Terapi
Racun lewat Puasa
Abdulsyukur ; Guru Mikrobiologi
SMK Muhammadiyah Kajen Kabupaten Pekalongan
|
SUARA
MERDEKA, 02 Juli 2014
Tanpa kita sadari, makanan dan minuman instan saat ini sudah
menjadi menu utama. Makanan dan minuman yang bisa cepat dimasak itu tiap hari
terhidang di meja makan keluarga. Kita bisa menyebut sedikit contoh misal
jenis nugget, sosis, atau minuman dalam botol. Makanan atau minuman itu
terasa lebih praktis, lebih menarik, dan lebih mengundang selera dibanding
makanan ’’konvensional’’.
Lewat iklan, makanan dan minuman instan diperkenalkan secara
masif kepada konsumen, dengan gaya dan bahasa menarik serta mencitrakan gaya
hidup masa kini yang modern. Tanpa sadar pula, konsumen menjadi korban iklan
itu karena baru merasa menjadi orang modern setelah mengomsumsi memakan atau
minum minuman instan tersebut.
Namun di balik kemodernan itu ada bahaya mengadang di dalam
makanan dan minuman instan tersebut. Banyak dugaan berbagai makanan dan
minuman instan itu yang banyak kita konsumsi, menjadi faktor penyebab utama gangguan proses
penting dalam sel manusia. Akibatnya, banyak muncul apa yang disebut penyakit
’’modern’’, semisal obessitas, hipertensi, kanker dan lainnya.
Berbagai literatur kedokteran menyebutkan bahwa segala jenis
makanan instan pada saat ini diperkirakan mengandung bahan-bahan beracun.
Bahan beracun itu ada dalam makanan melalui proses pembuatan dan pengawetan.
Misalnya kaldu, zat pewarna, zat antioksidan dan bahan kimia tambahan,
semisal zat perangsang pertumbuhan, antibiotik, zat penyubur dan aneka
derivatnya.
Kondisi ini diperparah oleh racun yang kita serap melalui udara
berasal dari knalpot kendaraan bermotor, pabrik/industri, dan racun-racun
obat. Racun yang terakumulasi di dalam tubuh menimbulkan berbagai penyakit.
Apakah kita harus menghindari berbagai
makanan atau minuman instan tersebut? Kalau bisa, ya.
Tetapi apa mungkin? Kalau
pun bisa, bukan berarti masyarakat terbebas dari makanan beracun mengingat
makanan yang tidak instan pun beracun. Salah satu contoh adalah tahu, yang acap berformalin. Produsen
beralasan memberikan formalin dalam jumlah kecil untuk membantu mengawetkan.
Terapi Puasa
Sebenarnya, ada upaya lain. yaitu dengan cara berpuasa. Melalui
buku Terapi Puasa, Dr Abdul Jawwad ash-Shawi (2006) menuliskan bahwa berpuasa
juga bisa bermanfaat sebagai terapi
pencegahan dari berbagai macam penyakit fisik dan psikis. Dia
menjelaskan aneka penyakit akibat ’’racun’’ (bahan pengawet) dalam makanan
dapat dicegah dan disembuhkan lewat puasa.
Dasarnya adalah manusia mempunyai liver untuk memfilter racun
yang masuk dan mengubahnya menjadi bahan bermanfaat seperti urea, sel darah,
dan garam ammonia. Pada saat kita tidak berpuasa tak semua racun dalam makanan
yang masuk bisa diurai liver karena keterbatasannya. Akibatnya, banyak racun
lolos dari saringan liver dan menumpuk dalam bentuk jaringan lemak.
Sebaliknya, saat berpuasa, apalagi puasa Ramadan, racun yang
menumpuk diuraikan oleh liver, untuk diubah menjadi energi. Baru sisanya
dibuang melalui sekresi tubuh, bisa berupa air kencing, keringat, atau tinja.
Jadi, puasa dapat mengurangi tumpukan
racun di dalam tubuh, asalkan setelah berbuka kita tidak ’’balas dendam’’
makan dan minum berlebihan.
Mengingat manfaat puasa, seyogianya kita juga berpuasa di luar
bulan Ramadan. Kita bisa memilih puasa Senin dan Kamis, puasa Tathawwu yakni berpuasa enam hari
pada bulan Syawal, puasa Ayyamul Bidh
yaitu puasa dalam tiga hari tiap bulan, atau berpuasa Daud yaitu berpuasa sehari dan berbuka hari berikutnya.
Setelah berpuasa Ramadan sebulan penuh, alangkah baiknya kita
menjalani puasa sunah tersebut. Lebih bermanfaat menjadikan puasa sebagai
salah satu gaya hidup sehat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar