Sabtu, 05 Juli 2014

Agama dalam Industri Media

                                    Agama dalam Industri Media

Thomas Koten  ;   Direktur Social Development Center
SINAR HARAPAN,  03 Juli 2014
                                                


Media dalam perkembangan saat ini semakin diyakini sebagai the fourth estate (kekuatan keempat) dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Sulit dibayangkan perubahan dan perkembangan wajah sosial, ekonomi, dan politik mutakhir tanpa peran media.

Bahkan, media—dalam posisi vitalnya sebagai institusi informasi—dapat dipandang sebagai faktor paling menentukan dalam perubahan dan perkembangan sosial, ekonomi, dan politik.

Sentralnya peran media dalam perkembangan ekonomi, sosial, dan politik itulah membuat para agamawan kini membutuhkan dan menjadikan media sebagai alat penyebaran agama.

Ini sekaligus sebagai alat penggairahan dalam kehidupan agama umat. Teknologi media semakin dimanfaatkan agama untuk melakukan ekspansi dan dianggap sebagai cara praktis dan mudah melakukan syiar keagamaan.

Hal yang paling mencolok seperti kita lihat di bulan Ramadan ini. Dari saat-saat menjelang sahur hingga tengah malam, media televisi tidak henti-hentinya menayangkan acara-acara yang bersentuhan dengan Ramadan. Belum lagi tayangan acara-acara sinetron beraroma Ramadan.

Namun, satu hal yang perlu disoroti, acara-acara itu selalu menampilkan para artis kondang yang memiliki banyak penggemarnya.

Apa yang mau dikejar para pebisnis media dengan tayangan-tayangan seperti itu? Apakah kepentingan agamalah yang dikedepankan demi mengarahkan pemirsa untuk “meraih” dan “merengkuh” zat yang transendental, yakni Tuhan ke dalam dirinya? Jawabannya, tentu tidak.

Karena itu, menjadi persoalan tatkala kepentingan agama dan kepentingan hiburan beradu kuat untuk memperoleh keuntungan masing-masing.

Keuntungan agama yang diinginkan adalah semakin mendekatkan umatnya pada yang transenden, yakni Tuhan, dengan mengarahkan umat beragama untuk memperdalam dan memperkaya dimensi kerohaniannya. Sementara itu, keuntungan industri media adalah untuk menaikkan rating demi meraup keuntungan ekonomi.

Apa yang terjadi adalah kepentingan agama masuk dalam perangkap industrialisasi media, yakni pasar hiburan. Lihat, misalnya, para dai atau ustaz yang dihadirkan pada acara-acara Ramadan di televisi juga hanyalah mereka yang bisa tampil atraktif di depan para pemirsa televisi.

Segala acara dakwah atau syiar keagamaan yang ditampilkan hanya sedikit lantaran didominasi para artis demi menghibur pemirsa.

Akhirnya, yang kita lihat adalah agama menjadi subordinat dalam pasar hiburan dan industri media. Atau, terjadi proses industrialisasi agama, masuk lebih jauh lagi ke dalam perangkap konsumtif dan budaya pop.

Agama dengan segenap ajarannya menjadi barang komoditas yang diperjualbelikan. Nilai-nilai suci agama diselingkuhi nilai-nilai yang bersifat profan.

Karena itu, kini agama masuk dalam suatu pilihan pelik. Apakah agama akan terus dijadikan komoditas pasar hiburan yang serba-instan atau tersingkir dari pasar hiburan dan kembali ke habitatnya nan sunyi.

Ujung yang paling mengerikan adalah terjadinya identifikasi baru tentang Tuhan. Orang tidak lagi menyembah Tuhan, Sang Pencipta, tetapi tuhan konsumerisme alias tuhan segala kemewahan hidup.

Untuk para agamawan yang bertugas membantu kesalehan hidup umat, hendaknya jangan larut dalam perangkap industri media yang mengusung kultur pop dengan mengutamakan keuntungan-keuntungan ekonomi semata.

Hal ini supaya umat beragama tidak mengalami pendangkalan dalam menghayati nilai-nilai agama yang dianutnya.

Terus-menerusnya terjadi perselingkuhan antara agama dan industri media, akan membuat segala ajaran dan syiar keagamaan tidak lagi membumi dan mampu mengarahkan para penganut agama kepada penghayatan nilai-nilai agama secara mendalam. Para agamawan pun bisa kehilangan daya kritis bagi keserakahan kapitalisme.

Sementara itu, para pengelola media yang merupakan kaum beragama, juga perlu membangun dan mengembangkan kesadaran beragamanya. Kekuatan industri media tidak boleh terus-menerus berada di jalan pemarginalan agama.

Bagi para pemirsa yang merupakan umat beragama, hendaknya tidak terus hanyut dalam tayangan acara keagamaan di televisi yang hanya menonjolkan hal-hal artifisial. Hal-hal artifisial tidak akan pernah mampu mengantarkan para penghayat agama pada substansi agama dan hingga menemukan Tuhan.  ●


uns�mfXi� `ڱ ikian juga jika kita perhatikan, tidak sedikit peraturan daerah (perda) yang semakin jauh atau kehilangan nilai-nilai semangat Pancasila.


Pada saat perumusannya, Bung Karno  menyebut dasar negara sebagai philosofische grondslag atau filsafat. Dasar pemikiran yang di atasnya didirikan bangunan negara Indonesia. Bung Karno juga menyebut dengan istilah weltanschauung atau pandangan hidup. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila menjadi cita-cita normatif bagi penyelenggaraan bernegara.

Selain itu, Pancasila juga kita sadari sebagai perjanjian luhur bangsa ketika disahkan bersamaan UUD 1945 oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Saat itu PPKI merupakan wakil dari seluruh rakyat Indonesia yang mengesahkan perjanjian luhur tersebut.

Karena itu, atas tinjauan amendemen yang tidak sepaham dengan Pancasila tersebut. Sebagaimana disarankan mantan Wakil Presiden Try Sutrisno dalam seminar "Mencari Format Konstitusi Indonesia di Persimpangan Amendemen UUD 1945" yang diselenggarakan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Jakarta, beberapa waktu lalu lalu. Kita harus berani melakukan kaji ulang amendemen.

Desakan ini terus disampaikan, antara lain melalui Presiden SBY dan MPR, termasuk dalam diskusi terbatas dengan redaksi Sinar Harapan ini pada Senin (30/6).

Menyadari Pancasila sebagai hulu urusan kita dalam berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat di wilayah NKRI, siapa pun Presiden NKRI yang akan terpilih, perhatian terhadap kaji ulang amendemen patut diingatkan. Kaji ulang tidak berarti menolak segala bentuk perubahan terhadap UUD 1945, juga tidak menyakralkan hasil amendemen yang sudah dilakukan.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar