Agama
dalam Industri Media
Thomas Koten ;
Direktur Social Development Center
|
SINAR
HARAPAN, 03 Juli 2014
Media dalam perkembangan saat ini semakin diyakini sebagai the fourth estate (kekuatan keempat)
dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Sulit dibayangkan perubahan dan
perkembangan wajah sosial, ekonomi, dan politik mutakhir tanpa peran media.
Bahkan, media—dalam posisi vitalnya sebagai institusi
informasi—dapat dipandang sebagai faktor paling menentukan dalam perubahan
dan perkembangan sosial, ekonomi, dan politik.
Sentralnya peran media dalam perkembangan ekonomi, sosial, dan
politik itulah membuat para agamawan kini membutuhkan dan menjadikan media
sebagai alat penyebaran agama.
Ini sekaligus sebagai alat penggairahan dalam kehidupan agama
umat. Teknologi media semakin dimanfaatkan agama untuk melakukan ekspansi dan
dianggap sebagai cara praktis dan mudah melakukan syiar keagamaan.
Hal yang paling mencolok seperti kita lihat di bulan Ramadan
ini. Dari saat-saat menjelang sahur hingga tengah malam, media televisi tidak
henti-hentinya menayangkan acara-acara yang bersentuhan dengan Ramadan. Belum
lagi tayangan acara-acara sinetron beraroma Ramadan.
Namun, satu hal yang perlu disoroti, acara-acara itu selalu
menampilkan para artis kondang yang memiliki banyak penggemarnya.
Apa yang mau dikejar para pebisnis media dengan
tayangan-tayangan seperti itu? Apakah kepentingan agamalah yang dikedepankan
demi mengarahkan pemirsa untuk “meraih” dan “merengkuh” zat yang
transendental, yakni Tuhan ke dalam dirinya? Jawabannya, tentu tidak.
Karena itu, menjadi persoalan tatkala kepentingan agama dan
kepentingan hiburan beradu kuat untuk memperoleh keuntungan masing-masing.
Keuntungan agama yang diinginkan adalah semakin mendekatkan
umatnya pada yang transenden, yakni Tuhan, dengan mengarahkan umat beragama
untuk memperdalam dan memperkaya dimensi kerohaniannya. Sementara itu,
keuntungan industri media adalah untuk menaikkan rating demi meraup
keuntungan ekonomi.
Apa yang terjadi adalah kepentingan agama masuk dalam perangkap
industrialisasi media, yakni pasar hiburan. Lihat, misalnya, para dai atau
ustaz yang dihadirkan pada acara-acara Ramadan di televisi juga hanyalah mereka
yang bisa tampil atraktif di depan para pemirsa televisi.
Segala acara dakwah atau syiar keagamaan yang ditampilkan hanya
sedikit lantaran didominasi para artis demi menghibur pemirsa.
Akhirnya, yang kita lihat adalah agama menjadi subordinat dalam
pasar hiburan dan industri media. Atau, terjadi proses industrialisasi agama,
masuk lebih jauh lagi ke dalam perangkap konsumtif dan budaya pop.
Agama dengan segenap ajarannya menjadi barang komoditas yang
diperjualbelikan. Nilai-nilai suci agama diselingkuhi nilai-nilai yang
bersifat profan.
Karena itu, kini agama masuk dalam suatu pilihan pelik. Apakah
agama akan terus dijadikan komoditas pasar hiburan yang serba-instan atau
tersingkir dari pasar hiburan dan kembali ke habitatnya nan sunyi.
Ujung yang paling mengerikan adalah terjadinya identifikasi baru
tentang Tuhan. Orang tidak lagi menyembah Tuhan, Sang Pencipta, tetapi tuhan
konsumerisme alias tuhan segala kemewahan hidup.
Untuk para agamawan yang bertugas membantu kesalehan hidup umat,
hendaknya jangan larut dalam perangkap industri media yang mengusung kultur
pop dengan mengutamakan keuntungan-keuntungan ekonomi semata.
Hal ini supaya umat beragama tidak mengalami pendangkalan dalam
menghayati nilai-nilai agama yang dianutnya.
Terus-menerusnya terjadi perselingkuhan antara agama dan
industri media, akan membuat segala ajaran dan syiar keagamaan tidak lagi
membumi dan mampu mengarahkan para penganut agama kepada penghayatan
nilai-nilai agama secara mendalam. Para agamawan pun bisa kehilangan daya
kritis bagi keserakahan kapitalisme.
Sementara itu, para pengelola media yang merupakan kaum
beragama, juga perlu membangun dan mengembangkan kesadaran beragamanya.
Kekuatan industri media tidak boleh terus-menerus berada di jalan
pemarginalan agama.
Bagi para pemirsa yang merupakan umat beragama, hendaknya tidak
terus hanyut dalam tayangan acara keagamaan di televisi yang hanya
menonjolkan hal-hal artifisial. Hal-hal artifisial tidak akan pernah mampu
mengantarkan para penghayat agama pada substansi agama dan hingga menemukan
Tuhan. ●
|
Pada saat perumusannya, Bung Karno menyebut dasar negara sebagai philosofische
grondslag atau filsafat. Dasar pemikiran yang di atasnya didirikan bangunan
negara Indonesia. Bung Karno juga menyebut dengan istilah weltanschauung atau
pandangan hidup. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi
Pancasila menjadi cita-cita normatif bagi penyelenggaraan bernegara.
Selain itu, Pancasila juga kita sadari sebagai perjanjian luhur
bangsa ketika disahkan bersamaan UUD 1945 oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Saat
itu PPKI merupakan wakil dari seluruh rakyat Indonesia yang mengesahkan
perjanjian luhur tersebut.
Karena itu, atas tinjauan amendemen yang tidak sepaham dengan
Pancasila tersebut. Sebagaimana disarankan mantan Wakil Presiden Try Sutrisno
dalam seminar "Mencari Format Konstitusi Indonesia di Persimpangan
Amendemen UUD 1945" yang diselenggarakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
di Jakarta, beberapa waktu lalu lalu. Kita harus berani melakukan kaji ulang
amendemen.
Desakan ini terus disampaikan, antara lain melalui Presiden SBY
dan MPR, termasuk dalam diskusi terbatas dengan redaksi Sinar Harapan ini
pada Senin (30/6).
Menyadari Pancasila sebagai hulu urusan kita dalam berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat di wilayah NKRI, siapa pun Presiden NKRI yang
akan terpilih, perhatian terhadap kaji ulang amendemen patut diingatkan. Kaji
ulang tidak berarti menolak segala bentuk perubahan terhadap UUD 1945, juga
tidak menyakralkan hasil amendemen yang sudah dilakukan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar