Sabtu, 05 Juli 2014

Terapi Racun lewat Puasa

                                        Terapi Racun lewat Puasa

Abdulsyukur ;  Guru Mikro­biologi SMK Muhammadiyah Kajen Kabupaten Pekalongan
SUARA MERDEKA,  02 Juli 2014
                                                


Tanpa kita sadari, makanan dan minuman instan saat ini sudah menjadi menu utama. Makanan dan minuman yang bisa cepat dimasak itu tiap hari terhidang di meja makan keluarga. Kita bisa menyebut sedikit contoh misal jenis nugget, sosis, atau minuman dalam botol. Makanan atau minuman itu terasa lebih praktis, lebih menarik, dan lebih mengundang selera dibanding makanan ’’konvensional’’.

Lewat iklan, makanan dan minuman instan diperkenalkan secara masif kepada konsumen, dengan gaya dan bahasa menarik serta mencitrakan gaya hidup masa kini yang modern. Tanpa sadar pula, konsumen menjadi korban iklan itu karena baru merasa menjadi orang modern setelah mengomsumsi memakan atau minum minuman instan tersebut.

Namun di balik kemodernan itu ada bahaya mengadang di dalam makanan dan minuman instan tersebut. Banyak dugaan berbagai makanan dan minuman instan itu yang banyak kita konsumsi, menjadi  faktor penyebab utama gangguan proses penting dalam sel manusia. Akibatnya, banyak muncul apa yang disebut penyakit ’’modern’’, semisal obessitas, hipertensi, kanker dan lainnya.

Berbagai literatur kedokteran menyebutkan bahwa segala jenis makanan instan pada saat ini diperkirakan mengandung bahan-bahan beracun. Bahan beracun itu ada dalam makanan melalui proses pembuatan dan pengawetan. Misalnya kaldu, zat pewarna, zat antioksidan dan bahan kimia tambahan, semisal zat per­angsang pertumbuhan, antibiotik, zat penyubur dan aneka derivatnya.

Kondisi ini diperparah oleh racun yang kita serap melalui udara berasal dari knalpot kendaraan bermotor, pabrik/industri, dan racun-racun obat. Racun yang terakumulasi di dalam tubuh menimbulkan berbagai penyakit. Apakah kita harus menghindari  berbagai makanan atau minuman instan tersebut? Kalau bisa, ya.

Tetapi apa mungkin?  Kalau pun bisa, bukan berarti masyarakat terbebas dari makanan beracun mengingat makanan yang tidak instan pun beracun. Salah satu contoh adalah  tahu, yang acap berformalin. Produsen beralasan memberikan formalin dalam jumlah kecil untuk membantu mengawetkan.

Terapi Puasa

Sebenarnya, ada upaya lain. yaitu dengan cara berpuasa. Melalui buku Terapi Puasa, Dr Abdul Jawwad ash-Shawi (2006) menuliskan bahwa berpuasa juga bisa bermanfaat sebagai terapi  pencegahan dari berbagai macam penyakit fisik dan psikis. Dia menjelaskan aneka penyakit akibat ’’racun’’ (bahan pengawet) dalam makanan dapat dicegah dan disembuhkan lewat puasa.

Dasarnya adalah manusia mempunyai liver untuk memfilter racun yang masuk dan mengubahnya menjadi bahan bermanfaat seperti urea, sel darah, dan garam ammonia. Pada saat kita tidak berpuasa tak semua racun dalam makanan yang masuk bisa diurai liver karena keterbatasannya. Akibatnya, banyak racun lolos dari saringan liver dan menumpuk dalam bentuk jaringan lemak.

Sebaliknya, saat berpuasa, apalagi puasa Ramadan, racun yang menumpuk diuraikan oleh liver, untuk diubah menjadi energi. Baru sisanya dibuang melalui sekresi tubuh, bisa berupa air kencing, keringat, atau tinja. Jadi, puasa  dapat mengurangi tumpukan racun di dalam tubuh, asalkan setelah berbuka kita tidak ’’balas dendam’’ makan dan minum berlebihan.

Mengingat manfaat puasa, seyogianya kita juga berpuasa di luar bulan Ramadan. Kita bisa memilih puasa Senin dan Kamis, puasa Tathawwu yakni ber­puasa enam hari pada bulan Syawal, puasa Ayyamul Bidh yaitu puasa dalam tiga hari tiap bulan, atau berpuasa Daud yaitu berpuasa sehari dan berbuka hari berikutnya. 

Setelah berpuasa Ramadan sebulan penuh, alangkah baiknya kita menjalani puasa sunah tersebut. Lebih bermanfaat menjadikan puasa sebagai salah satu gaya hidup sehat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar