada putaran kedua Pilpres 2004 telah dipahami sebagai manifestasi senja kala politik aliran.

Koalisi gerbong nasionalis dan santri kala itu berhasil diatasi sosok SBY-JK yang akar ideologisnya mungkin kurang mengakar dibandingkan Mega-Hasyim. Tesis ini teruji pada ajang Pilpres 2009. Gerbong politik Mega-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto tidak mampu mengimbangi magnet politik SBY-Boediono yang meraup suara 60% lebih. Fenomena politik ini menandakan berkurangnya signifikansi faktor sosiologis dalam menentukan perilaku pemilih sebagaimana ditemukan Mujani dkk (2012).

Membesarnya ekspresi keberagaman pilihan politik di kalangan masyarakat muslim tersebut sangat positif bagi perkembangan politik pluralisme dan demokrasi di Indonesia. Gejala ini berkorelasi positif dengan perkembangan politik di tingkat lokal sebagaimana ditunjukkan Nakamura (2012) saat memotret perubahan pilihan politik di Kotagede pada Pemilu 2009. Namun, penurunan peran politik aliran tidak otomatis menumpulkan sentimen politik berbasis agama dan etnis dalam mentalitas politik masyarakat Indonesia.

Defisit Demokrasi?

Kontestasi Pilpres 2014 pun tidak luput dari ketegangan politik SARA, bahkan dengan tingkat penetrasi isu-isu ideologis yang lebih masif. Kutub pertarungan politik pilpres itu adalah Koalisi Merah Putih yang mengusung Prabowo-Hatta dan koalisi pimpinan PDIP yang mencalonkan Jokowi-Jusuf Kalla.

Namun, pada kenyataannya, Prabowo versus Jokowi merupakan episentrum dari logika politik yang diperhadapkan dalam lanskap pertarungan kedua kutub politik tersebut. Tidak ada pilihan ketiga sebagai alternatif dalam konstalasi pilpres kali ini membuat jual-beli kampanye hitam sangat keras hingga membabi-buta. Dalam konteks ini, isu SARA begitu rentan dan mudah ditelan mentah-mentah masyarakat. Ini tidak hanya mengemuka di kalangan menengah ke bawah yang rata-rata tinggal di pedesaan, namun juga kelompok terdidik di perkotaan.

Salah satu bentuk kampanye hitam yang terus menerus diproduksi melalui pelbagai media adalah sentimen SARA yang mengerdilkan semangat kebebasan politik, kesetaraan hak politik, dan prinsip kebinekaan. Amuk politik SARA ini patut mendapat perhatian serius. Misalnya kasus kecerobohan Wimar Witoelar yang menampilkan logo Muhammadiyah di laman Facebook-nya sebagai aksi penolakan terhadap salah satu capres sangat berpotensi dijadikan pembenaran oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mereproduksi isu-isu SARA.

Selain itu, isu-isu miring terkait SARA yang dijadikan bahan negative campaign juga menciptakan pertarungan yang tidak sehat dan merusak kerukunan yang sudah susah payah dibangun di masyarakat. Salah satu tantangan kita adalah bagaimana agar ketegangan antaraktor politik dalam kontestasi kekuasaan-demokratik mampu memperkuat sistem dan kultur demokrasi.

Bukan sebaliknya, membuat kita menderita defisit demokrasi; tergerusnya nilai-nilai kewargaan (civic virtues) sehingga terjangkiti perilaku politik tidak beradab. Ini pekerjaan rumah pascapilpres saat biasanya masyarakat dicampakkan (kembali) oleh elite-elite politik dan para pengikut kepentingannya. Pada satu sisi partisipasi kelompok-kelompok masyarakat sipil dalam proses demokrasi pasca-Soeharto telah menyelamatkan negeri ini dari kemungkinan defisit demokrasi sebagaimana disinggung ekonom Harvard, Eric Chaney (2012), ketika mempelajari demokrasi di negara- negara Timur Tengah.

Sejarah dominasi struktur negara terhadap perkembangan masyarakatnya membuat demokrasi sulit berkembang. Di sinilah Indonesia sangat beruntung karena demokrasinya ditopang oleh politik pluralisme yang sangat fundamental. Pada sisi lain, paradoks demokrasi membuka pintu luas bagi munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang tidak tunduk pada nilai-nilai keadaban. Kampanye hitam mengeksploitasi sentimen SARA dengan mudah diekspresikan di ruangruang publik, bahkan sudah pada tahap menyiarkan kebencian dan diskriminasi.

Fenomena ini dapat mengancam nilai-nilai keadaban publik dan kritisisme dalam budaya demokrasi yang sedang kita tumbuhkan. Pembiaran apalagi pembenaran perilaku politik semacam ini oleh institusi negara dan lembaga- lembaga otoritas sosial-keagamaan akan mengancam eksistensi politik pluralisme kita. Perlu kesadaran dan langkah bersama guna memerangi segala bentuk ekspresi yang menihilkan nilai-nilai kebinekaan sebagai semangat bernegara. Pers harus menyampaikan berita berdasarkan fakta, bukan opini warung kopi.

Media sosial seyogianya menjadi penyeimbang dan kontrol terhadap informasi sumir yang beredar. Pengaruh serangan politik SARA terhadap fluktuasi elektabilitas capres-cawapres mungkin masih diperdebatkan, namun perilaku politik ini akan punya dampak politik jangka panjang yang tidak bisa dipandang sebelah mata dalam waktu 5-10 tahun ke depan. Proses demokrasi seyogianya mengokohkan nilai-nilai pluralisme-demokratik, bukan sebaliknya. Mari kita ciptakan pilpres bermartabat!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar